SALIB KRISTUS DAN KEIMAMATAN KEKAL

Mirip seperti ketika membaca Kitab Imamat secara kepalang tanggung, demikian juga kita mungkin merasa kesulitan dan kesan tidak relevan ketika membaca Surat Ibrani. Pokok tentang korban-korban, keimamatan dan berbagai sangkutan teologisnya bisa kita pandang tidak penting, tidak kena-mengena dengan era gereja / Perjanjian Baru, dan boleh diabaikan saja. Kesan seperti itu tidak heran mengingat sebagian besar umat Kristen masa kini berasal dari latarbelakang nonYahudi, padahal pokok-pokok gumulan surat ini sangat sarat dengan pokok teologis dalam yudaisme. Namun demikian, beberapa pokok yang dibahas dalam Surat Ibrani ternyata merupakan pokok yang sampai sekarang masih relevan. Pertamanya karena fakta bahwa iman Kristen berakar dari Perjanjian Lama dan isu-isu dalam surat ini bukan saja masih relevan bagi masa kini, juga sangat perlu untuk diketahui oleh orang Kristen nonYahudi. Kita perlu tahu hal apa saja dari akar Perjanjian Lama yang merupakan prinsip dan masih berlanjut dan menjadi bagian penting dari Perjanjian Baru dan hal apa saja yang tidak lagi penting karena konteks dan maksudnya sudah digenapi dan selesai. Beberapa pokok yang disorot Surat Ibrani ini sampai sekarang tetap merupakan hal relevan. Korban-korban misalnya, masih relevan dan bisa menjadi poin penghubung dalam penginjilan, sebab banyak kebudayaan di Indonesia masih mempraktikkan hal seperti sesajen, korban, konsep tentang “tumbal,” dan semacam itu. Kepemimpinan imam juga masih perlu dipahami dan diterapkan untuk masa kini meski dalam teologi Protestan keimamatan sudah tidak lagi dilihat sebagai panggilan untuk segelintir orang karena oleh Yesus Kristus sang Imam Besar Agung, tercipta keimamatan semua orang percaya. Meski begitu, prinsip yang Allah atur tentang keimamatan perlu kita ketahui terutama dalam kita memahami keimamatan Yesus Kristus yang menjadi Juruselamat dan Jurusyafaat kita dan implikasinya dalam kepemimpinan pola keimamatan / penggembalaan. Demikian juga dengan konsep perjanjian – Perjanjian Baru bukan membatalkan atau menghapuskan kepentingan Perjanjian Lama. Meski keselamatan dalam Perjanjian Baru sepenuhnya adalah anugerah, namun bagaimana perjanjian menjadi sifat dari hubungan Allah dan umat-Nya bukan saja hakiki dalam penghayatan keumatan kita, juga esensial dalam bagaimana kita berkomunitas, berelasi, dan menjadi diri dalam beragam relasi sosial kita. Hal lain mengapa Surat Ibrani ini tetap relevan untuk masakini adalah tentang bagaimana orang percaya mengalami dan menghidupi akses ke hadirat Allah dalam keseharian. Orang Timur khususnya sangat sensitif tentang berbagai “kehadiran” dan tentang pengalaman supernatural. Nah surat ini boleh menjadi bingkai untuk kita menghidupi kehadiran Allah secara yang alkitabiah.

Be the first to comment

Leave a Reply