Mengembangkan Konsentrasi

Setiap hari Ia mengajar di Bait Allah. . . .

dan semua orang bangun pagi-pagi sekali

untuk mendengarkan Dia di Bait.

L U K A S 21:3 7- 3 8 (Terjemahan yang dipakai penulis)

Tiada hal yang mutlak perlu dalam menjalani kehidupan berkemenangan selain dari kemampuan berkonsentrasi. Keberhasilan tidak mesti datang kepada mereka yang bekerja keras; melainkan sukses datang kepada mereka yang bekerja secara terfokus. Apabila kita mempelajari Alkitab dalam hati, kita tumbuh dalam kebiasaan kudus berkonsentrasi.

Konsentrasi adalah daya dorong di balik semua pencapaian. Jika kita memberi waktu secara simultan kepada banyak proyek, akan sukar untuk kita sanggup membuat kontribusi besar pada salah satunya. Tetapi jika kita berkonsentrasi menggali sumur sampai air akhirnya memancar, ini akan benar-benar memberi hasil,

Kita tidak dapat belajar tanpa konsentrasi. Kita tidak dapat mengembangkan akal budi tanpa konsentrasi. Kita tidak dapat menggerakkan ingatan atau kreativitas tanpa konsentrasi. Kita tidak dapat menyelesaikan masalah tanpa konsentrasi. Kita tidak dapat menghafal Alkitab tanpa konsentrasi.

Menghafal Alkitab mulai dengan tekad, tekad untuk fokus. Fokus kita menyingkirkan semua hal lain demi kita menghafal nas singkat. Kita mengunyahnya, mengunyah-ngunyah lagi, kita merenungkannya sampai kita menjadikan nas itu milik kita. Yang tidak kita lakukan adalah merenungkan seratus nas sekali waktu sambil berharap dapat menghafal secara mendadak.

Kehebatan dalam manusia sebagian besarnya bergantung pada kuasa kebiasaan. Dalam bukunya

Joy at Work (Sukacita di Pekerjaan), Dennis Bakke mengutip filsuf kuno Yunani Aristoteles: “Kita adalah pengulangan apa yang kita lakukan. Keistimewaan, karena itu, bukan tindakan tetapi kebiasaan.” Itu adalah kata lain dari mengatakan bahwa masa kini kita dikuasai oleh kebiasaan, dan masa depan kita akan ditentukan oleh kebiasaan. (Semoga yang membacakan kenangan tentang kita di upacara penguburan kita akan lebih berfokus pada kebiasaan baik ketimbang kebiasaan buruk kita.)

Kebiasaan bukan hal yang semalaman selesai; itu adalah sebuah pola, sebuah gaya hidup. Tidak ada makhluk lain yang mengetahui ini sebaik laba-laba yang menyulam jaringnya yang indah dan mengagumkan. Aesop yang agung mendorong kita untuk mengikuti cara laba-laba, satu utas sutra sekali waktu. Harapannya, itu akan menghasilkan kehidupan yang kudus dan keberkatan hasil dari kesetiaan, tetapi itu bisa juga menghasilkan kehidupan yang hancur.

Yesus adalah penerima manfaat dari kebiasaan. Ia membaca Alkitab di sinagoge (Lukas 4:16), berdoa di pagi hari (Markus 1:35), berdoa di perbukitan (Lukas 22:39). “Setiap hari Ia mengajar di Bait Allah, dan malamnya Ia pergi ke luar dan semalaman berdoa di Bukit Zaitun, demikian itu disebut. Dan semua orang akan bangun pagi-pagi hari untuk mendengarkan Dia di bait (Lukas 21:37-38 – menurut terjemahan yang dipakai penulis).

Apabila kita berkomitmen untuk menghafalkan Alkitab, kita mengikuti jejak Yesus. Kita menumbuhkan gaya hidup-Nya pada kita. Kita mengumpulkan kesanggupan diri kita dan berkonsentrasi. Mereka yang menyebar kesanggupan dengan mencoba banyak hal dengan sedikit upaya akan berakhir dengan pencapaian hal-hal yang rendah nilainya.

Dalam menghafalkan Alkitab kita mengambil tugas yang susah dikelola dan membaginya ke dalam keping-keping lebih kecil dan terkelola. Demikianlah kita menghafal Alkitab bukan seluruh buku sekali waktu, bukan sepasal sekaligus, tetapi beberapa ayat singkat sekali waktu. Hanya setelah kita menguasai ayat-ayat tersebut baru kita lanjut ke beberapa ayat berikutnya.

Mempelajari Alkitab dalam hati menumbuhkan konsentrasi dan pastinya akan menuai hikmat.

(Joshua Choonmin Kang, Alkitab dalam Hati, psl, 13)

Be the first to comment

Leave a Reply