Menyadari Kuasa Media

Kita telah menelusuri prinsip tentang apa / siapa media dan bagaimana bermedia dari perspektif teologis, antropologi alkitabiah, dan Inkarnasi Kristus. Juga melalui pembahasan tentang bahasa / bicara kita menarik prinsip bagaimana media harus dikaitkan dengan makna, disadari sifatnya sebagai tafsiran tentang realitas dan mencermati kekuatan performatif di dalamnya.

Sebelum lebih jauh menelusuri poin-poin analitis tentang pengaruh positif-negatif, konstruktif-destruktif dari media pada berbagai praktik dalam Kekristenan, mari kita tengok beberapa kisah dan perumpamaan yang menyingkapkan perlunya 1) penilaian lengkap tentang media, 2) kesadaran kendali diri dan media, dan 3) strategi pemakaian media yang tepat guna. Ini dikisahkan ulang oleh Marshall McLuhan yang menegaskan bahwa “the Medium is the Message.”

Pertama tentang Socrates mengajar muridnya Phaedrus dalam tulisan Plato dengan judul Phaedrus juga. Socrates menceritakan tentang dua dewa Mesir. Yang satu adalah raja bernama Thamus dan satunya lagi seorang penemu bernama Theuth. Pada suatu kesempatan Theuth menampilkan berbagai temuannya di hadapan Thamus sambil menjelaskan apa keunggulan dan kegunaan masing-masing temuan itu. Di puncaknya Theuth berkata: “Yang mulia, ini adalah temuan paling istimewa. ‘Tulisan’ adalah temuan luar biasa yang dapat meningkatkan kebijaksanaan dan daya ingat orang Mesir.” Lalu Thamus menjawab: “Hai Theuth penemu terkemuka. Sadarilah bahwa seorang penemu bukan penilai terbaik tentang baik atau tidak, berguna atau berbahaya temuannya sendiri pada pemakainya. Sadarlah bahwa temuanmu ini bukan akan meningkatkan hikmat dan menguatkan memori melainkan orang akan bergantung pada tulisan sehingga ingatan dan kebijaksanaannya justru akan tidak diasah dan menumpul. Temuanmu ini hanya menerima dan mengumpulkan dengan alat di luar diri manusia bukan mengingat dengan mengasah sumber daya internal manusia sendiri. Mereka akan mengumpulkan informasi secara kuantitatif tetapi tanpa realitas.” Reaksi Thamus tentang akumulasi informasi melalui media tulisan ini kira-kira senada dengan peringatan tentang information implosion yang kini terjadi akibat media sosial. Quentin J. Schultze dalam Habits of the High-Tech Heart menyatakan “… ledakan informasi akan menjadi wabah misinformasi, rentetan tembakan nonsens, kebodohan, gosip yang bertopengkan pengetahuan, hikmat, dan bahkan kebenaran.” Di sisi lain Neil Postman dalam Technopoly menyimpulkan cerita Socrates di atas sebagai dua cara pandang dan sikap tidak lengkap / keliru tentang media. Masing-masing Thamus dan Theuth hanya melihat dengan sebelah mata tentang media yang dibahas. Menurut Postman keduanya gagal melihat sisi-sisi lain dari media sehingga masing-masing mereka menjadi seperti nabi bermata satu. Yang satu hanya melihat sisi positif dan tidak melihat sisi negatif tulisan, yang satu sebaliknya hanya melihat sisi negatif tetapi gagal melihat sisi baik dari temuan itu. Poin penting di sini untuk kita adalah miliki penilaian, kecermatan, penggunaan yang lengkap dan utuh terhadap semua media.

Kedua, Marshall McLuhan merujuk ke dongeng Narcisus. Dalam mitos Yunani, Narcisus adalah seorang pemuda amat ganteng yang digandrungi oleh banyak gadis. Narcisus tidak pernah membalas cinta mereka sampai membuat mereka marah lalu meminta dewa mengutuk Narcisus. Konon di tengah hutan terdapat sebuah danau dengan air jernih sampai permukaannya bagaikan cermin. Suatu hari sesudah letih berburu Narcisus mendatangi danau itu. Ketika ia membungkuk hendak menciduk air untuk diminum, ia melihat refleksi wajahnya di permukaan air. Dilihatnya wajahnya yang tampan, rambutnya yang lebat dan ikal, matanya yang bercahaya indah, dst., lalu ia jatuh cinta pada refleksi dirinya itu. Ia membungkuk makin mendekat ke refleksi dirinya itu, berusaha memeluk dan mencium sampai akhirnya ia tercebur ke dalam danau dan mati. Biasanya pelajaran dari mitos itu adalah Narcisus jatuh cinta kepada dirinya sendiri. Dari sini muncul istilah narcisis yang disingkat menjadi narsis. Tetapi menurut McLuhan masalah Narcisus bukan bahwa ia jatuh cinta pada dirinya sendiri, melainkan ia tidak dapat membedakan refleksi atau cerminan itu sebagai cerminan dan bukan pribadi nyata. Poin dari mitos ini yang disorot oleh McLuhan ialah jangan sampai media membuat kita menjadi narsis dalam artian tidak lagi mampu membedakan mana realitas mana virtual.

Ketiga, kembali merujuk ke mitos Yunani yang diangkat oleh McLuhan yaitu mitos Perseus. Alkisah Perseus, putra dewa Zeus tinggal di wilayah yang ada monsternya bernama Medusa. Setiap orang yang ingin membunuhnya ketika melihat ke sorot mata Medusa, akan berubah menjadi batu. Para dewa kemudian mengutus Perseus untuk membunuh Medusa. Ia diberi perlengkapan sebuah perisai yang permukaannya mengkilap. Perseus mengendap mendekat ke Medusa. Ia menyembunyikan wajahnya di balik perisai itu sehingga matanya tidak melihat langsung ke Medusa. Sebaliknya sorot mata Medusa hanya memantul di permukaan perisai mengkilat itu. Dengan cara demikian Perseus berhasil sampai di jarak cukup dekat untuk memenggal kepala Medusa dan pulang mempersembahkan kepala itu kepada para dewa. Beda dari Narcisus yang terpesona dengan refleksi wajahnya dan tidak dapat membedakan yang riil dari yang maya, Perseus menyadari bahwa media adalah perpanjangan dirinya yang harus secara tepat ia kendalikan supaya bermanfaat dan bukan sebaliknya. Dan supaya itu terjadi manusianya yang harus menjadi media utama pengendali semua media sekunder sebagai alat dengan menyadari sifat dan dampak baik-buruk masing-masingnya.

Empat Hukum Media

Marshall McLuhan memberikan kita cara yang bermanfaat untuk menilai media yaitu empat hukum media sbb.:

1. Apa yang diperpanjang oleh medium ybs? McLuhan menegaskan bahwa setiap medium baru meningkatkan, memperkuat, atau meluaskan kapasitas tertentu kemanusiaan kita. Atau dengan bahasa di awal, media adalah perpanjangan kemediaan kita. Dengan mengerti bagian mana dari kemanusiaan kita – entah itu anggota badan seperti camera memperpanjang mata, atau sistem audio meningkatkan mulut dan telinga, atau emosi seperti tembok rumah memperpanjang rasa aman dan privasi kita – akan menolong kita menyadari bagaimana dampak media dalam hidup.

2. Apa yang dijadikan usang oleh medium ybs? Setiap medium baru menjadikan usang medium sebelumnya yang diperpanjang atau ditingkatkan olehnya. Usang di sini tidak berarti dibuang atau ditiadakan melainkan diganti arti dan fungsinya. Ambil contoh kereta kencana dalam zaman kerajaan purba atau andong yang dipakai rakyat jelata kini dijadikan usang oleh hadirnya mobil. Kereta kencana atau andong itu kini mendapatkan arti dan fungsi baru, yaitu sebagai barang antik yang sewaktu-waktu bisa dipakai untuk nostalgia atau event romantis semisal waktu pengantin baru berfoto.

3. Apa yang dialih-balikkan oleh medium ybs? Hukum ini memperlihatkan bahaya yang bisa ditimbulkan oleh media baru apa saja. Apabila didesak sampai ke ekstrim media akan berbalik ke kondisi berlawanan dari yang dimaksudkan. Contoh paling jelas mobil yang dimaksud untuk mempermudah transportasi berbalik menimbulkan masalah traffic jam. Hukum pembalikan ini adalah yang paling sukar untuk diduga atau diantisipasi. Tetapi hukum berikut akan memberi kejelasan.

4. Apa yang diambil (diunduh) oleh media ybs? Setiap medium baru mengunduh beberapa pengalaman terdahulu atau medium sebelumnya. Dengan kata lain tidak ada media yang sepenuhnya baru. Tidak ada teknologi yang sama sekali baru. Dengan mengerti hukum ini kita boleh memiliki pemandangan ke belakang yang memampukan kita untuk bersiaga memandang ke depan. Media yang kini mengambil media sebelumnya akan digantikan oleh media baru yang mengambil dari apa yang kini berlaku. Sebagai contoh telegram mengambil fungsi surat; email sekarang mengambil fungsi telegram; maka yang akan datang adalah yang akan mengambil dan mengganti fungsi email.

Menariknya di sini McLuhan tidak memberi kita penjelasan melainkan pertanyaan. Dengan memakai pertanyaan-pertanyaan itu kita dibimbing untuk menilai secara bijak dan kontekstual dengan ciri kedirian kita masing-masing. Juga kita dimungkinkan untuk mengadaptasikan interaksi kita dengan media-media dalam konteks kita yang berubah-ubah. Lebih jauh pertanyaan-pertanyaan ini mengharuskan kita mengenali diri sendiri dan jujur tentang realitas kemediaan diri kita serta sejauh makna dan dampak apa kita telah membuka diri kepada berbagai media. Kita akan dibantu untuk menghindari sindroma nabi bermata satu, narsis yang gagal kenal diri dan tahu menjaga jarak dari media, serta bijak seperti Perseus dalam bermedia.

Be the first to comment

Leave a Reply