Berdialog dengan Baik

Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak.
A M S A L  2 5 : 11
Ada banyak jenis dialog: dialog dengan Allah, dialog antara bangsa-bangsa, dialog antara para tokoh dalam presentasi dramatis. Dalam pasal ini dialog berarti percakapan, pertukaran seorang dengan seorang lain tentang hal yang penting.
Pendeta dan rohaniwan, pembimbing dan pengarah rohani harus sanggupmelakukan percakapan terhormat dengan seseorang  yang membutuhkan atau meminta pertolongan. Dalam percakapan semacam itu banyak hal penting dan halus terjadi: pengajaran, dorongan, penguatan.
 Ada beberapa hal perlu diperhatikan:
 Pertama, bahasa itu berkuasa. Kitab Amsal mengetahui ini ribuan tahun silam.
Perut orang dikenyangkan oleh hasil mulutnya, ia dikenyangkan oleh hasil bibirnya.
Hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya. (Amsal 18:20-21)
Kesadaran kita akan kuasa bahasa datang dengan mudah, tetapi kapasitas kita untuk memakainya datang dengan lambat. Filsuf Yunani, Aristoteles mengetahui perbedaan ini. “Tidak cukup mengetahui apa yang perlu dikatakan tetapi lebih perlu mengetahui bagaimana mengatakan itu.”
Perbedaan antara pemakaian bahasa yang benar dan salah sebanding dengan salep yang menyembuhkan dan gatal yang mengiritasi.
Kedua, semua percakapan tunduk kepada aturan emas. Yesus berkata: “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Matius 7:12). Dengan mengingat ini, kita harus terlibat dalam percakapan sebisa mungkin dengan menghormati lawan bicara kita dan apa yang ia bicarakan entah kita suka atau tidak.
Ketiga, percakapan yang terhormat, yang dikelola dengan baik lebih bergantung pada karakter ketimbang keterampilan. Seperti Joseph Addison, pendiri majalah The Spectator menyatakan, “Tidak ada percakapan yang sedemikian menyenangkan seperti dari orang yang berintegritas, yang mendengarkan tanpa niat untuk mengkhianati, dan bicara tanpa niat untuk menipu.” Perkataan yang pura-pura tidak pernah dapat menggerakkan hati manusia, kasih yang diungkapkan atau
disiratkan dalam perkataan yang benar akan menggerakkan gunung.
Keempat, pertimbangan waktu adalah unsur teruji dari setiap percakapan yang berarti dan berhasil. “Seseorang bersukacita karena jawaban yang diberikannya, dan alangkah baiknya perkataan yang tepat pada waktunya!” (Amsal 15:23). Sekali lagi, “Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak” (Amsal 25:11). Dan perkataan yang tidak tepat waktu kerap menyebabkan hasil negatif:
Siapa pagi-pagi sekali memberi selamat dengan suara nyaring, hal itu akan dianggap sebagai kutuk baginya. (Amsal 27:14)
Kelima, kearifan memainkan peran dalam setiap percakapan yang bermutu. Lebih penting daripada tepat waktu, pilihan kata harus tepat untuk orang lain dan isu yang dibincangkan. Pelawak Amerika, Mark Twain menyadari ini: “Perbedaan antara kata yang hampir tepat dan kata yang tepat sungguh perkara besar – itu seperti beda kunang-kunang dan kilat’ (Mark Twain dalam Religion).
Keenam, sasaran tertinggi dalam percakapan penting kita antar pribadi adalah berelasi dengan manusia lain itu di tingkatan lebih dalam ketimbang yang telah kita alami sebelumnya. Pertukaran itu bisa jadi intelektual, tetapi bisa berkelok ke emosional kapan saja.
Dalam semua aspek ini, mempelajari Alkitab dalam hati, mengolah dan melembutkan keterampilan bercakapan kita.
(Joshua Choonmin Kang, Alkitab dalam Hati, psl. 19)

Be the first to comment

Leave a Reply