Kekurangan

Meski ada banyak alasan untuk mengucapkan terima kasih, tidak lazim menganggap kekurangan adalah salah satunya. Tetapi kekurangan dapat menjadi saluran untuk anugerah Allah. Kita rindu memiliki kehidupan berkecukupan, kehidupan tanpa kebutuhan. Tetapi mengapa begitu banyak orang yang kebutuhannya praktis terpenuhi kerap sangat tidak bahagia dan tidak berarti? Barangkali dengan tidak adanya kekurangan tidak ada keinginan, dan tanpa keinginan tidak ada gairah. Jadi kekuranganlah yang melahirkan keinginan kita, kerinduan kita, mimpi kita. Kekurangan menggeliatkan gairah kita akan Allah dan akan kesukaan.

Kelimpahan dan pencapaian agaknya adalah idaman, tetapi kita tahu perangkap rasa kekosongan dan pencobaan yang kerap mengikuti keberhasilan. Kemenangan dapat membuat orang menjadi angkuh, membuat mereka menurunkan kewaspadaan mereka. Thomas Carlyle pernah berkata, “Kesengsaraan terkadang berat bagi manusia; tetapi untuk satu orang yang dapat menahan kemakmuran, ada seratus yang bertahan terhadap kesengsaraan.”

Mukjizat di pesta nikah di Kana mulai dengan kekurangan. Sekali air anggur habis keberhasilan perayaan itu terancam, maka Maria datang kepada Yesus dan meminta Dia menolong. Kekurangan meratakan jalan untuk keajaiban. Hal sama benar juga dalam kehidupan kita, yang menjadi alasan mengapa kita dapat melihat kekurangan sebagai anugerah Allah dan sebagai alasan untuk kita bersyukur.

Suatu ketika saya melihat pohon tinggi yang dulu sekali telah ditanam di universitas oleh seorang misionaris Amerika. Karena ketinggiannya ia menjadi target bagus untuk halilintar. Presiden universitas itu memakai pohon tersebut sebagai contoh tentang apa yang dapat terjadi dalam kehidupan kita ketika kita menjadi terlalu “tinggi” dan sebagai pengingat untuk merendahkan diri kita agar tidak mengalami pukulan menjatuhkan.

Yesus adalah Allah, tetapi Ia merendahkan diri-Nya dengan menjadi manusia. Ia mulai dengan kepenuhan, tetapi Ia mengosongkan diri-Nya dan menjadi seorang hamba. Ia memiliki sifat kuat, tetapi membuat diri-Nya rentan dan lemah, dan menjadi taat bahkan sampai ke kematian. Ia memilih untuk kurang agar boleh bersama kita.

Kita tidak dapat bertahan hidup atas kecukupan diri kita sendiri. Mereka yang tidak menyetujui ini telah ditipu oleh keangkuhan mereka. Kita saling membutuhkan, dan lebih penting lagi kita membutuhkan Allah. Berpikir lain dari ini adalah kesalahan tragis.

Bayangkan sebatang lilin yang dinyalakan dalam sebuah botol. Untuk memadamkan lilin itu cukup dengan menutup botol itu. Begitu pasokan oksigen terputus, nyala api perlahan padam. Sama juga halnya dengan kehidupan kita. Jika Allah menghentikan pasokan oksigen untuk kita, bahkan untuk sejenak saja, kita semua akan mati.

Seperti lilin itu, kita semua hidup dalam kekurangan dan kebergantungan. Tetapi ketimbang menyesali kekurangan kita, kita dapat mensyukurinya. Seluruh kehidupan saya telah saya hidupi “dalam kebutuhan,” dan saya percaya Allah menempatkan saya dalam situasi itu supaya saya bergantung pada Dia dan pemeliharaan-Nya saja. Kekurangan saya telah memaksa saya untuk menghubungi Allah — tetapi saya tahu bahwa justru kelangsungan hidup saya ditentukan oleh hubungan ini.

Ada sebuah lelucon Korea, “Mereka yang berjalan tidak dapat mengalahkan mereka yang lari, mereka yang lari tidak dapat mengalahkan mereka yang terbang. Tetapi mereka yang terbang tidak dapat mengalahkan mereka yang melekatkan diri kepada orang yang dapat terbang.” Yang paling bijak dari mereka adalah yang melekatkan diri kepada orang yang dapat terbang. Melekat kepada Allah dan kepada mereka yang diberkati oleh Allah sungguh adalah berhikmat.

Dunia menganjurkan ketidakbergantungan, tetapi Alkitab mengajar kita untuk bergantung penuh pada Allah. Tidak perlu kita malu tentang kebergantungan kita. Anak-anak bergantung pada orangtua, dan pasangan hidup saling bergantung satu sama lain, maka kebergantungan adalah wajar. Mereka yang bergantung pada Allah adalah yang sungguh paling berhikmat.

Sampai mereka kehabisan air anggur, tak seorang pun tahu atau peduli tentang siapa Yesus. Tetapi dalam kekurangan mereka, Yesus menyatakan diri-Nya kepada mereka. Ketika kita berpikir kita cukup, kita tidak mungkin merasakan kehadiran Allah, tetapi ketika kita kekurangan kita sanggup lebih mengenali kehadiran Allah di tengah kehidupan kita. Dan tidak ada kebahagiaan lebih besar ketimbang menjumpai dan mengalami Allah dalam kehidupan kita. Jadi, karena itu, kekurangan kita merupakan jalan mengalami perkenan allah dan harus menjadi alasan untuk kebersyukuran. Inilah mengapa saya mengucap syukur kepada Allah setiap hari karena kekurangan saya.

(Yoshua Choonmi Kang, Spiritualitas Kebersyukuran, psl. 10)

Be the first to comment

Leave a Reply