Mengecap yang Pahit dan yang Manis

Kebersyukuran memberikan kita kesanggupan untuk menikmati dan kuasa
untuk bersukacita. Kedewasaan kita dinyatakan oleh apa yang kita
nikmati. Pemazmur bergembira akan hukum Tuhan, merenungkannya “siang
dan malam” (Mazmur 1:2). Daud menulis, “Kecaplah dan lihatlah betapa
baiknya TUHAN” (Mazmur 34:9). Ia bergembira akan Allah dan ingin umat
melakukan yang sama. Kesenangan Yesus ialah takut akan TUHAN (Yesaya
11:3), menemukan sukacita dalam Roh Kudus (Lukas 10:21) dan
bersukacita atas diselamatkannya jiwa yang tersesat (Lukas 15:7).

Perlu disiplin spiritual untuk kenikmatan yang benar. Jika kita
menelan tanpa mengunyah, kita tidak dapat mengecap rasa makanan itu.
Serupa itu, kita butuh melambat untuk belajar bagaimana menikmati diri
kita sendiri dan orang lain.

Kebersyujuran adalah kesanggupan untuk mengecap kehidupan. Orang
memiliki kepribadian, kecerdasan dan karakteristik berbeda-beda. Untuk
dapat “mengecap” dalam hubungan-hubungan kita, kita perlu memberi
waktu cukup. Hanya apabila kita mengalami sesuatu secara mendalam kita
dapat berkata kita tahu bagaimana rasanya.

Ketergesaan adalah musuh dari penikmatan. Cicipan yang mendalam
membutuhkan waktu banyak. Mengungkapkan syukur juga perlu waktu, sebab
kebersyukuran adalah kesanggupan untuk mengungkapkan apa yang telah
kita “cicipi” ke dalam kata-kata. Ungkapan kita harus sangat spesifik,
hidup dan aktif, dan itu perlu waktu.

Mencicipi secara mendalam dapat menggerakkan hati.
Ungkapan kasih dan kebersyukuran datang dari luapan hati yang telah
digerakkan dan dilembutkan oleh kebersyukuran.

Mereka yang bersyukur dalam segala keadaan mengalami
kehidupan sebagai karunia, tetapi karunia itu datang bersama sukacita
dan dukacita yang dibungkus dalam satu paket, tawa dan tangis.
Sukacita paling besar tidak dapat dicicipi tanpa mencicipi
penderitaan. Hanya mereka yang telah mengalami kecemasan mengenal
pentingnya kedamaian. Hanya mereka yang pernah mengalami depresi
mengenal berkat kelegaan.

Ramuan tertentu terasa pahit. Menarik diperhatikan bahwa
rasa dari ramuan yang pahit meningkat semakin kita mengunyahnya. Kita
tidak perlu bekerja keras untuk merasakan sesuatu yang manis, tetapi
rasa pahit harus dicicipi benar untuk dapat dinikmati. Orang yang tahu
bagaimana cicipan kehidupan mengetahui pahitnya cicipan rasa sakit.
Tetapi dalamnya rasa sakit tidak dapat dibandingkan dengan manisnya
rasa kenikmatan. Banyak orang yang menyanyi dari pengalaman
kesakitannya. Penyair mencerminkan kesadaran ini. Penderitaan mereka
menjadi unsur dari seni mereka. Song Mynghee adalah penyair Korea
termasyhur yang lumpuh karena gangguan di otak. Puisi-puisinya penuh
dengan nyanyian keagungan yang terbang mengatasi penderitaannya. Lee
Jisun, yang 55% tubuhnya terbakar dalam kecelakaan mobil, menulis dan
berceramah untuk menguatkan orang lain. Selalu ada kemanisan dan
keindahan Allah dalam tulisan-tulisannya. Orang yang dapat bersyukur
bahkan karena masa-masa sukar adalah jiwa yang matang.

Penderitaan dan masa sukar mengunjungi kita bagaikan tamu
tak diundang. Ketimbang menghindari mereka, kita perlu menghadapi
mereka dan bahkan merangkul mereka. Menaikkan syukur kepada Allah
untuk mereka. Lalu kita akan mengenal dan mencicipi betapa baiknya
Allah.

(Joshua Choonmin Kang, Spiritualitas Kebersyukuran, psl. 17)

Be the first to comment

Leave a Reply