Taman Getsemani

Ketika saya mengunjungi Yerusalem, seperti yang orang lain lakukan juga, saya pergi ke taman Getsemani; dan dari banyak pemikiran yang menyentak saya di tempat itu ialah ini. Pada malam ketika Ia dikhianati, Yesus bisa mengambil dua pilihan yang sangat berbeda dari yang telah Ia ambil. Ia dapat, entah secara harfiah atau metafora, memanggil dua belas legion malaikat: jika Ia ingin melancarkan serangan dadakan, akan ada ratusan, bahkan mungkin ribuan, yang akan berkumpul kepada-Nya. Semua para Yakobus dan para Yohanes yang memadati Yerusalem untuk Paskah pasti akan mengeluarkan pedang dan pentung dari balik jubah mereka, dan mereka akan dengan cepat melakukan itu. Mereka pasti akan segera membangun sebuah rezim baru, sebuah negara Yahudi merdeka dari Roma, tidak lagi diperintah di bawah para pemimpin palsu yang menjabat sebagai para imam kepala.
Tetapi apa yang akan didukung oleh rezim tersebut? Mengasihi musuh? Mendoakan penindas? Tidak mungkin. Ia akan menjadi satu lagi pemerintah yang dimulai dengan ideal tinggi dan merebut kuasa dengan mengkompromikan ideal tersebut. Kerajaan siapa pun itu, tidak mungkin akan merupakan kerajaan Allah. Sama sekali tidak sepadan dengan Allah yang berhasrat untuk memberkati semua bangsa melalui Israel.
Jadi, opsi pertama Yesus adalah memimpin revolusi. Opsi lainnya ialah pilihan pasifis, memilih untuk undur. Ia bisa meninggalkan Getsemani, mengajak dua belas murid-Nya mendaki Gunung Zaitun, melintasinya melalui Betani dan turun ke Yordan. Raja Daud pernah melakukan itu di suatu malam ribuan tahun yang lalu; saat ia melarikan diri dari Absalom. Ia juga dapat menjauhi masalah; mereka dapat membentuk sebuah komunitas dalam padang gurun, mengucapkan Doa Bapa Kami sehari tiga kali, dan menanti Allah berbuat sesuatu. Pilihan itu sepenuhnya aman, kelihatannya murni, meski barangkali tak berguna.
Yesus tidak memilih satu pun dari kedua opsi itu. Sebaliknya, Ia tinggal di Getsemani, dan menunggu Yudas. Lalu Ia berdiri diam di hadapan para penuduh-Nya, sampai ketika Ia bicara, disertai klaim yang sangat menusuk sampai itu memaksa orang segera memastikan penghukuman ke atas-Nya. Sementara si revolusioner yang disalibkan bersama-Nya menyumpah dan mengutuk, Ia kebanyakannya diam. Ia tidak merespons para pengejek, suara-suara di luar dan tentu termasuk juga suara-suara di dalam-Nya, yang memberitahu-Nya bahwa Raja Yahudi harusnya mengalahkan Roma, bukan mati di tangan mereka. Mesias tersalib jelas adalah Mesias gagal. Semua orang tahu bahwa Mesias harus seorang raja pahlawan yang menang.
Semua orang kecuali Yesus, sebab Ia telah menggenggam, atau lebih tepat telah digenggam oleh suatu rahasia – suatu rahasia bahwa para Yakobus dan para Yohanes dunia ini, para Adolf Hitler dunia ini, tidak pernah melihat sekilas dalam mimpi mereka, bahwa ada suatu kuasa jenis lain, suatu Mesias jenis lain, suatu Raja jenis lain. Anak Manusia datang, demikian ucap-Nya, untuk memberikan hidup-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang. Ia mengutip Yesaya 53, sebuah bagian Alkitab yang
agung tentang Hamba Tuhan, yang pergi bagaikan domba ke pembantaian, dan yang ditikam karena pelanggaran kita serta diremukkan karena kejahatan kita. Dan Markus menulis injilnya begitu rupa sampai membuat bagian di pasal 10 ini menjadi puncak dan tema seluruh buku itu. Visinya tentang Yesus ialah visi Raja Hamba, yang memanggil umat-Nya untuk mengikut Dia.
Jadi jika Yesus tidak mendukung baik garis revolusioner baik posisi pasifis, apa sebenarnya pilihan-Nya itu? Dan jika Markus hidup kini di sini, apa yang akan ia katakan agar menjadi konsentrasi kita sementara kita mengikut Yesus? Meniru Diakah?
Opsi ketiga Yesus ialah mengambil kejahatan yang diproyeksikan oleh dunia dan memikul itu atas diri-Nya sendiri. Anda dapat mengerti bagaimana kenyataannya itu jika Anda melihat dunia melalui mata orang Yahudi; sebab orang Yahudi selalu percaya bahwa sejarah mereka, kehidupan nasional mereka, adalah titik pusat sejarah seluruh dunia. Allah mereka adalah pencipta alam semesta; Yerusalem adalah pusat dunia; sejarah mereka adalah kemudi yang akan mengemudi kapal sejarah
dunia. Menurut Yesaya, penderitaan pengorbanan mereka akan merupakan keselamatan dunia. Dan, menurut Yesus, penderitaan pengorbanan itu akan terfokus pada satu orang, yaitu Raja perwakilan mereka yang diurapi.
Itulah nasib akhir yang Yesus tatap. Ia akan memikul penderitaan Israel atas diri-Nya, sebagaimana tampaknya Israel selalu memikul penderitaan dunia ke atasnya. Sebaliknya dari memproyeksikan kejahatan ke atas dunia, sebaliknya dari mengambil penderitaan untuk terus berputar dengan menyerahkannya ke pihak lain, Ia akan memikul beban
penuh penderitaan itu atas diri-Nya sendiri. Yakobus dan Yohanes memproyeksikan kesalahan mereka sendiri ke Roma. Roma memproyeksikan ketidak-amanan kerajaan mereka kepada umat taklukan mereka. para imam kepala memproyeksikan kehampaan sistem kekudusan mereka ke kelompok kaya baru dari Galilea yang secara simbolis telah menantang sandaran
kuasa mereka, seluruh sistem kekuasaan mereka. dan ketika para imam kepala menyerahkan Yesus kepada Roma, Yakobus dan Yohanes tidak kelihatan di mana pun. Mereka telah lari, karena takut jangan-jangan akhirnya mereka kedapatan duduk di kanan dan kiri-Nya ketika Ia masuk dalam kerajaan-Nya.
Jadi, apakah yang Yesus buat? Sebuah ilustrasi lama mungkin membantu. Tahukah Anda bagaimana seekor rubah membersihkan diri dari kutunya? Rubah tersebut akan bejalan sepanjang pagar tanaman, sambil mengumpulkan sedikit bulu domba. Lalu semua itu dibuntalnya menjadi sebuah bola wool, yang ia gigit di mulutnya. Lalu ia masuk ke dalam
aliran sungai, dan berjalan lambat lambat dalam air. Ia merendahkan badannya ke dalam air, dengan bola wool di mulutnya, sampai akhirnya ia menyelam penuh; lalu ia melepas, bola wool itu hanyut dibawa air, membawa semua kutu dari badannya. Rubah itu muncul dari air, bersih.
Dalam lukisan tadi, Yesus adalah bola wool itu. Sang Domba yang tak bercela mengizinkan kejahatan seluruh dunia terpusat pada diri-Nya. Ia tidak mengedarkannya ke pihak lain dengan bereaksi dalam kekerasan; tidak juga menghindar ke dalam pasifisme yang memelihara kebenaran diri sendiri namun tidak efektif. Ia mengambil beban kejahatan dunia atas diri-Nya, supaya dunia dapat keluar, bersih.
Dan pesan Markus, pesan Raja Hamba, pesan yang Anda dan saya harus pegang masa kini, ialah bahwa kita dipanggil untuk menjadi para pengikut, murid dari Raja hamba ini, supaya kemenangan salib boleh diimplementasikan dalam dunia. “Murid” bukan berarti sekadar pelajar secara akali, bukan juga hanya pelajar dalam hati, tetapi pelajar hidup. Kita harus menemukan bagaimana kita dalam generasi kita dapat mengimplementasi kemenangan menentukan yang telah ia menangi, melalui
doa, belajar Alkitab, dan lebih dari itu bakti kepada Yesus sendiri seperti yang kita ungkapkan ketika kita datang ke meja-Nya.
(N. T. Wright, Mengikut Yesus, psl. 5.2)

Be the first to comment

Leave a Reply