Pergi Menjauhi Allah

Kita mundur lagi ke awal. Kita tahu apa yang Yunus lakukan. Allah berkata, “Pergi ke Niniwe,” yaitu yang terletak arah timur dari Yerusalem. Yunus dalam dua pengertian dalam frasa itu (geografis dan evaluatif) pergi ke barat – sebab, seperti dapat Anda bayangkan, Tarsus adalah sebuah pelabuhan di Spanyol sangat jauh dari Niniwe.
Demikianlah Yunus menggertakkan gigi dan berkata, “Niniwe? Aku tidak akan pergi.” NIV menerjemahkan, “Yunus melarikan diri dari TUHAN” (1:3). Bahasa Ibraninya berkata bahwa ia keluar dari hadirat Allah, dan ini membuat Anda paham bahwa banyak versi terjemahan tidak menampung maksud sesungguhnya. Hadirat TUHAN adalah sesuatu yang sangat berharga. Hadirat-Nya bukan realitas geografis tetapi realitas perjanjian. Justru hadirat-Nya yang membuat kita tahu bahwa Allah beserta Anda untuk memberkati Anda ke mana pun Anda pergi. Ketika
Yunus melarikan diri dari Tuhan dalam ketidaktaatan, saya pikir ia tahu bahwa ia sedang melarikan diri dari berkat Allah. Itu semacam bunuh diri rohani. Tetapi saya duga ia menganggap tindakan itu semacam gestur keberanian. Ia tidak ingin ada sedikit pun kesempatan untuk Niniwe bertobat; ia ingin Niniwe dihakimi. Hal yang paling
membahagiakan Israel, pikirnya, ialah melihat Asyur terbakar habis; maka ia menentang Allah dengan menolak berkhotbah di sana. Ia melihat dirinya seorang pahlawan, yang mengurbankan dirinya demi kesejahteraan
umatnya. Tetapi itu sesungguhnya adalah kebodohan. Ia meninggalkan hadirat Tuhan. Ia membelakangi Allah, dan Allah di takha-Nya dalam kemuliaan tidak akan membiarkan maksud-maksud-Nya dibuyarkan oleh
tindakan semacam itu. Tidak ada masa depan bagi orang yang berusaha lebih bijak daripada Allah, atau yang berusaha menghentikan Dia dari melakukan rencana-Nya.
Maka Yunus pergi, membeli tiket untuk kapal yang ke Tarsus dan berlayar ke sana untuk menghindari Tuhan. Ia pergi, dan dengan pergi secara demikian ia pasti mengalami kegagalan. Ia gagal sebab, sebelum
kapal itu berlayar cukup jauh, ia terperangkap badai yang, menurut Alkitab, dikirim oleh Allah. Ayat 4 berkata, “TUHAN menurunkan angin ribut ke laut, lalu terjadilah badai besar, sehingga kapal itu hampir-hampir terpukul hancur.”
Konfrontasi Allah
Saat itu (tidak berapa lama sesudah bertolak dari pelabuhan) Yunus tertidur nyenyak di salah satu tempat di dek kapal. Saya bayangkan bahwa ia kehilangan banyak waktu tidurnya ketika ia membuat keputusan
yang seperti bunuh diri dengan tidak menaati Allah itu. Dalam kebaikan-Nya biasanya Allah membuat kita tidak bisa tidur nyenyak sesudah membuat keputusan yang mendatangkan bencana seperti ini.
Tetapi Yunus sedemikian lelah sampai ia bisa tidur dan terus tertidur meski datang badai. Ia sedang di kapal orang kafir dengan para awak internasional, semua awak kapal itu berdoa kuat-kuat, masing-masing
kepada dewanya sendiri, dan nakhoda memeriksa dan menemukan Yunus sedang tidur dan berkata, “Bangun dan berserulah kepada allahmu!”
Sebagai seorang politheis sang nakhoda beranggapan, bahwa semakin banyak allah dapat didorong untuk terlibat dalam situasi kebutuhan itu, akan semakin baik, sebab dengan demikian akan ada lebih banyak bantuan adikodrati. Maka setiap orang harus memanggil allah yang mereka pikir mereka kenal baik. “Kami sedang memanggil para allah kami,” katanya kepada Yunus, “kamu panggillah juga allahmu. Mari kita harapkan siapa tahu kita mendapatkan pertolongan yang kita perlukan dengan memanggil semua ilah yang ada.”
Jelas Yunus tidak dapat berdoa sebab penolakannya untuk menaati Allah, dan ia menjelaskan hal itu kepada sang nakhoda dan para awak kapal. Hal itu jelas dari kalimat di 1:10: “sebab orang-orang itu mengetahui, bahwa ia melarikan diri, jauh dari hadapan TUHAN. Hal itu telah diberitahukannya kepada mereka.” Dan saya bayangkan bahwa itulah yang ia katakan kepada sang nakhoda: “Aku tidak dapat berdoa sebab aku telah membelakangi Allahku.” Mengetahui dan merasa bahwa Anda tidak dapat meminta Allah mendengarkan apa pun yang Anda minta sebab Anda telah memilih untuk bertengkar dengan-Nya tentang sesuatu adalah suatu posisi mengerikan untuk siapa pun. Tetapi paling tidak Yunus telah jujur dalam keberangannya, dan memberitahu itu apa adanya.
Maka kini mereka membuang undi, memohon agar para allah yang mereka kenal memperlihatkan siapa yang bertanggungjawab untuk kesusahan mereka. Undian jatuh pada Yunus. Mereka menganggap, dan ternyata
anggapan itu benar, bahwa badai itu adalah tanda ketidaksenangan ilahi pada sesuatu di kapal itu. Seluruh awak kapal ada di sana, berusaha mati-matian mempertahankan keselamatan kapal; mereka takut dan marah.
Mereka berkata kepada Yunus, “Kamu rupanya. Apa yang telah kamu lakukan sampai badai ini menimpa kita?”
Yunus memberitahu mereka, “Ini disebabkan aku telah membelakangi Allahku. Aku seorang Ibrani. Aku menyembah TUHAN, Allah di surga – hanya sekarang ini sedang tidak. Aku telah melarikan diri dari-Nya. Ia
memberiku tugas yang aku tidak bersedia melakukan.” Laut makin mengamuk lalu mereka berkata, “Apa yang harus kami lakukan kepadamu supaya laut ini tenang?” Yunus dalam keruntuhan rohaninya itu cukup
berani. Ia berkata, “Lebih baik kalian melempar saya ke laut.” Ia telah ketahuan, dan kini ia siap dibuang – dalam pengertian harfiah penuh. Dan mereka melakukan itu. Yunus di lempar ke udara dan terjun masuk ke dalam laut yang sedang mengamuk, mengharapkan ia akan tenggelam.
Mari kita belajar dari hal ini betapa sesuatu akan hancur ketika menolak Allah dan membayangkan bahwa kita dapat menghindar dengan menolak melakukan kehendak-Nya; Allah di surga, Allah di takhta-Nya; Allah sepenuhnya mengendali dunia-Nya. Tak seorang pun dapat mengelak dengan menolak Dia, dan Yunus tidak bisa lolos begitu saja.
Kemurahan Allah
Dengan dibuangnya Yunus ke laut sebenarnya pasti tamatlah riwayat Yunus tetapi ternyata ada kemurahhatian Allah. Maka mari kita geser perhatian kita dari si manusia tanpa belas kasihan yang jalan menurunnya telah kita ikuti tadi untuk memikirkan tentang Allah yang bermurah hati yang Yunus layani dan yang rahmat-Nya sebagai Pencipta yang penuh peduli diperlihatkan berulang-ulang dalam buku ini. Kita mulai melihat hal itu dalam Yunus 1:15: “Mereka mengambil Yunus dan melemparnya ke luar, dan laut itu pun menjadi tenang.” Badai langsung
teduh. Para awak kapal sebenarnya tidak ingin melakukan apa yang telah mereka lakukan dan telah berdoa kepada Allahnya Yunus (yang realitas-Nya, tampaknya, telah diyakinkan kepada mereka melalui kisah
Yunus) dan meminta agar tindakan yang Yunus sendiri minta itu tidak dari mereka dituntut pertanggungjawabannya. Lalu dampak dari peneduhan angin ribut itu ialah bahwa para awak kapal itu “menjadi sangat takut kepada TUHAN, lalu mempersembahkan korban sembelihan bagi TUHAN serta mengikrarkan nazar” (16). Ini adalah cara Perjanjian Lama menyatakan bahwa mereka diubahkan melalui karya Roh Kudus dalam hati mereka. Mereka tiba pada pengenalan akan Allah dan melayani Allah sejati. Itulah rahmat Allah bagi para awak kapal bangsa-bangsa kafir itu.
Kini kita lihat Yunus, di mana kembali Allah memperlihatkan rahmat-Nya. Dalam pasal 3 kita membaca bagaimana jalan kisahnya. Yunus mewartakan, “empatpuluh hari lagi maka Niniwe akan ditunggangbalikkan”
(3:4). Ia sama sekali tidak menyatakan tentang kemungkinan adanya kemurahan Allah, tetapi Allah menggerakkan hati mereka sama seperti ia telah menggerakkan hati para awak kapal bangsa kafir dan dalam ayat 5 kita membaca, “Orang Niniwe percaya kepada Allah, lalu mereka mengumumkan puasa dan mereka, baik orang dewasa maupun anak-anak, mengenakan kain kabung.” Raja Niniwe memimpin mereka, mengeluarkan pengumuman (lihat ayat 7-9) dan mengatakan bahwa setiap orang harus melakukan puasa. Manusia dan binatang harus mengenakan pakaian kabung. Keputusan raja itu berbunyi, “Haruslah semuanya… berseru dengan keras kepada Allah serta haruslah masing-masing berbalik dari tingkah lakunya yang jahat dan dari kekerasan yang dilakukannya. Raja Niniwe
sendiri memerintahkan orang Asyur untuk bertobat. “Siapa tahu,” lanjut proklamasinya itu, “Allah mungkin akan berbalik dan menyesal serta berpaling dari murka-Nya yang bernyala-nyala itu, sehingga kita tidak
binasa.” Dan Allah benar berbuat itu. Terjadi suatu kebangunan yang berskala besar, demikian bisa kita katakan, dan Niniwe selamat.
Jadi lagi-lagi di sini Allah bersikap penuh rahmat. Yunus yang menginginkan Asyur hancur, dibuat kesal, tetapi ia tidak seharusnya demikian, pun kita tidak boleh mengizinkan diri kita mengharapkan kehancuran orang lain dan rindu melihat hal itu, sebagaimana hasrat Yunus. Kapan pun Anda merasa bermusuhan terhadap siapa pun atau
kelompok manusia mana pun, betapa pun buruknya mereka telah memperlakukan Anda, berhenti dan ingatlah, dan katakan kepada diri Anda sendiri: Allah telah menciptakan mereka, sebagaimana Allah telah
menciptakan aku. Allah mengasihi mereka, seperti Allah mengasihiku. Jika mereka berpaling kepada Kristus, mereka akan diampuni, seperti aku telah diampuni. Bukan hakku untuk memupuk sikap bermusuhan
terhadap mereka karena apa yang kulihat sebagai dosa mereka ketika Allah-Juruselamatku telah memperlihatkan kasih penebusan yang ajaib terhadap aku yang penuh dosa. Ini merupakan unsur dalam pola pikir Kristen yang Anda pelajari dalam pengalaman, dengan membuat diri Anda berpikir dalam garis pemikiran berikut, yaitu mengasihi musuh-musuh Anda sebagaimana mengasihi para sahabat dan menginginkan yang terbaik
dari Allah untuk satu kategori dan kategori lainnya juga. Mengasihi sesama Anda termasuk musuh maupun sahabat. Ini merupakan pelajaran yang luar biasa, dan untuk sebagian kita perlu sepanjang hidup
mempelajarinya. Sebagian orang mungkin tidak pernah mempelajarinya. Sebagian lagi mungkin sangat lambat menyadari bahwa mereka harus mempelajari itu. Tetapi semua kita harus mempelajarinya. Kisah
kebangunan di Niniwe harus membuat kita jengah oleh fakta bahwa Allah sangat dimuliakan ketika Ia menunjukkan bahwa diri-Nya penuh rahmat – bahkan kepada mereka yang sampai di saat itu masih bertindak sebagai musuh-Nya. Tuhan Yesus di salib berdoa, “Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan.” Ia berdoa untuk para serdadu yang saat itu memakukan Dia ke salib (Luk. 23:34).
Berbelaskasihan kepada para musuh dan pembuat kesalahan, dan menginginkan serta mengusahakan kesejahteraan mereka, sebenarnya adalah pusat kehidupan Kristen yang sejati.
Yunus dan Rahmat Allah
Kini kita lihat kembali ke Yunus dan melihat bagaimana Allah bermurah hati kepadanya. Tuhan menyiapkan seekor ikan besar untuk menelan Yunus, tetapi ia tidak langsung kehilangan kesadaran. Ketika ia menemukan dirinya sudah dalam perut ikan, ia menjadi sadar secara rohani. Pemikiran benar terbit dalam pikirannya, dan suatu doa yang rendah hati, penuh harap, syukur, dan percaya lahir dari hatinya – yang (kemudian, orang bisa menduga) ia ubah menjadi mazmur dalam Yunus 2:1-9. Segera kita baca, “TUHAN memerintahkan ikan itu, dan ia memuntahkan Yunus ke daratan.” Dapat Anda bayangkan bagaimana ia dengan sempoyongan bangkit di air dangkal dan terserandung keluar dari air lalu duduk sambil megap-megap menyadari apa yang telah terjadi.
Bukan saja Allah telah menyelamatkan kehidupan Yunus; Allah telah menyatakan tangan-Nya; Allah telah mengajarkan nabinya pelajaran; Allah telah membuka hati-Nya; Allah telah mengampuni dia untuk
ketidaktaatan yang menimbulkan kerusakan; Allah telah memulihkan dia ke kesalehan dan kini berharap untuk memulihkan dia kepada pelayanan profetisnya. Dalam keadaan takjub oleh keajaiban rahmat agung Allah,
Yunus harusnya pasti tidak akan lagi mengatakan tidak kepada Allah.
Maka ketika” firman TUHAN datang lagi kepada Yunus untuk kedua kalinya: “Bangunlah, pergilah ke Niniwe, kota yang besar itu, dan sampaikanlah kepadanya seruan yang Kufirmankan kepadamu.” Yunus taat (3:1-3). Nah, itulah rahmat! Nabi ini kembali ke urusannya sekali lagi. Allah memulihkan Yunus ke pelayanan, dan Ia memberkati orang lain melalui pelayanannya. Yunus, seperti telah kita lihat, sangat marah sebab ia ingin melihat Ninewe hancur. Tetapi ia harus bersukacita! Tidak semua pengkhotbah yang pelayanannya membawa berkat
kebangunan dan melihat banyak orang berpaling kepada Allah sebagai akibat dari hal-hal yang ia proklamasikan. Itulah yang Yunus lihat. Dan saya katakan, itulah kemurahan, baik kepada sang pengkhotbah maupun kepada orang banyak.
(James I. Packer, Selalu Ada Harapan, psl. 4.2.)

Be the first to comment

Leave a Reply