TANAH DAN RUMAH

“Tanah jangan dijual mutlak, karena Akulah pemilik tanah itu, sedang kamu adalah orang asing dan pendatang bagi-Ku. Di seluruh tanah milikmu haruslah kamu memberi hak menebus tanah. Apabila saudaramu jatuh miskin, sehingga harus menjual sebagian dari miliknya, maka seorang kaumnya yang berhak menebus, yakni kaumnya yang terdekat harus datang dan menebus yang telah dijual saudaranya itu. Apabila seseorang tidak mempunyai penebus, tetapi kemudian ia mampu, sehingga didapatnya yang perlu untuk menebus miliknya itu, maka ia harus memasukkan tahun-tahun sesudah penjualannya itu dalam perhitungan, dan kelebihannya haruslah dikembalikannya kepada orang yang membeli dari padanya, supaya ia boleh pulang ke tanah miliknya. Tetapi jikalau ia tidak mampu untuk mengembalikannya kepadanya, maka yang telah dijualnya itu tetap di tangan orang yang membelinya sampai kepada tahun Yobel; dalam tahun Yobel tanah itu akan bebas, dan orang itu boleh pulang ke tanah miliknya.” “Apabila seseorang menjual rumah tempat tinggal di suatu kota yang berpagar tembok, maka hak menebus hanya berlaku selama setahun mulai dari hari penjualannya; hak menebus berlaku hanya satu tahun. Tetapi jikalau rumah itu tidak ditebus dalam jangka waktu setahun itu, rumah itu secara mutlak menjadi milik si pembeli turun temurun; dalam tahun Yobel rumah itu tidaklah bebas. Tetapi rumah-rumah di desa-desa yang tidak dikelilingi pagar tembok haruslah dianggap sama dengan ladang-ladang di negeri itu, atasnya harus ada hak menebus dan dalam tahun Yobel rumah itu harus bebas. Mengenai rumah-rumah di kota-kota orang Lewi, hak menebus rumah-rumah itu ada pada orang-orang Lewi untuk selama-lamanya. Sekalipun dari antara orang Lewi yang melakukan penebusan, tetapi rumah yang terjual di kota miliknya itu haruslah bebas dalam tahun Yobel, karena segala rumah di kota-kota orang Lewi adalah milik mereka masing-masing di tengah-tengah orang Israel. Dan padang penggembalaan sekitar kota-kota mereka janganlah dijual, karena itu milik mereka untuk selama-lamanya.” – Imamat 25:23-34

Perikop ini penting dipahami secara mendalam sampai mewujud ke dalam perilaku kita tentang kemilikan. Ada tiga pernyataan penting tentang Tuhan, tanah, dan umat. Pertama, bukan saja umat harus takut akan Tuhan dalam setiap urusan kemilikan. Umat Tuhan juga harus memiliki kesadaran bahwa sumber daya alami bukan milik kita tetapi milik Tuhan. Tanah, air, udara, mineral, dst., semua adalah milik Allah sang Pencipta. Apabila kita diberkati untuk memiliki sebagian dari sumber tersebut, kita adalah penatalayan-Nya bukan pemilik dari sumber daya alami itu. Kedua, karena itu tanah tidak boleh diperjual-belikan secara permanen. Ini adalah implikasi konkrit dari kemilikan mutlak Allah atas sumber daya alam, dan penatalayanan kita atas sumber yang ia percayakan untuk kita kelola. Karenanya tidak boleh menjual permanen supaya yang bersangkutan tidak permanen tanpa sumber daya alam; kebalikannya juga tidak boleh membeli permanen sebab itu mengakibatkan penjual selamanya tanpa sumber daya alami. Singkatnya, sumber daya alami adalah titipan Allah kepada manusia yang harus dikelola secara yang membawa kemanfaatan komunitas manusia dan lingkungan alam sendiri. Ketiga, umat adalah orang asing dan pendatang. Ini ungkapan yang sering dipakai Tuhan untuk memotivasi umat berlaku ramah kepada sesama yang bukan Israel. Ungkapan ini mengingatkan umat akan anugerah dan rahmat Allah yang telah membebaskan mereka dari perbudakan di Mesir, sekaligus menegaskan bahwa mereka / kita sedang menuju ke Kota surgawi, yaitu langit dan bumi baru dimana tidak lagi ada penindasan, pemerasan, kepincangan sosial-ekonomi, dosa, air mata, dst.

Melengkapi tiga prinsip penting ini, Tuhan Allah memberikan peraturan tentang penebus. Tentu kita ingat tentang kisah romantis Boaz dan Rut, bukan? Aturan ini adalah wujud konkrit dari kehendak Allah bahwa tidak boleh ada orang di antara umat-Nya yang tanpa sumber daya alami apa pun. Dalam masa paceklik mungkin terjadi orang harus menggadaikan tanahnya. Tetapi ia atau kerabat penebus (Ibrani: goel) berhak untuk menebus apa yang telah digadaikan. Cara menghitung harga tebusan itu menerapkan prinsip keadilan. Yaitu, dihitung dari jumlah tahun sejak tanah itu dijual; atau jika pemilik aslinya tidak mampu maka tanah itu harus dikembalikan di Tahun Yobel.

Tentang rumah ada peraturan sedikit beda daripada tanah. Untuk rumah di kota bertembok, harus ditebus dalam waktu setahun. Lewat dari setahun rumah di kota bertembok menjadi milik pembelinya seterusnya. Kemungkinan rumah di kota bertembok adalah hasil jerih payah membangun oleh pemiliknya, maka ia diberikan jangka waktu menebus lebih singkat dibanding rumah di desa. Sebab rumah yang di desa kemungkinan berdekatan dengan tanah miliknya, maka harus diberlakukan aturan sama seperti tanah. Demikian pun berlaku aturan yang sama mengenai rumah orang Lewi.

Be the first to comment

Leave a Reply