Menumbuhkan Afeksi Hati Kita

Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan. (AMSAL 4 : 23)

Mempelajari Alkitab tidak saja akan menumbuh-kembangkan kesanggupan mencerap kita tetapi juga kesanggupan mengasihi kita.

Tahu bagaimana mengungkapkan perasaan kita secara positif adalah kunci untuk membangun relasi sosial yang sehat.

Membangun daya mengasihi kita (kehidupan emosional kita) secara seimbang adalah bagaikan mengurus dan merawat taman batin kita.

Menghafal Alkitab adalah seperti menanam benih di kebun hati kita. Kembali Ulangan mengingatkan: “Apa yang Ku perintahkan kepadamu pada hari ini, haruslah engkau perhatikan” (Ulangan 6:6).

Dengan pengolahan secara terus menerus Anda menjadi sangat sadar akan ruang dalam keberadaan Anda, sehingga kesanggupan mengasihi hati Anda pun dapat dirawat.

Dalam bukunya Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosional), Daniel Goleman, profesor psikologi di Harvard, mengklaim bahwa emotional quotient (EQ) adalah indikator jauh lebih kuat dari kesuksesan dalam hidup ketimbang intelligence quotient (IQ). Ia meneliti para tokoh terkemuka sepanjang sejarah dan mendapatkan bahwa kebanyakan mereka tidak dikaruniai dengan IQ tinggi melainkan dengan EQ tinggi. Daftar ciri kepribadian yang ia temukan termasuk pengendalian diri, belas kasihan, kasih, kesabaran, kerajinan, kompromi kejujuran, kreativitas; semua ini dapat ditemukan di dalam taman batin.

Goleman mengisyaratkan bahwa mungkin ada hubungan lebih erat antara kesuksesan dan kesanggupan mengasihi / emosionalitas ketimbang dengan inteligensi. Bagaimana bisa demikian? Dunia pengertian dan pencerapan adalah dunia dari indra-indra yang dikuduskan yang di dalamnya berbagai bagian berbeda kadang mendapatkan koneksi, dan secara instan menghasilkan pengertian yang komprehensif.

Wawasan intuitif ini menyangkali logika, tetapi ia dapat dialami oleh orang yang umumnya memiliki kehidupan batiniah yang tertata baik. Wawasan dapat dijelaskan sebagai sebuah pengalaman di saat-saat yang sadar dan tenang ketika semua faktor yang sedang dipertimbangkan secara mendadak terlihat sepenuhnya. Itu seolah seluruh alam semesta tercermin dalam akal yang jernih. Sesungguhnya, itu adalah karunia dari Allah untuk mereka yang akan menyisihkan waktu untuk refleksi dan meditasi Firman-Nya.

Ini bukan pengalaman untuk kelompok elit spesial; melainkan itu menunggu siapa saja yang murni mendambakan untuk mendapat wawasan dan pengertian. Pemazmur tahu untuk siapa pengalaman ini diberikan. “dipuaskan-Nya jiwa yang dahaga, dan jiwa yang lapar dikenyangkan-Nya dengan kebaikan” (Mazmur 107:9).

Orang dengan EQ tinggi akan memiliki kehidupan batiniah yang tertata baik. Ia telah memiliki hikmat untuk memanfaatkan hatinya, yang adalah sumber kehidupan. Sastra Hikmat mengajarkan ini beberapa milenia yang lalu. “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan” (Amsal 4:23). Hikmat sejati menyadari bahwa kita harus menjaga hati kita dan menumbuhkan kesanggupan kasih kita juga.

Penting juga untuk kita menyatakan emosi kita. Esensi EQ bergantung pada sebaik apa kita mengamati, mengenali dan menyalurkan emosi-emosi kita. Apabila kesanggupan mengasihi dikembangkan, akan lebih mudah untuk dikendalikan. Apabila kita mengendali emosi kita dengan cukup beralasan, kita menjadi berempati terhadap orang lain, ketika kita memotivasi diri kita, kita juga menjadi terampil dalam memotivasi orang lain.

Hidup bukan mengenai persaingan dengan orang lain. Sebaliknya, hidup adalah persaingan dengan diri kita sendiri. Mengatur diri kita dan akal budi kita jauh lebih penting ketimbang meraih seluruh dunia ini. Kita bahkan boleh berkata bahwa hidup terdiri dari menaklukkan emosi-emosi negatif. Amsal bicara mengenai hal ini. “Tidak cepat marah lebih baik daripada mempunyai kuasa; menguasai diri lebih baik daripada menaklukkan kota” (Amsal 16:32 – IBS).

(Joshua Choohmin Kang, Alkitab dalam Hati, psl. 8)

Be the first to comment

Leave a Reply