Jadi sekarang, pergilah, Aku mengutus engkau kepada Firaun untuk membawa umat-Ku, orang Israel, keluar dari Mesir.” Tetapi Musa berkata kepada Allah: “Siapakah aku ini, maka aku yang akan menghadap Firaun dan membawa orang Israel keluar dari Mesir?” Lalu firman-Nya: “Bukankah Aku akan menyertai engkau? Inilah tanda bagimu, bahwa Aku yang mengutus engkau: apabila engkau telah membawa bangsa itu keluar dari Mesir, maka kamu akan beribadah kepada Allah di gunung ini.” — Keluaran 3:10-12
Sejauh mana Allah yang Mahakuasa, Mahaadil, Mahakasih, Mahasuci, Mahamulia… membutuhkan peran serta manusia dalam Ia mewujudkan rencana dan karya besar-Nya di bumi ini? Jawabnya, inilah misteri kebesaran hati Allah. Sebab, sesungguh-sungguhnya Ia tidak membutuhkan bantuan siapa pun — Ia yang dengan hanya berfirman mewujudkan apa yang ada dalam hati dan pikiran-Nya, bagaimana mungkin Ia membutuhkan peran serta manusia? Tetapi, kenyataannya memang demikian. Ia seakan bergantung pada “kaki-tangan”-Nya dalam bentuk peran serta dan tindakan nyata manusia-manusia lemah, tidak sepadan kemuliaan-Nya, fana dan serba terbatas bahkan cenderung cemar. Inilah kebesaran, keajaiban hati Allah. Dan karena itu patutlah kita yang diajak untuk ambil bagian dalam karya-karya kerajaan-Nya menyambut panggilan itu dengan gentar, hormat, sadar diri sambil sadar Dia yang memanggil.
Musa, seperti juga kebanyakan para pahlawan iman dalam catatan Alkitab maupun sepanjang sejarah umat Tuhan merespons panggilan dan tanggungjawab yang Allah berikan kepadanya dengan ungkapan kerendahan, ketidaklayakan, keengganan. Ia sudah pindah dunia. Ia sudah di alam lain yang memengaruhi jatidiri, nilai, cita-cita, potensi dan kapasitasnya. Di istana Firaun ia sangat sadar diri — potensi, prospek, power. Di padang belantara sunyi ia mengalami kebesaran alam sambil juga berbagai ancaman baik dari alam yang keras maupun dari binatang buas. Singkatnya ia menyadari betapa kecil, lemah, rentannya dirinya hanya untuk menghadapi alam. Apalagi kini harus memikul tanggungjawab besar dari Allah, dan menghadapi dua pihak — Firaun dan bani Israel — yang empat puluh tahun lalu justru telah membuat ia melarikan diri.
Tetapi Allah bukan hanya memanggil. Ia juga memberi janji penyertaan. Dan hanya orang yang menyadari kelemahan dan ketidaklayakan yang mengerti dan menghargai betapa perntingnya perkenan, penyertaan dan karunia dari Allah. Allah bahkan juga memberikan tanda — ini penting untuk semua ktia juga. Tanda itu ialah bahwa nanti di ujung ketika tugas dari Dia itu sungguh dilaksanakan, ketika sudah berhasil — nah itulah tanda dari Allah. Jika tidak ada langkah ketaatan, tindakan nyata pihak manusia yang dipanggil, maka tanda itu, tanda bukti keberhasilan dari Allah itu, tidak akan pernah dialami. Ada arti penting di sini. Tanda janji akan berhasil di ujung jalan itu tentunya mencakup semua tanda-tanda yang beriringan menyertai, memampukan, menguatkan ketika langkah-langkah tindak nyata taat kita lakukan. Maka target ilahi itu harus menjadi kompas, penghiburan, penguatan untuk turun–naik, jatuh-bangun kita di keseharian dalam menjalani panggilan Tuhan untuk hidup ini.
Ia menganggap penghinaan karena Kristus sebagai kekayaan yang lebih besar dari pada semua harta Mesir, sebab pandangannya ia arahkan kepada upah. Karena iman maka ia telah meninggalkan Mesir dengan tidak takut akan murka raja. Ia bertahan sama seperti ia melihat apa yang tidak kelihatan. — Ibrani 11:26-27
Leave a Reply
Anda harus masuk log untuk mengirim sebuah komentar.