Dalam pemeriksaan yang Dallas Willard lakukan atas Khotbah Yesus di Bukit, ia mencatat bahwa gereja sering gagal untuk menunjukkan orang beriman kepada kehidupan jiwani yang lebih kaya dan sebaliknya mengkhotbahkan “injil pengaturan dosa.” Mengatur dosa adalah seperti bermain dengan kelereng. Saya berusaha mengatur semua kelereng di satu pojok terbatas. Baru saja saya hampir menyelesaikan tugas itu, sebuah kelereng lawan muncul. Ketika saya berhasil menata semua kelereng di
tempat seharusnya – yaitu mengendali semua dosa saya – Yesus berkata bahwa saya bahkan lupa bahwa masih ada kelereng lain.
Daya tarik dari injil pengaturan dosa ialah bahwa sekali saya berhasil mengendali aspek-aspek kehidupan saya yang tampak, saya dapat merasa bebas untuk mengalihkan perhatian saya ke kekacauan yang orang lain buat dalam kehidupan mereka. Tidak peduli bahwa kehidupan batin saya seperti rawa atau bahkan lebih buruk lagi, seperti tanah tandus. Paling tidak saya kelihatan baik dari luar. Yesus mencerca orang Farisi karena sikap yang sama ketika Ia berkata, “kamu sama seperti
kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran” (Mat. 23:27).
Ketika kita membuang ide tentang dosa sebagai kegagalan untuk mengatur perilaku yang terlihat dan memahami dosa sebagai kegagalan jiwa kita untuk sepenuhnya serasi dengan hati Allah, kita dapat melepaskan tindakan kompulsif mencari-cari noda orang lain. Yesus bertanya, “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?” (Mat. 7:3). Tidak saja saya harus meninggalkan kesenangan salah dalam membandingkan kualitas
pengaturan dosa dalam hidup saya dengan dalam fhidup orang lain, tetapi saya harus bertanggungjawab untuk dosa saya sendiri.
Dalam skema Yesus tentang realitas, maksud dari pengaturan hidup saya bukan untuk memberikan saya kesempatan untuk merasa diri penting tetapi memanggil saya untuk memerhatikan orang papa, orang yang kesepian, orang yang kematian kekasih dan semua lainnya yang tidak memiliki kemewahan untuk boleh membuat hidup mereka kelihatan putih
bersih dari luar. Yesus mengajarkan bahwa doa rendah hati seorang pendosa yang memohon rahmat lebih disambut ke telinga Allah daripada bual mereka yang berpikir bahwa mereka telah mengatur dosa-dosa mereka (Luk. 18:9-14).
Seorang muda yang kaya datang kepada Yesus dan bertanya, “Apakah yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” Orang muda itu menyatakan bahwa ia telah melakukan semua hukum Allah sejak ia masih kecil. “Yesus memandang dia dan menaruh kasih kepadanya, lalu berkata kepadanya: ‘Hanya satu lagi kekuranganmu: pergilah, juallah apa yang
kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.’ Mendengar perkataan itu ia menjadi kecewa, lalu pergi dengan sedih, sebab banyak hartanya” (Mrk. 10:21-22). Seperti orang muda itu. Dalam kesombongan saya mungkin datang kepada Yesus untuk menerima
pujian terhadap perilaku benar saya, hanya mendapatkan Tuhan meneropong ke dalam wilayah penting di mana hati saya tidak bersedia untuk tunduk.
Selama hampir dua dekade saya telah beribadah dalam sebuah gereja Episkopal. Ketika pertama kali saya ikut serta dalam liturgi, doa pengakuan dalam persiapan untuk Ekaristi sungguh menempelak saya. “Allah yang maha rahmani, kami mengakui bahwa kami telah berdosa melawan-Mu dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan; melalui yang kami lakukan, dan melalui yang tidak kami lakukan. Kami telah tidak mengasihi-Mu dengan segenap hati kami; kami tidak mengasihi sesama
kami seperti kami mengasihi diri sendiri.”
Betapa pun kerasnya saya berusaha mengatur perilaku dosa-dosa tindakan saya, sungguh mustahil untuk saya melakukan semua perintah Allah. Dosa-dosa karena tidak melakukan tetap saja ada. Saya tidak mengasihi
Allah dengan segenap hati saya. Saya tidak mengasihi sesama saya seperti diri saya sendiri. Selalu ada saja kelereng liar yang
menggelinding lepas.
DURI YANG MENETAP
Setiap dosa yang diakui adalah undangan untuk Allah mengerjakan mukjizat melalui anugerah-Nya. Jika saya sungguh menangkap kebenaran ini, saya akan berhenti untuk berusaha secara obsesif mengatur kelereng-kelereng dosa saya dan berupaya mengendalikan mereka. Sebaliknya saya akan mencari kelereng yang terhilang atau terlupa di pojokan hati saya. Boleh jadi sesungguhnya saya telah bosan dengan wilayah hidup saya yang teratur dan tampak baik. Saya seharusnya
mencari tempat-tempat baru dalam diri saya yang belum menampakkan kepenuhan terang transformasi dari Allah. Saya bahkan dapat berpikir, Sudah sekian lama sejak Allah membuat mukjizat dalam diri saya. Saya
ingin menemukan sekantong dosa yang terlupakan entah di mana supaya saya dapat memberi Allah kuasa dan kebebasan untuk mengubah air menjadi anggur dan kebutaan menjadi melihat.
Waktu kita memikirkan tentang dosa-dosa ciri diri kita, kita harus juga mempertimbangkan akar biologis diri kita dan bagaimana kita berinteraksi dengan dunia. Sebagai tambahan dari gumulan jelas seperti sakit mental atau cacat otak, kita harus memperhitungkan temperamen biologis kita. Sementara orang memiliki kecenderungan alami untuk
khawatir, marah atau depresi. Kecenderungan ini sering kali berlangsung dalam keluarga asal. Sementara orang tidak pernah bergumul dengan dosa kemarahan; bahkan saya memiliki pasien yang justru memerlukan sedosis kemarahan yang sehat untuk sasaran terapi mereka. Saya punya pasien lain yang teradiksi dengan kemarahan; jika mereka mengizinkannya memasuki hati mereka kemarahan akan diam berhari-hari sebelum mereka dapat mengendalikannya. Temperamen mereka, sebagiannya
biologis, membuat mereka terus menerus terdorong ke arah kemarahan. Mereka bukan lebih lemah atau lebih berdosa daripada orang lain; mereka memang nyatanya memiliki salib berbeda untuk dipikul.
Rasul Paulus mengakui adanya gumulan pribadi ketika ia menulis tentang duri dalam daging (2Kor. 12:7-10). Banyak orang bertanya-tanya apa persisnya duri yang Paulus gumuli itu. Seorang teman saya mengusulkan bahwa boleh jadi itu adalah rasa bersalah dan aib tentang begitu banyak orang beriman yang pernah Paulus bunuh dalam hidup pra-perubahan hidupnya. Apa pun gumulannya, Paulus menekankan baik anugerah Allah yang cukup untuk menghadapi kelemahan kita dan maksud
Allah dalam memakai kelemahan kita untuk merendahkan hati kita dan memuliakan diri-Nya. Ketika kita melayankan anugerah kepada orang yang dalam kepedihan masalah, kita mewujudkan Kristus untuk orang itu. Ketika kita mengizinkan gumulan untuk mengarahkan kita kepada Allah kita menebus kehancuran hidup kita.
KEJUJURAN MENGATASI CITRA
Ketika kita menolak ketundukan ke bawah hukum dalam legalisme salah pengaturan dosa dan berpaling ke kemerdekaan kuasa mukjizat anugerah Allah, kita memasuki pembentukan rohani. Tahun-tahun terakhir ini
tulisan-tulisan dan praktik-praktik kuno pengarahan kerohanian telah mengalami suatu renaisans. Pelajaran dan program studi dalam pembentukan rohani telah tumbuh di mana-mana, dan demi alasan yang baik. Para pemercaya dan pencari kontemporer sama telah menjadi lelah akan kedangkalan kebudayaan kita dan kebiasaan gereja kita. Kita tahu
harus ada yang lebih daripada sekadar berpura-pura bahwa diri kita cukup baik.
Psikoterapi tidak dapat berfungsi sebagai imamat yang memberikan arti melampaui lapisan perilaku. Kesadaran diri demi dirinya sendiri membawa sedikit saja kepuasan. Saya harus mulai dari mengenal hati saya, tetapi hal itu tidak menuju ke mana pun jika saya tidak dapat membawa ruang-ruang penemuan baru itu ke terang pengubahan dari Allah.
Keimamatan dan penggembalaan religius pun hanya berbuat sedikit dibanding yang sekuler. Kebanyakan anggota gereja tidak menciptakan ruang penyambutan untuk pengakuan dosa. Mereka yang memimpin sering kali menampakkan diri mereka sebagai ikon-ikon kondisi hampir sempurna. Para pendosa pada umumnya, yang tidak dapat cukup baik menyembunyikan dosa-dosa mereka, terpulang dengan perasaan rendah diri. Ketika kita sungguh mengakui dosa kita dalam gereja biasanya
hanya dosa-dosa kecil dan dapat dimaklumi. Implikasinya – hanya ini kelereng yang ada di bidang permainan – membuat kita terkesan lebih baik ketimbang jika kita berpura-pura sama sekali tidak ada dosa.
Kelaparan akan pembentukan rohani lebih dalam tidak dapat dipuaskan dalam komunitas yang menghargai citra lebih daripada kejujuran. Kita harus menolak injil pengaturan dosa dan merangkul injil anugerah. Kita sedang dalam ziarah dalam arti katanya yang sejati. Para peziarah mencari untuk diubahkan oleh perjalanan ziarah menjadi orang yang layak pada saat ketibaan di tujuan akhir kelak. Penderitaan yang kita alami ketika menghadapi diri kita dan menyebut dosa-dosa ciri diri
kita akan sirna dibandingkan dengan kesukaan terjadinya perubahan. Para peziarah rindu mengenali dosa-dosa ciri diri mereka agar mereka boleh dengan penuh kemauan menundukkan diri mereka kepada jamahan Kristus yang menyembuhkan itu.
KECURIGAAN YANG TAK TERSEMBUHKAN
Oswald Chambers telah menunjukkan dengan cemerlang bahwa akar dosa terletak dalam “kecurigaan tak tersembuhkan terhadap Allah”: kecurigaan bahwa Allah tidak baik. Dosa-dosa ciri diri saya adalah berbagai keraguan pribadi saya tentang kebaikan Allah. Saya berdosa ketika saya tidak percaya bahwa Allah memiliki interes terbaik saya di hati. Saya berdosa ketika saya sendirian dan takut dan janji-janji Allah terkesan jauh dan sukar diingat. Saya berdosa ketika saya agaknya yakin bahwa Allah akan mengatakan tidak kepada hal yang sekarang ini juga saya inginkan tetapi saya yakin bahwa saya tidak dapat hidup tanpa hal itu.
Istri saya berlibur di Inggris. Ia tinggal di sebuah penginapan, dan setiap hari ia berjalan ke kota melalui rute yang sama. Pada saat kembali ia selalu tiba di persimpangan yang membingungkan. Di hari pertama ia mengambil arah yang salah dan harus undur ke tempat semula untuk kembali ke jalan yang benar. Sampai beberapa hari sesudahnya ia mengambil kelokan yang salah sebab kelihatannya sangat dikenal. Jalan yang salah kelihatan lebih meyakinkan daripada jalan yang benar.
Setan, yang percaya bahwa Allah tidak baik, mencobai Hawa untuk menarik kesimpulan yang sama. “Engkau sungguh ingin bertaruh,” tanyanya, “bahwa Allah sungguh baik? Engkau memiliki buah ini dalam raihanmu. Apakah engkau sungguh ingin menyingkirkannya dan mengambil risiko bahwa engkau kelak akan selalu berharap telah memakannya?”
Allah mengklaim Ia mengasihi saya dan menaruh interes terbaik saya di hati. Namun demikian saya terkadang bertanya-tanya seperti halnya Adam dan Hawa, Sungguh baikkah Allah, atau apakah aku telah terperangkap? Tepat ketika saya berharap Allah akan bergegas datang dan meyakinkan saya bahwa Ia pasti mengasihi saya dan tidak akan mencelakakan saya, Allah tetap secara sengaja ada di luar jangkauan dan penglihatan. Dalam kesan ketidakhadiran-Nya itu, tumbuhlah keraguan saya.
Hanya perlu iman kecil untuk percaya akan keberadaan Allah. Orang bahkan dapat taat Allah tanpa banyak iman, seperti cara seorang budak atau binatang peliharaan menaati tuannya. Iman masuk di saat-saat kuat dalam kehidupan kita ketika kita harus memutuskan entah kita akan percaya atau tidak bahwa Allah baik adanya.
Iman berarti melangkah ke jalan yang terkesan sangat sama dengan jalan yang salah. Saya harus melakukannya tanpa jaminan, semata karena saya memercayai jaminan Allah bahwa jalan-Nya akan menuju ke tempat yang baik. Mengikuti panggilan Yesus bersifat bertentangan dengan intuisi, sama seperti halnya tidak memakan buah yang ada di tengah Taman juga terkesan bertentangan dengan intuisi.
Ketika anak saya masih baru belajar berjalan ia jatuh dan luka-lukanya di dahi harus dijahit. Saya harus memeganginya sementara staf rumah sakit membedungnya ke sebuah papan, agar mereka dapat melakukan jahitan. Saya teringat tatapan ketakutan dan permohonan di matanya ketika ia berusaha menerima bahwa orangtuanya mengizinkan hal seperti itu terjadi.
Saya pikir Allah terkadang merasa seperti orangtua yang harus mengizinkan anak-anak-Nya meragukan kebaikan-Nya, karena mengetahui bahwa kita tidak dapat mengerti apa yang terjadi. Di saat-saat seperti itu kita mendapatkan pencobaan terbesar untuk berdosa.
(Michael Mangis, Dosa Ciri Diri, psl. 1.2)
Leave a Reply
Anda harus masuk log untuk mengirim sebuah komentar.