Menamai Dosa-dosa Ciri Diri kita

Foto: pikist.com

BANYAK TAHUN YANG LALU SAYA MULAI MEMPELAJARI dan menulis tentang sejarah spiritualitas kontemplatif Kristen, terutama dari para bapak dan ibu padang gurun. Saya memiliki kerinduan yang dalam untuk perubahan hati yang nyata dalam kehidupan mereka yang terlibat dalam pelaksanaan kontemplatif.

Saya merasa Roh Kudus memanggil saya untuk mulai membereskan wilayah-wilayah dosa yang telah didiskusikan dalam pasal-pasal terdahulu. Akar-akar dari dosa-dosa itu telah masuk sangat dalam. Saya bayangkan suatu jejaring dosa-dosa yang malang melintang dan melibat setiap bagian jiwa saya. Dosa-dosa ini berusaha merasukkan diri mereka ke dalam setiap bagian yang baik dari diri saya, mencekik di mana mereka bisa, menghambat pertumbuhan hal yang tidak dapat mereka bunuh.

Meski jejaring dosa sedemikian itu terdengar sangat melanda dan tidak ada harapan untuk memeranginya, saya percaya bahwa ada titik-titik simpul di mana kita dapat dengan efektif memeranginya. Sulur-sulur dari setiap sistem akar menyebar dari satu titik utama. Sama seperti halnya pola dosa kita unik adanya, tempat- tempat di mana dosa telah sangat mengakar agak berbeda untuk tiap orang. Saya telah menemukan untuk diri saya dan mereka yang saya bantu dalam konseling, gunanya dari mencari akar dosa yang paling utama yang merupakan intinya. Akar pusat ini akan merupakan suatu kutuk atau pembalasan (nemesis) lama yang sangat dikenal. Namanya sering diketahui tetapi jarang dibicarakan.

Dosa ciri diri di pusat jejaring pribadi saya adalah kesombongan. Boleh jadi terdengar luar biasa bahwa saya mengakui bergumul dengan bapak segala dosa. Dosa pertama, dosa Lucifer, disebut sebagai inti dari setiap dosa yang dibuat. Di mana letak keunikan hal itu?

Namun demikian ketika saya berkata bahwa dosa ciri diri saya adalah dosa kesombongan, itu menyulap banyak gambaran untuk saya. Saya melihat cara-cara unik bahwa kesombongan menginfeksi hari-hari saya. Saya melihat cara-cara saya berusaha menimbulkan kesan pada orang lain. Saya melihat cara-cara saya mencari kekaguman dari orang lain. Saya melihat lelucon-lelucon yang saya buat di pertemuan-pertemuan untuk menyelipkan diri saya ke dalam setiap diskusi. Saya melihat cara-cara saya menghindar tanggungjawab untuk kesalahan saya. Saya
melihat roda-roda dalam diri saya kini mulai berputar, sambil bertanya-tanya apakah orang menjadi terkesan dengan kejujuran saya ini.

KUASA DARI MENAMAI

Saya memiliki nama pertama yang biasa, Michael. Saya kenal beberapa Michael lainnya. Ketika saya mengingat mereka atau berkata halo kepada mereka, nama mereka tidak begitu familiar seperti ketika saya memperkenalkan diri, “Halo, nama saya Michael.” Ketika kita menamai sesuatu, hal itu menjadi unik dan berarti dalam pikiran kita. Ada lebih banyak hal yang terlampir kepada nama itu daripada huruf-huruf dan suku katanya. Semua pengalaman saya dengan hal atau pribadi itu berkait dengannya. Perasaan-perasaan dan gambaran-gambaran saya tentang seseorang datang langsung ke permukaan ketika saya menyebut nama orang itu.

Dalam cara yang sama, ketika saya menyebut bahwa dosa ciri diri saya adalah kesombongan, saya memaksudkan sebagai sesuatu yang sama sekali berbeda daripada ketika saya bicara tentang dosa kesombongan yang
universal. Kesombongan saya unik, seperti halnya tanda tangan saya atau sidik jari saya. Saya tidak bergumul dengan bentuk dosa kesombongan yang sama yang orang lain gumuli. Kesombongan saya, seperti halnya bayangan diri saya, terbentuk persis seperti saya.

Ketika saya bicara tentang menamai dosa-dosa ciri diri kita, saya mengacu kepada tugas intim “mengenali” rahasia diri seseorang. Untuk sebagian menamai ini cepat dan jelas, sebab kita kenal akrab dosa ini. Saya langsung tahu bahwa dosa saya yang terinti adalah kesombongan.

Seringkali menamai itu lebih sukar. Alhasil istri saya menamai ketakutan sebagai dosa utamanya. Meskipun garis besar dosa itu jelas baginya, namanya tidak begitu jelas. Ketakutan tidak terkesan seperti suatu dosa, dan normalnya tidak. Namun demikian, untuk istri saya, ketakutan menangkap suatu gambaran akar-akar yang membenamkan diri ke dalam hatinya dan cara-cara ketakutan mengancam dan mencobai dia dari menjadi wanita yang Allah inginkan ia jadi.

Ketika kita berusaha menamai dosa-dosa ciri diri kita, kita harus memasuki proses itu dengan hormat dan doa. Entah kita menemukan nama itu cepat atau perlu cukup waktu untuk menemukannya, ketepatan dan
keseluruhan harus menjadi prioritas pertama kita. Ketika dosa itu dinamai, kita telah mengambil tingkat kemilikan lebih besar atasnya. Menamai dosa ciri diri adalah langkah paling penting dalam menaklukkannya.

Saya adalah salah seorang dari sedikit anggota keluarga asal saya yang pergi dengan nama pertama. Kebanyakan lainnya dengan nama tengah mereka. Saya bahkan mengenal beberapa orang dengan nama yang tidak tercantum di akta kelahiran mereka. Selalu ada kisah di balik perubahan nama itu. Terkadang suatu nama baru menandai pergeseran berarti dari “saya yang lama” ke jati diri baru, sebagaimana ketika Allah menamakan ulang Yakub sebagai Israel atau Saul sebagai Paulus.

Kita harus sangat berhati-hati ketika menamai dosa-dosa ciri diri kita. Proses pemilihan suatu nama menuntut pengenalan lebih besar akan dosa itu sendiri. Kata apa pun yang dipilih akan memikul bayangan-bayangan halus dari pengertian.

Pikirkanlah perbedaan antara kata-kata kesombongan, kesia-siaan, pemberian hak, keangkuhan, cinta diri, terfokus ke diri, keakuan, penyerapan diri, pemusatan diri, tidak menyesal, gila kedudukan, besar hati, kepongahan dan narsisme. Setiap nama itu membangkitkan berbagai gambaran yang halus dan berarti. Jika kita tergesa mengunci ke suatu nama untuk dosa yang ingin kita singkapkan, kita mungkin nantinya akan menyadari bahwa itu kurang pas. Kita harus mempertimbangkan dengan perlahan dan mendoakan agar Allah memberitahukan nama dosa kita.

BERPIJAK KE BUMI

Peribahasa “Kenali Dirimu,” terukir di atas gerbang kuil Yunani purba untuk dewa Apollo. Frasa itu sedemikian meluas sampai asal usulnya telah dikaitkan dengan berbagai filsuf berbeda. Pepatah itu telah dipakai untuk membenarkan banyak jenis penyerapan diri, tetapi kebenaran utamanya bersifat alkitabiah. Dalam Perjanjian Lama dan Baru Allah secara konsisten memanggil umat-Nya untuk memiliki hati yang murni tertuju kepada-Nya. Usaha ini dibuat sukar oleh sifat dosa kita yang tidak menentu: yaitu secara berbarengan kita menginginkan tetapi
juga menjauh dari pengenalan diri. Hati kita yang bersifat menipu harus diukur kedalamannya jika kita ingin mengarahkannya kepada Allah.

Istilah “rendah hati” berasal dari akar kata humus, yang berarti tanah. Kerendahhatian sering disalah artikan sebagai merendah ke bumi dalam debu. Kerendahhatian lebih tepat dipahami sebagai menjadi
membumi atau berdasar dalam realitas. Sasaran kedewasaan ialah suatu pandangan menyeluruh yang tepat tentang diri seseorang tanpa adanya perubahan atau ketidaktepatan. Untuk banyak orang kerendahhatian
menuntut suatu langkah turun dalam persepsi tentang diri mereka. Orang lain harus melangkah naik dalam pandangan mereka tentang diri mereka untuk mencapai suatu ketepatan – dengan demikian memiliki persepsi diri yang rendah hati.

Hampir mustahil untuk mencapai kerendahhatian jika kita hanya bergantung pada alat-alat pengukur kita sendiri. Itu seperti memilih rangka kacamata kita sendiri. Saya memiliki gangguan penglihatan yang berat. Tanpa kacamata saya tidak dapat melihat dengan baik. Ketika saya pergi membeli kacamata baru, saya harus menghadapi dilema mencoba memilih rangka kacamata yang menarik padahal saya sendiri tidak dapat melihat bagaimana kelihatannya di wajah saya. Saya harus mengajak seorang yang saya percayai untuk memberitahu saya rangka kacamata mana yang terlihat paling baik pada saya.

Bagaimana saya dapat menemukan perubahan dalam pandangan saya tentang diri saya dan dunia dengan melihat melalui lensa yang sama yang menyebabkan perubahan pada awalnya? Seorang lain harus berdiri di samping saya sementara saya memaparkan apa yang saya lihat. Orang itu lalu dapat menunjukkan adanya kekeliruan kecil (atau besar) dalam penglihatan saya.

Praktik arahan spiritual kuno dan kontemporer meliputi pemberian izin kepada seorang terpercaya dan cukup akrab untuk menolong kita bertumbuh makin dalam dalam relasi dengan Allah. Kita mengizinkan orang itu untuk menunjukkan kerusakan-kerusakan dalam lensa hati kita.

Arahan rohani tadinya adalah suatu praktik umum untuk mereka yang memasuki suatu pengaturan atau ordo atau profesi agamawi. Sang pengarah spiritual memiliki tugas membebaskan orang yang diarahkannya dari keduniawian.

(Michael Mangis, Dosa Ciri diri, psl. 4.1)

Be the first to comment

Leave a Reply