SALIB DAN PERTARUNGAN SEMESTA

Fakta adanya pertarungan semesta antara Allah melawan pemberontakan iblis dan para pengikutnya dipaparkan Alkitab mulai dari Kejadian 3 sampai ke paparan apokaliptik di Kitab Wahyu. Dalam surat-surat Paulus dua bagian yang paling jelas memaparkan fakta ini adalah Kolose 2:8-15 dan Efesus 6:10-20. Kolose menyingkapkan fakta kemenangan Kristus atas iblis dan semua kekuatan kejahatan, sedangkan Efesus memberi kita prinsip dan tindakan untuk kita pun boleh menang dalam kemenangan Kristus atas kuat-kuasa kejahatan. Yang di Kolose berfokus pada peristiwa di kayu salib, sedangkan yang di Efesus menunjuk pada penerapan Salib dalam peristiwa keseharian kita.

Masalah yang dihadapi jemaat Kolose sampai Paulus mengirimkan surat pastoral-doktrinalnya kepada mereka, dapat dikatakan juga menyebar hampir di semua tempat di seluruh wilayah di bawah pengaruh kebudayaan Romawi-Yunani waktu itu. Itu adalah kepercayaan agamawi bersifat campuran antara politheisme, dinamisme, spiritisme, dan animisme dalam bentuk kepercayaan dan pengabdian kepada roh-roh atau para penguasa di angkasa yang memengaruhi-mengendali hal-hal seperti kesuburan / kemakmuran, kesehatan, kecerdasan, kekayaan, kemenangan perang, kemajuan ekonomi, dlsb. Kepercayaan semacam ini mungkin kita anggap sudah makin terkikis terutama di dunia Barat dan di antara orang-orang yang telah mengenyam pendidikan keilmuan, sains dan teknologi yang mutakhir. Tetapi kenyataannya bukan saja di Timur isme-isme kepercayaan tersebut masih marak, di Barat pun seiring berkibarnya “New Age Movement,” pascamodernisme, Barat modern pun makin berkiblat ke Timur dalam perspektif mereka tentang realitas. Dan di hampir semua wilayah di Indonesia yang Kekristenan sudah masuk cukup lama dan menjadi “mayoritas,” ternyata akar-akar kepercayaan lama itu masih kuat tertancap di kebudayaan dan di hati banyak orang. Maka, apa yang menjadi gumulan pastoral-doktrinal rasul Paulus dalam suratnya untuk jemaat Kolose dan Efesus ini, masih sangat penting dan relevan untuk masa kini. Apalagi bila dipertimbangkan bahwa yang Paulus sebut sebagai “filsafat yang kosong dan palsu, ajaran turun-temurun menurut roh-roh dunia” itu adalah yang kini kita lazim sebut sebagai wawasan hidup. Di Kolose khususnya berkembang wawasan hidup campur sari / gado-gado antara keyakinan politeistis, animistis, dinamistis dengan kepercayaan yang berakar dalam Yudaisme. Maka wawasan hidup di Kolose itu sinkretisme antara Yudaisme dan berbagai keyakinan kafir setempat. Maka tepatlah ajaran, teguran dan penggembalaan Paulus untuk jemaat ini kita terima sebagai penting dan relevan dalam konteks masa kini.

Dampak Merusak Wawasan Non-Kristen

Perhatikan bagaimana Paulus menelanjangi filsafat menyesatkan sinkretistis tersebut, berikut ini:

Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus. (Kolose 2:8)

Karena itu janganlah kamu biarkan orang menghukum kamu mengenai makanan dan minuman atau mengenai hari raya, bulan baru ataupun hari Sabat. (Kolose 2:16)

Pertama, rasul Paulus dengan tegas menyatakan bahwa filsafat yang mereka anut dan izinkan memengaruhi cara pandang dan hidup mereka itu adalah “kosong” dan “palsu” karena asalnya bukan dari firman Allah tetapi dari adat istiadat turun temurun, dan dari roh-roh dunia. Ada dua hal penting dalam pernyataan Paulus di atas. Semua wawasan hidup takhayul itu kosong dan palsu, alias seperti pepesan kosong yang isinya bukan menyatakan kesejatian realitas sesungguhnya. Lebih jauh Paulus membongkar kekosongan dan kepalsuan itu disebabkan asalnya bukan dari firman Allah sebagaimana yang dinyatakan, digenapi dan diajarkan oleh Yesus Kristus melainkan dari tradisi nenek moyang dan lebih parah lagi besar kemungkinan adanya keterlibatan roh-roh dunia yaitu roh jahat dan setan.

Kedua, Paulus membongkar dampak buruk dari menuruti berbagai wawasan hidup yang bersumber pada spiritisme, politheisme, dinamisme, dan animisme, yaitu bahwa pada intinya wawasan itu “menawan” orang dan bukan membebaskan. Istilah ini menunjuk ke metafora pertarungan kosmis dimana Kristus sudah menang tetapi orang yang sudah percaya Kristus namun masih memegang wawasan sinkretis tersebut malah mengalami kondisi berlawanan, bukannya menang bersama Kristus tetapi malah ditawan oleh kepercayaan yang sia-sia. Demikian juga sinkretisme dengan ajaran-ajaran Yudaisme tentang sunat, larangan makan-minum tertentu, dan hari-hari raya, apabila dijadikan sebagai syarat untuk orang boleh masuk ke dalam keselamatan atau tambahan mutlak untuk memantapkan keselamatan, pada hakikatnya justru bukan menggoyahkan pembenaran dan membangkitkan tudingan “penghukuman.” (Bersambung)

Be the first to comment

Leave a Reply