SALIB KRISTUS DAN PANGGILAN KITA

Surat Petrus menduduki tempat penting, unik, bermanfaat di antara semua surat dalam kanon Alkitab Perjanjian Baru. Alasannya pertama adalah karena Petrus murid Yesus langsung, bahkan termasuk murid inti-Nya. Ia berkesempatan mendengarkan langsung ajaran Yesus, dibimbing untuk sampai ke pengakuan iman pertama tentang kemesiasan Yesus, mendengar namun sempat menolak ujaran bahwa Yesus harus menderita dan mati sebelum bangkit. Petrus juga menjadi pengkhotbah pertama Injil tentang Salib dan Kebangkitan Kristus dengan bukti-bukti nubuatan Perjanjian Lama dalam urapan Roh Kudus di hari Pentakosta. Keduanya, surat Petrus ini ditujukan kepada jemaat yang sedang mengalami berbagai tekanan, aniaya, ejekan, rundungan, dan berbagai “api pemurnian” lain yang dialami oleh orang pilihan Allah yang berdiaspora di “Pontus, Galatia, Kapadokia, Asia Kecil dan Bitinia” (1 Petrus 1:1). Dengan kondisi para penerima suratnya ini maka ini merupakan surat yang di dalamnya terjalin indah dan kaya unsur penggembalaan, penguatan / penghiburan, misi yang dipusatkan pada pribadi dan karya penyelamatan Yesus Kristus. Ketiga, perspektif Petrus tentang Salib Kristus juga luas merujuk ke berbagai perspektif Perjanjian Lama, sambil memberikan tekanan beragam pada Salib Kristus dengan penggunaan istilah berbeda-beda seperti akan kita lihat berikutnya.

Sentralitas Salib Kristus dalam Perjanjian

Istilah pertama yang Petrus pakai untuk karya penyelamatan Yesus Kristus adalah “percikan darah-Nya” (1:2). Ini jelas dimaksudkannya sebagai intisari arti dari Salib Kristus sambil menyingkapkan kematian keji yang telah Yesus tanggung. Namun apa sebenarnya poin Petrus di sini tentang arti atau dampak Salib Kristus? Kita tentu ingat kepada beberapa peristiwa fondasi eksistensi dan tonggak kerohanian umat Perjanjian Lama. Hal pertama, “percikan darah” ini kemungkinan merujuk kepada olesan darah anak domba yang tak bercacat yang meluputkan semua sulung Israel dari malapetaka maut di Mesir serta akibat pembebasan mereka dari Mesir (Keluaram 12). Rujukan kedua adalah pada waktu peneguhan perjanjian antara Allah dan Israel (Keluaran 24:8). ‘Musa mengambil darah itu dan menyiramkannya pada bangsa itu serta berkata: “Inilah darah perjanjian yang diadakan TUHAN dengan kamu, berdasarkan segala firman ini.”’ Berikutnya adalah tindakan imam dalam semua upacara pemberian korban yang bertujuan untuk mendamaikan umat dan juga melayakkan imam (Imamat 1:5; 3:2, 8, 13; 4:6, 17: 5:9; 16:14, 15, 19; 17:6). Selain benda-benda seperti mezbah, tirai, ujung tutup tabut, juga para imam yang melayankan ibadah tersebut harus dipercik oleh darah korban (Imamat 8:24, 30). Keempat, percikan darah juga dilakukan oleh imam atas orang yang tadinya terkena penyakit kusta yang dianggap sebagai kutukan Allah, juga benda / rumah yang dianggap terkontaminasi penyakit, yang kemudian mengalami pentahiran (Imamat 14). Semua rujukan ini menunjuk kepada sentralitas darah korban untuk mengalami pembebasan dari Tuhan, peneguhan perjanjian dengan-Nya, penghapusan dan pengampunan dosa, serta pengubahan dari terkutuk dan menanggung sakit menjadi tahir dan dikuduskan. Petrus memilih ungkapan darah ketimbang kematian atau salib, menunjukkan gambaran mental dia tentang siksa dan aniaya kejam yang ditanggung oleh Guru dan Juruselamatnya, Yesus Kristus di salib.

Penting diperhatikan bahwa Petrus menempatkan beberapa aspek penyelamatan, “dipilih, sesuai dengan rencana Allah, Bapa kita, dan yang dikuduskan oleh Roh, supaya taat kepada Yesus Kristus dan menerima percikan darah-Nya” (1 Petrus 1:2) secara beda dari pemahaman kita biasanya. Terutama tentang “dikuduskan oleh Roh.,” dan “menerima percikan darah-Nya.” Perhatikan terjemahan lebih tepat aslinya harusnya “dikuduskan oleh Roh untuk menjadi taat kepada YESUS Kristus serta dibasuh dengan darah-Nya” (IMB). Petrus mungkin menempatkan percikan darah Yesus bukan hanya sebagai pengalaman awal orang percaya ketika menerima penyelamatan dari-Nya, tetapi lebih sebagai pengalaman pemuridan orang percaya yang sesudah menerima Yesus Kristus, dikuduskan oleh Roh, harus lanjut diikuti dengan taat kepada-Nya dan dikuduskan berulang dan terus menerus oleh darah-Nya. Dengan kata lain, sesudah masuk dalam Perjanjian Baru orang percaya akan terus menerus dikuduskan oleh Roh untuk mewujudkan proses pemuridan dan pengudusan oleh Yesus Kristus dalam darah-Nya.

Salib Kristus dan Pencapaiannya

Dari permasalahan apa kita telah dipercik oleh darah Yesus? Apa yang telah dikerjakan oleh Salib Kristus? Apa yang dihasilkan oleh darah Yesus?

Petrus menyatakan hal yang merupakan pengalaman nyata para pembacanya dulu dan kini, yaitu kebutuhan manusia akan pelepasan, keperluan mendalam akan garis kehidupan baru yang tidak dicemari oleh akar-akar perilaku dosa sebelumnya, “Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu” (1 Petrrus 1:18). Dosa dalam perspektif Petrus ini bukan saja masalah pribadi tetapi juga merupakan masalah dalam garis keturunan. Banyak dosa diturunkan melalui pembawa sifat secara biologis, juga banyak dosa diwariskan melalui contoh dan ajaran dari generasi ke generasi. Dosa bohong menurun dari Abraham, ke Ishak, ke Yakub, merupakan contoh nyata yang ada dalam catatan Alkitab. Banyak kelemahan sifat dan dosa seperti malas, penakut, serakah / kikir, mabuk / sukar mengampuni / balas-membalas, perzinahan, poligami, curang, penyembahan berhala, kepercayaan takhayul, dlsb. yang melekat dan mengikat turun temurun entah karena masalah biologis, teladan dan ajaran buruk, atau tradisi generasional.

Semua dosa ikatan turun-temurun itu sia-sia adanya, artinya tidak ada realitasnya, percuma dan karena itu membiarkan diri terus dalam kesia-siaan akan seperti “menabur angin menuai badai.” Dari semua hal itu, darah Yesus telah menebus kita. Mengingat dosa turunan adalah seperti belenggu atau penyakit, maka perlu bukan saja sekali mempersilakan masalah tersebut diurus oleh darah Yesus –melalui doa pertobatan, tindakan pemutusan hubungan dengan kebiasaan dosa generational dan pemberlakuan kuasa pelepasan oleh Roh Kudus – tetapi juga secara terus menerus dalam proses pemuridan memberlakukan proses pengudusan oleh Roh, dampak pemurnian oleh darah Yesus dan ketaatan kepada Dia Tuhan dan Juruselamat, sebagaimana telah disingung di atas.

Penebusan dari dosa turun temurun tersebut telah dikerjakan oleh darah Yesus Kristus. Perhatikan kata kerja “telah” yang menegaskan bahwa penebusan oleh darah Yesus Kristus itu telah tuntas selesai. Petrus di sini memakai istilah yang dalam bentuk kata kerja dipakai di Lukas 24:12 dan Titus 2:14, yaitu membebaskan / dibebaskan, sedangkan dalam bentuk kata benda dipakai di Matius 20:28 dan Markus 10:45, yaitu tebusan / ransom. Dalam tradisi Perjanjian Lama, Allah mengeluarkan aturan tentang go-el yaitu kerabat penebus yang boleh bertindak melepaskan kerabat dari kemiskinan / utang, dlsb. Dalam tradisi Romawi, ada aturan tentang penebusan budak yang dilangsungkan di kuil sehingga budak yang bebas itu praktis menjadi milik dari sesembahan kuil itu. Dalam perspektif Keluaran semua yang sulung adalah milik tebusan Allah. Dalam Perjanjian Baru, “tidak tahukah kamu bahwa “tubuhmu adalah bait Roh Kudus,… dan kamu bukan milikmu sendiri” (1 Korintus 6;20). Maka dengan menyatakan darah Kristus sebagai ransom, Petrus ingin kita menyadari bahwa nyawa Tuhan Yesus sendiri menjadi korban tebusan yang mengerjakan semua aspek penyelamatan di atas, dengan nilai yang jauh melampaui apa yang berlaku baik di Perjanjian Lama, dan dunia Romawi.

Petrus menyatakan fakta nilai dan mulianya darah Yesus yang menjadi tebusan kita itu sebagai darah yang mahal (ay. 19). Nilai dan mulianya darah Yesus tidak dapat diukur secara ekonomis, seperti nilai mahal yang biasa dipakai dalam tradisi perbudakan Romawi yaitu “barang yang fana” yang paling tinggi nilainya adalah “emas dan perak.” Nilai dan mulia serta hebatnya dampak darah Yesus lebih tepat dibandingkan dengan darah korban-korban keimamatan Perjanjian Lama yang menggunakan anak domba yant tidak bernoda dan tidak bercacat. Apabila sejumlah harta dapat menebus orang dari perbudakan, apabila darah anak domba yang tak bercacat-cela dapat menutupi sementara dosa umat, lebih lagi darah dari hidup kekal Yesus yang tak bernoda dan bercacat dapat menebus kita dari kesia-siaan kepercayaan yang tidak mengenal Allah dan dari cara hidup yang diwariskan, diajarkan, ditularkan oleh nenek-moyang kita. Apabila harga tebusan kita dari pola kehidupan sia-sia itu sedemikian mahal, harus bagaimanakah pola kehidupan baru kita para murid Kristus di tengah dunia dengan banyak rayuan, bujukan, tipuan, cobaan, ancaman, goncangan dan kebingungan ini?

Be the first to comment

Leave a Reply