Mengapa Kita Berdosa?

KETIKA SAYA MASIH DALAM USIA PERTUMBUHAN DI sebuah gereja Protestan konservatif, saya tidak mempertanyakan pengandaian bahwa saya berdosa. Terlalu banyak khotbah membuat saya yakin tentang realitas itu. Saya terhibur boleh mengetahui bahwa semua anggota gereja lainnya sama terhisab ke perkumpulan para pendosa yang sama. Satu-satunya perbedaan ialah derajat pengungkapan dosa-dosa kami. Sebagian orang lebih baik daripada yang lain dalam menjaga agar dosa mereka tetap terkendali.
Melalui khotbah dan pelajaran sekolah Minggu saya belajar bahwa Alkitab penuh dengan segala bentuk masalah dari mereka yang tidak cukup mengendalikan dosa mereka. Dosa seumpama binatang buas yang harus saya jaga dengan seutas tali pendek. Saya dapat mengendalikannya, tetapi saya tidak akan pernah dapat melenyapkan bagian berbahaya itu sama sekali dari hidup saya. Saya gemetar ketika memikirkan apa jadinya jika binatang buas itu lepas.
KITA BERDOSA SEBAB KITA SEMUA ORANG BERDOSA?
Sama seperti halnya tak pernah saya mempertanyakan bahwa saya seorang pendosa, saya pun tak pernah memikirkan mengapa saya berdosa. Alasan untuk dosa kita umumnya adalah pokok khotbah lain. Kita berdosa sebab kita lahir dengan dosa asal. Kita telah mewarisi kutukan dari Kejatuhan dalam Tamah Firdaus. Dosa setan adalah kesombongan; ia ingin
menempatkan dirinya di tempat Allah. Ketika kita berdosa, kita melakukan persis sama apa yang setan lakukan. Dalam kesombongan kita ingin berperan sebagai Allah dan mengatur jalan hidup kita sendiri.
Penalaran itu bersifat melingkar. Pada hakikatnya saya diajar bahwa kita berdosa karena kita adalah pendosa. Jika kita berdosa dari kesombongan yang ingin menjadi seperti Allah, hal itu hanya akan membawa saya ke lingkaran ayam-dan-telur yang tak akan pernah berhenti. Kesombongan adalah dosa. Jadi kita berdosa karena kita adalah pendosa. Penjelasan ini tidak memuaskan saya.
Sebagai tambahan kepada penalaran melingkar itu, ajaran tentang dosa asal membuat saya merasa sangat tidak adil. Haruskah kita mewarisi kutukan Adam dan dihukum karena pilihan yang ia dan Hawa buat? Jika saya menanyakan tentang hal ini di gereja, saya diberitahu bahwa itu bukan masalah, sebab jika kita ada saat itu kita akan melakukan hal yang persis sama.
Sekarang ini para teruna di sekolah Minggu menanyakan pertanyaan sama yang pernah saya tanyakan sewaktu anak-anak, dan saya bergumul menjawab mereka. Saya tidak pernah berhenti menanyakan pertanyaan itu untuk diri saya sendiri. Sebagai psikolog klinis saya telah memakai banyak waktu bertahun-tahun bertanya, Mengapa kita berdosa?
Perdebatan tentang kehendak bebas dan dosa asal telah berabad-abad usianya. Agustinus, mengikuti Paulus, mengajarkan bahwa semua manusia lahir dalam keadaan dosa asal, dan semua manusia memerlukan anugerah Allah untuk diselamatkan. Biarawan abad keempat bernama Pelagius membuat argumen berbeda, yaitu hanya Adam yang terkena dampak dosa
Adam. Pelagius mengajarkan bahwa setiap anak yang dilahirkan berada dalam keadaan bersih dan tidak menanggung akibat dosa sampai mereka diajar untuk berdosa. Pelagius disebut sesat. Sejak saat itu gereja Barat telah menolak ajaran pelagianisme dalam bentuk termurninya. Tidak ada sistem kepercayaan yang sah disebut Kristen kecuali mengakui bahwa setiap manusia adalah pendosa dan dalam kebutuhan akan keselamatan.
Bahkan jika kita menerima bahwa kita lahir tercemari dosa asal, masih tersisa ruang untuk kehendak bebas dan tangungjawab dalam cara-cara spesifik kita memilih untuk berdosa. Hal yang lebih pokok untuk diskusi buku ini ialah, ada ruang tersisa untuk alasan mengapa kita memilih dosa-dosa khusus kita.
TIDAK ADA DOSA-DOSA ACAK
Hidup saya, seperti rumah saya, membawa tanda-tanda unik pengalaman, relasi, kesenangan, ketidaksenangan, karunia dan kekurangan saya sendiri. Hidup saya memeragakan pola, konsistensi dan kebiasaan. Bahkan spontanitas terjadi dalam batasan-batasan.
Demikian pun dosa saya terpola. Saya dapat meramalkan pencobaan-pencobaan saya dengan pilihan-pilihan yang pernah memikat saya sebelumnya. Pencobaan lain boleh jadi menyiksa tetangga saya tetapi sama sekali tidak membuat saya bergumul tentangnya. Pola dosa saya unik untuk saya.
Kebanyakan kita tidak diterpa oleh berbagai pencobaan yang datang bagaikan angin dari berbagai jurusan. Hanya sedikit orang yang dicobai oleh kemabukan di suatu hari dan hari berikut oleh imoralitas seksual dan hari lainnya lagi oleh pencurian atau kekerasan atau kemalasan. Kita tidak berdosa secara acak. Dosa kita mengalir secara konsisten dan dapat teramalkan.
Dalam buku bagus karangan Henri Nouwen, The Return of the Prodigal Son, ia mengungkapkan pengalaman empati universal kita dengan anak yang hilang dalam perumpamaan Yesus (Luk. 15:11-32). Dalam kesombongan dan keserakahannya anak yang lebih muda itu meminta bagian warisannya lebih awal, sejatinya mengungkapkan harapan bahwa ayahnya telah mati.
Sesudah memboroskan pemberian ayahnya, si anak tiba di titik keputusasaan sampai ia memutuskan untuk pulang, di mana ia kembali berharap mendapatkan manfaat dari kemurahan ayahnya dengan hidup sebagai hambanya. Sang ayah yang selama ini terus menerus mengamati pemandangan kalau-kalau anaknya pulang, berlari menyambutnya dengan tangan terbuka dan menerimanya kembali sebagai anak. Anak yang lebih tua menyesali luapan anugerah sang ayah. Ia menyatakan frustrasinya
bahwa sang ayah menghujani anak yang tidak taat itu dengan perkenan, sementara ia anak yang setia, seharusnya layak menerima lebih banyak sang ayah mengingatkan anak tertuanya bahwa ia selalu menikmati karunia sebagai anak. Apa lagi yang ada untuk dirayakan? Sang adik telah kehilangan tempatnya di sisi ayahnya dan kini telah mendapatkannya kembali. Pemulihannya layak mendapatkan pesta yang paling mewah meriah!
Untuk Nouwen dan kebanyakan kita, kita tidak mengidentifikasi diri dengan anak terhilang yang rendah akhlak dan yang melakukan penyia-nyiaan hidup dalam dosa; sebaliknya kita menyadari diri kita dalam hasrat untuk disambut oleh bapa dengan tangan terbuka – untuk pulang ke rumah. Siapa yang tidak rindu menerima pelukan menyambut seperti itu?
Empati kita dengan anak yang hilang mengungkapkan perasaan universal manusia yang tanpa tempat tinggal. Kita semua merasakan perasaan si anak hilang yang sendirian dan kewalahan. Tidakkah indah bahwa kita menemukan jalan balik ke rumah dan melihat orang yang mengasihi kita berlarian keluar ke jalan untuk menemui kita, untuk menerima dan
merayakan kita?
Seperti itulah sifat kasih Allah. Kita adalah yang Ia kasihi. Tidak peduli seberapa jauh dosa kita, Bapa kita menyambut kita dengan entusiasme.
Sambil Nouwen memeriksa kehidupannya sendiri, ia mengakui hal yang kemungkinan besar juga ada dalam kita. Ia mendapatkan bahwa meski ia berempati dengan anak yang hilang, ia paling mirip dengan anak yang
lebih tua. Saudara tua ini terganggu oleh limpahan anugerah yang diberikan kepada anak yang hilang. Si saudara tua telah menunjukkan ketaatan kepada semua yang sang ayah minta. Karena ketaatannya, ia berharap diperlakukan lebih baik daripada si anak yang hilang. Reaksinya menyatakan kesombongan dan rasa diri benar yang berakar dalam di hatinya. Ia berfokus pada dosa luar yang tampak yang dilakukan adiknya dan gagal melihat dosa batin kesombongan dirinya sendiri.
Saya kembali melakukan dosa sang saudara tua ketika saya melihat ke dosa orang lain untuk merasa diri lebih baik tentang buku rapor rohani saya. Gumulan saya dengan dosa-dosa hati saya yang tersembunyi tidak terlalu mengganggu ketika saya mengingat kemabukan dan imoralitas seksual tetangga di ujung jalan.
Bukan ironi ringan bahwa meskipun saya lebih menyamai sang saudara tua dari perumpamaan Yesus itu ketimbang menyamai si anak hilang, seperti Nouwen saya merasa lebih menyukai yang terhilang. Saya menginginkan yang terbaik dari kedua dunia ini, yaitu untuk merasa lebih baik seperti sang abang dan merasa disambut pulang seperti si adik.
Seperti sang saudara tua, saya kerap merasa cemburu tentang mereka yang menceritakan perubahan hidup dramatis dari kehidupan dosa. Banyak dari kita yang dibesarkan dalam keadaan baik secara tampilan luar menyaksikan kecemburuan kepada mereka yang kisah perubahan hidupnya lebih dramatis. Adalah lebih mudah untuk melupakan apa yang sang ayah
katakan kepada anak tertuanya, “Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu. Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali” (Luk. 15:31-32).
Dua bersaudara itu berdosa dalam cara berbeda. Yang satu terhilang ke gairah-gairah sensualnya, mencari semua kenikmatan yang dunia tawarkan. Yang lainnya mengatur perilakunya yang kelihatan dengan baik namun menyimpan dosa-dosa batin yang mencerminkan sifatnya sendiri.
Banyak dari perumpamaan dan pengajaran Yesus menyatakan pengertian-Nya bahwa sifat dosa manusia ingin memberikan tekanan lebih besar pada kehidupan yang kelihatan ketimbang pada hati. Yesus mengajak para pedengar-Nya ke penyelidikan batiniah jiwa yang jauh lebih berat sifatnya.
CIRI DOSA
Dosa-dosa kita tidak unik. Penulis kitab Pengkhotbah berkata, “Tidak ada sesuatu yang baru di bawah matahari” (Pkh. 1:9). Rasul Paulus menulis, “Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa” (1Kor. 10:13). Tradisi bahkan telah mengkategorikan dosa-dosa manusia ke dalam tujuh kategori dosa maut. Dalam segala kedirian kita, kita masih berdosa dalam cara yang sama dengan yang orang lain lakukan sejak kejatuhan Adam dan Hawa.
Meskipun dosa-dosa saya tidak baru, mereka menegaskan kehadiran mereka dalam hidup saya dalam cara-cara khas yang saya pribadi gumuli dengan kesombongan. Kesombongan bersifat universal dan merupakan dosa sentral, tetapi kesombongan pribadi saya mengambil pola dan kelicinan yang membuatnya unik dosa saya.
Gender saya secara unik memengaruhi cara saya menunjukkan kesombongan. Demikian juga kebudayaan dan pendidikan agamawi yang saya peroleh. Riwayat relasi-relasi saya telah membentuk ciri kelaparan dan kebutuhan kepribadian saya yang saya coba puaskan melalui kesombongan saya, dan keluarga saya mengajar saya bagaimana berusaha untuk memuaskan berbagai kebutuhan dan kelaparan itu. Bahkan temperamen biologis saya memengaruhi cara kesombongan saya beroleh bentuknya.
Penulis surat Ibrani bicara tentang dosa-dosa pribadi yang menetap dan bagaimana kita harus melawan mereka. “Marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita” (Ibr. 12:1). Ada terjemahan yang menerjemahkannya “dosa yang terus melekat pada kita.” (IBIS) Secara historis dosa-dosa yang begitu melekat diterjemahkan dalam King James Version sebagai “dosa yang dengan mudah melanda kita.” Entah bagaimana dibahasakannya, frasa itu mengusulkan jenis dosa dengan kualitas kedekatan sedemikian rupa sampai kita lupa bahwa ia ada. Saya menggambarkannya seperti karet bening yang melintang di jalan sampai saya melangkah dan ia menarik saya ke arah lain dan membuat saya tersandung. Yesus menggunakan analogi ragi yang mengkhamirkan adonan. Dosa sedemikian berbaur dengan keseluruhan keberadaan kita dan tidak dapat dipisahkan dari unsur-unsur lainnya.
SAUDARA ROHANI
Paulus mengajarkan bahwa dosa-dosa kita yang melekat adalah bagian kutukan tak terpisahkan dari Kejatuhan dan hukum dosa yang diakibatkannya. “Aku dapati hukum ini: jika aku menghendaki berbuat apa yang baik, yang jahat itu ada padaku” (Rm. 7:21). Dosa seperti membran yang ketat menempel tak terbedakan dari kulit saya. Dari kategori-kategori universal saya membangun suatu jejaring dosa yang khas milik saya. Tidak ada pencobaan kecuali yang biasa untuk seluruh kemanusiaan, namun demikian menegaskan dirinya secara perorangan dalam cara-cara sebagaimana saya merespons setiap pencobaan.
Seperti suatu tanda tangan, pola dosa saya sedemikian menjadi ciri pribadi saya sampai ia dapat dipakai untuk menentukan jatidiri saya. Ia menjadi profil dosa saya. Siapa pun yang akrab dengan saya akan segera mengenalinya sebagai dosa saya. Itu sebabnya saya berjuang untuk menyembunyikannya, bahkan membuat kompensasi berlebihan untuknya, supaya bahkan orang yang paling dekat saya tidak akan mencurigai bahwa ada hal itu. Saya menanamkan banyak energi ke dalam penampakan saya – suatu penampilan topeng yang palsu – yang diperhitungkan untuk meniadakan semua petunjuk profil dosa saya.
Rayuan yang berasal dari kepercayaan palsu datang dalam bentuk dua gumulan sentral manusia: kesombongan dan ketakutan. Ketakutan akan kefanaan mendorong kita untuk menyangkali kemanusiaan Kristus – bidat Docetisme. Kita ingin Kristus tidak tersentuh oleh kerusakan kemanusiaan, sama seperti kita ingin menghindarinya juga. Di ekstrim lain, kesombongan akan kemanusiaan kita membawa kita ke penyangkalan keilahian Kristus – bidat Adoptionisme. Bersama Lucifer, kita
menyesali fakta bahwa Kristus telah ditinggikan di atas kita, dan kita haus kesetaraan dengan-Nya.
Kesombongan dan ketakutan adalah dua bersaudara rohani yang menarik. Ada sesuatu yang mendasar tentang mereka dan cara kita beredar di antara mereka. Masing-masingnya mendorong kita untuk berdosa dalam
cara berbeda. Di satu saat kesombongan mendorong saya untuk meraih melampaui apa yang Allah telah taruh dalam jangkauan saya. Di saat berikutnya saya takut penolakan dan penelantaran saya oleh Allah dan menginginkan-Nya untuk meluputkan saya. Kesombongan dan ketakutan terletak di inti dosa asal.
(Michael Mangis, Dosa Ciri Diri, psl. 1.1. Michael Mangis adalah profesor psikologi di Wheaton College, juga praktisi psikologi)

Be the first to comment

Leave a Reply