Keluarga, Anak dan Sakramen

Mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa… Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, sambil memuji Allah…– Kisah Para Rasul 2:42, 47

Masih jelas ingatan ketika anak-anak kami masih balita dan di gereja diadakan perjamuan kudus. Karena tahu bahwa tidak diizinkan ambil bagian dalam PK, Mira membawa kukis dan botol berisi sirup supaya dapat melakukan perjamuannya sendiri. Pertanyaan dalam peristiwa ini kini di sebagian denominasi menjadi hangat: Bolehkah anak-anak menerima sakramen perjamuan kudus? Mengapa ada gereja yang membolehkan ada yang tidak?

Jika diamati lebih teliti terasa ada kejanggalan. Di tradisi yang menerima baptisan anak justru perjamuan kudus ditunda sampai anak melalui proses katekisasi dan sidi, sedangkan di tradisi yang memberlakukan baptisan dewasa banyak yang membolehkan anak turut dalam perjamuan kudus. Perbedaan praktik sakramen berakar pada pandangan tentang apa sakramen sesungguhnya. Ada yang menganggap sakramen adalah tanda saja, ada yang menganggap sakramen adalah tanda dan juga meterai; yang satu menganggap sakramen adalah ungkapan iman kepada Allah dan yang lain menganggap sakramen pun adalah penerimaan anugerah Allah. Sesungguhnya, ya sakramen adalah tanda yang menunjuk kepada anugerah dalam Yesus Kristus, namun ya juga sakramen pun adalah meterai dari anugerah Allah yang datang kepada penerimanya.

Kemungkinan besar penundaan sakramen perjamuan kudus sampai usia remaja ketika yang bersangkutan telah melalui proses pengajaran pokok-pokok iman, adalah karena iman dimengerti hanya sebagai pengertian dan penerimaan akali. Padahal, proses pengenalan manusia akan sesuatu atau proses terjadinya relasi anak dengan Tuhan bisa mulai sejak dini dan tidak hanya melalui jalur rasio, tetapi juga melalui jalur cerita dan lagu, emosi, dan berbagai pengalaman indera dan jasmani-jiwani lainnya.

Secara terbatas mungkin dapat dilihat adanya kesejajaran atau keterhubungan antara tanda-meterai orang Yahudi di Perjanjian Lama — seperti sunat dan perjamuan pesakh / paskah — dengan baptisan dan perjamuan kudus di Perjanjian Baru. Yaitu, relasi dengan Tuhan, tanda-meterai anugerah Allah, peringatan-perayaan-penghayatan akan perbuatan besar Allah untuk umat-Nya dilakukan di dalam konteks keluarga. Maka, besar kemungkinan seperti halnya sunat dan perjamuan sabath / dan pesakh dilayankan kepada anak-anak sejak dini, juga dalam keluarga-keluarga Kristen pertama itu baptisan dan perjamuan Tuhan dilayankan kepada seisi keluarga, termasuk anak-anak. Bukankah ini lebih serasi dengan yang kini ditemukan oleh para ahli bahwa pembelajaran tidak saja soal kognitif tetapi juga emotif, volutif, eksperiential? Dan bukankah justru ini menjadi lebih mendekati perintah Tuhan dalam Ulangan 6 untuk memdidik anak secara kreatif melalui berbagai perlambangan — yaitu kesempatan keluarga bersiap menyambut perjamuan Tuhan menjadi kesempatan bagi para orangtua mengisahkan Injil Yesus Kristus?

Semoga Perjamuan Tuhan sebagai alat anugerah yang di dalamnya kita menerima anugerah pemeliharaan penyelamatan Tuhan dan olehnya kita mengungkapkan iman secara baru dan dengan melibatkan berbagai kapasitas kemanusiaan kita — akta anugerah dan fakta iman — ini boleh dipahami sepenuh-penuhnya dalam gereja=gereja masa kini.

Mari dukung pelayanan Yayasan Simpul Berkat lewat kegiatan pelayanan
literasi yang dilakukan untuk setiap Kristen di Indonesia.
Kirim dukungan Anda ke Yay. Simpul Berkat: BCA 0953882377 a/n Philip hs.

Be the first to comment

Leave a Reply