Masalah, Kesulitan dan Kegagalan

Ketika saya diundang untuk memimpin konferensi dan misi dalam hubungan dengan pelayanan penyembuhan, saya temukan beberapa pertanyaan yang selalu timbul. Di sini tiga dari antaranya bersama usaha saya menjawabnya yang mungkin tidak sempurna.

Pertanyaan tentang Penderitaan

Bagaimana Anda menjelaskan keberadaan penderitaan jika dunia ini adalah ciptaan Allah yang baik?

Biasanya saya bahkan tidak akan melakukan itu, pasti tidak sementara saya berusaha memberikan pertolongan pastoral kepada seorang penderita. Ketika orang dalam penderitaan, biasanya diskusi filosofis atau teologis adalah hal terakhir yang mereka perlukan. Pada kesempatan seperti itu, puisi kuno berikut mengandung hikmat:

Hidup utamanya adalah gelembung dan buih
Dua hal bagaikan batu tegak berdiri
Kebaikan dalam masalah orang lain
Keberanian dalam masalah diri Anda sendiri.

Pada tingkat spiritual, ketika penderitaan harus dihadapi, banyak orang Kristen yang paling dewasa dan paling bijak merasa tidak mungkin maju lebih jauh daripada mengakui bahwa dunia ini adalah suatu misteri. Dalam perkataan Henri Nouwen, “Hidup bukan suatu masalah untuk dipecahkan, tetapi suatu misteri keutuhan dan kesakitan.”

Saya sering mengingat kata-kata seorang sahabat baik dan bijak, yang diucapkannya di saat saya mengalami kesukaran menghadapi beberapa peristiwa penderitaan dalam jemaat saya dan dalam keluarga saya sendiri. “Ada saat,” ujarnya, “ketika kepercayaan kita harus lebih besar daripada pengertian kita.”

Sesudah mengatakan itu, kita masih tidak bebas dari menundukkan pikiran kita yang terbatas ke kesukaran yang muncul oleh hal yang terkesan tidak serasi: keberadaan penderitaan dan kejahatan dalam dunia yang dicipta oleh Allah yang baik.

Masalah ini telah menimbulkan berbagai pendapat dari banyak pemikir Kristen terbaik sepanjang dua milenium. Tidak mungkin komentar saya akan menambah sesuatu yang berarti ke perdebatan ini. Meski begitu saya merasa perlu berusaha. Maafkan kekurangan saya.

Keyakinan saya sendiri ialah dalam cara tertentu misteri penderitaan harus dikaitkan dengan misteri kehendak bebas.

Dalam hidup ini kita mengalami dampak kehendak bebas kita sendiri dan dampak kehendak bebas orang lain. Kehendak bebas diberikan kepada manusia sebab kita dimaksudkan untuk mengasihi dan dikasihi–dan tidak dapat mengalami itu tanpa kadar kehendak bebas tertentu. Namun karena kita adalah spesies yang telah salah, banyak kali penggunaan kehendak bebas kita itu sama sekali bukan kasih. Dan akibatnya adalah penderitaan dan kepedihan.

Barangkali penderitaan dapat dibagi ke dalam tiga kategori. Pertama (ini yang paling mudah untuk dimengerti dan diterima), adalah penderitaan yang kita bawa sendiri ke dalam diri kita. Jika saya minum minuman beralkohol berlebihan, saya tidak perlu heran jika esok paginya saya mabuk. Amsal 23:29-35 mengandung deskripsi tentang pemabuk: “Siapa mengaduh? Siapa mengeluh? Siapa bertengkar? Siapa berkeluh kesah? Siapa mendapat cidera tanpa sebab? Siapa merah matanya? Yakni mereka yang duduk dengan anggur sampai jauh malam, mereka yang datang mengecap anggur campuran.” Penulisnya memastikan
bahwa jika kita menderita demikian itu sepenuhnya salah kita sendiri, tetapi ia menambahkan dengan sedih bahwa ini tidak menghentikan si pemabuk dari berkata kepada dirinya, “Bilakah aku siuman? Aku akan mencari anggur lagi.”

Kedua, ada penderitaan yang kita bawa satu sama lain. Banyak penyakit stres, kecelakaan di jalan, dan sakit yang berhubungan dengan polusi, adalah contohnya. Dalam dunia yang sebenarnya berlimpah ruah ini, ada juga penyakit yang disebabkan oleh kekurangan makan. Demikian juga dengan kengerian perang. Juga dengan kecelakaan industri, jika tingkat kesehatan dan keamanan tidak memadai. Demikian pula dengan trauma anak-anak dari keluarga berantakan. Sengaja atau tidak kita
menggunakan kehendak bebas kita untuk saling melukai dan diri sendiri.
Jenis penderitaan seperti ini dapat dilihat meluas dari generasi ke generasi. Saya ingat tentang seorang perempuan muda cantik yang pernah saya temui, yang dilahirkan dengan sifilis bawaan dan bergumul dengan kerusakan yang diakibatkannya. Itu bukan salahnya sendiri. Alkitab mencatat kenyataan hidup yang dapat ditemukan ketika menunjuk bahwa anak-anak menderita dari dosa-dosa para ayah mereka (Kel. 20:5).

Jenis penderitaan yang ketiga semata adalah penderitaan yang terkesan tidak termasuk ke dalam dua kelompok tadi. Agaknya penderitaan jenis ini tidak ada kaitannya dengan penyalahgunaan kehendak bebas. Namun daftar ini sedang menciut karena pengetahuan kita yang berkembang dengan cepat memasukkan sakit penyakit dari kategori tiga ini ke dalam kategori satu dan dua tadi. Sebagai contoh, kanker paru-paru tadinya dianggap sebagai keluhan kategori tiga, tetapi kini kita tahu bahwa
kebiasaan kita merokok dapat membuatnya mengidap penyakit karena kategori satu dan yang pasif karena perbuatan orang lain dapat membuatnya menderita ke kategori dua. Malah mungkin kategori tiga ini akhirnya kelak akan dihapus.

Jika kita menerima hipotesis bahwa kehendak bebas manusia adalah penjahat utama dalam skenario tentang penderitaan, mengapa Allah tidak melenyapkan kehendak bebas kita? Jawabnya tidak susah. Tanpa kehendak bebas kita tidak lebih dari boneka saja. Jika Allah mengambil kehendak bebas dari kita, Ia akan menghancurkan kita sepasti jika Ia menghantam
masing-masing kita dengan kilatan halilintar.

Jika Pasal 8 buku ini diterima dengan serius, umat manusia bukan satu-satunya bagian ciptaan yang menyalahgunakan kehendak bebas. Si iblis dan para roh jahatnya juga perlu diterima sebagai sumber penderitaan dan kepedihan manusia.

Jika itu semacam pemikiran sinis, berikut hal yang lebih bersih dari gangguan rasa bersalah.
Jelas, jika kita ingin memiliki suatu dunia yang indah dan menarik, ada batas yang merupakan faktor risiko dalam kehidupan manusia. Jika ingin ada gunung dan ngarai, selalu akan ada kemungkinan seseorang jatuh. Jika ada api, seseorang mungkin akan terbakar. Jika ada air, seseorang mungkin akan tenggelam.

Hampir tidak mungkin membayangkan suatu dunia yang bebas dari kegagalan yang di dalamnya orang tidak mungkin menderita apa pun. Hal yang orang Kristen dapat yakini ialah apa pun kemungkinan sumber penderitaan itu, Alkitab menyatakan Allah sebagai “Tuhan yang menyembuhkan” (Kel. 15:26).

Penyembuhan yang Gagal

Jika kesembuhan adalah kehendak Allah, mengapa terkadang pelayanan penyembuhan Kristen tidak berhasil? Mengapa tidak selalu berhasil secara langsung dan menyeluruh?

Saya harus menerima keabsahan pertanyaan ini. Kami telah mengakui bahwa penyembuhan Kristen bukan pelayanan semacam “tongkat sulap.” Secara pribadi, saya sangat ragu tentang mereka yang agaknya memberi kesan bahwa tidak ada faktor gagal dalam pelayanan penyembuhan yang mereka lakukan.

Ini merupakan kesempatan baik untuk melihat kembali kisah tentang Fergus di akhir Pasal 7. Saya masih ingat betapa marahnya saya ketika ia meninggal. Saya ingat ketika terbangun dari tidur saya berteriak kepada Allah di tengah malam, sambil bergumul dengan perasaan duka dan bingung. Harus saya akui bahwa saya kerap menemukan diri saya benar-benar bingung. Pada satu kesempatan seorang yang sakit sangat serius dapat sepenuhnya pulih sesudah menerima pelayanan penyembuhan Kristen. Di kesempatan lain mungkin tidak terlihat penyembuhan apa pun.

Saya juga tidak dapat melihat semacam pola berarti dalam peristiwa kesembuhan yang sungguh terjadi. Beberapa tahun lalu saya melayani secara simultan dua orang yang menderita kanker terminal. Yang seorang perempuan lanjut usia, janda yang sepertinya telah siap bergabung dengan suaminya dalam kekekalan. Dokternya meminta saya ke rumah sakit untuk mendampingi dia meninggal. Yang satu lagi seorang laki-laki sudah menikah dengan keluarga yang bergantung kepadanya. Kolega saya mendampingi saya mengunjungi mereka berdua. Kami berdoa dan menumpangkan tangan. Dan terjadi kesembuhan spektakuler: salah satu kanker itu langsung lenyap. Agaknya mukjizat terjadi.

Yang aneh ialah penerima mukjizat itu adalah ibu tua tersebut, yang sampai saat saya menulis ini masih hidup dan terus merindukan suaminya, sementara laki-laki muda itu meninggal, dan istri serta anak-anak mereka harus berjuang mengatasi kesulitan hidup sepeninggalnya. Jika Allah menyimpan cadangan mukjizat, pasti aneh bahwa seperti itu alokasinya!

Ada lagi satu kegagalan yang untuk saya sama sukar menanggungnya. Saya terpikir tentang Bobby dan Babs, pasangan nikah yang meminta saya mengunjungi rumah mereka sebab Babs diberitahu mengidap kanker terminal dan telah stadium akhir. Rumah sakit telah memulangkannya agar meninggal di rumah. Diduga ia tidak akan bertahan lebih dari dua minggu ke depan. Mereka bukan pengunjung gereja, tetapi mereka pernah mendengar tentang pelayanan penyembuhan kami dan mengundang saya.
Ketika saya menumpangkan tangan atas Babs dan menjelaskan jika ia berpegang terus pada Yesus tidak ada hal apa pun dalam hidup atau mati yang perlu ditakuti, ia tersenyum dan berkata, “kini saya akan baik-baik saja.”

Pengalaman itu agaknya sangat berarti baginya, dan saya terkejut bahwa saya tidak diminta untuk pelayanan lebih lanjut. Enam tahun kemudian kebetulan saya bertemu Bob lagi ketika sedang berjalan di lapangan parkir. Saya berkata, “Apa kabar Anda?”

Ia menjawab, “Kami berdua baik-baik saja.” “Berdua?” tanya saya. “Ya,” jawabnya. “Kanker itu lenyap sesudah Anda menumpangkan tangan atasnya. Sinar-X membuktikan itu.”

Saya senang sekali dan bertanya jika saya dapat mengunjungi mereka. Tetapi dengan tegas ia menjawab, “Tidak perlu. Kami bukan orang religius, dan kami sangat sibuk, tetapi kami telah memutuskan andai kami kebetulan bertemu Anda kami harus menyebutkan apa yang terjadi!”

Banyak orang akan menganggap itu sebuah kisah keberhasilan, tetapi saya ragu entah Yesus akan berpikir demikian.

Faktanya ialah meski saya percaya penyembuhan Kristen bersumber dari kuasa Tritunggal Kudus, penilaian jujur atas kenyataan itu memperlihatkan bahwa baik kegagalan maupun keberhasilan terjadi di tingkat jasmani, mental dan spiritual.

Mengapa begitu? Kita harus menolak jawaban yang terlalu sederhana. Saya merasa pasti bahwa tidak benar menduga suatu penyembuhan gagal terjadi karena kegagalan iman di pihak penerimanya. Juga terlalu sederhana menduga bahwa itu harus berasal dari kegagalan iman di pihak pelayannya.

Saya juga sama yakinnya bahwa mereka yang percaya bahwa Allah terkadang ingin menyembuhkan terkadang tidak, juga terlalu menyederhanakan. Allah kita yang menyembuhkan itu sepenuhnya konsisten dengan diri-Nya. Dalam kata-kata Yakobus, “pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran” (Yak. 1:17). Saya mungkin
tidak sanggup melihat kekonsistenan diri Allah itu dalam bagaimana kenyataan terjadi–tetapi memang, ada banyak hal tidak dapat saya mengerti!

Yang terutama, kita harus menolak anggapan kejam bahwa penderitaan adalah hukuman bagi dosa. Yesus menolak keras pandangan ini (Luk.13:1-4).

Jadi, apa yang boleh kita katakan?
Jika saya berusaha mendapatkan jawaban bagi teka-teki ini, maka seperti berikut. Dalam alam semesta ini berlangsung banyak hukum– hukum logika, hukum alam, hukum hidup. Kita mulai memiliki pengertian lebih baik tentang sebagian hukum tersebut, tetapi masih banyak lagi yang perlu dipelajari. Allah tidak melanggar hukum-hukum tersebut. Semua
hukum itu adalah bagian dari ungkapan sifat-Nya sendiri. Ketika kita berdoa untuk kesembuhan jasmani dan itu tidak terjadi, sebagian faktor dari hukum-hukum ini merintanginya. Tidak ada kebutuhan untuk kesembuhan dalam suatu dunia yang sempurna, tetapi dunia yang berdosa ini jauh dari sempurna dan mengandung banyak perintang bagi kesembuhan.

Saya pikir kita bisa menunjuk beberapa faktor liar yang berfungsi sebagai blok-blok perintang pelayanan penyembuhan. Kita tidak dapat menyangkal bahwa sebagian dari faktor ini mungkin terkait dengan si penderita. Sebagai contoh, mungkin ada dosa yang darinya orang tidak bertobat. Anda tidak dapat berkata, “Saya ingin disembuhkan dari kemabukan saya, tetapi saya akan terus minum minuman keras!” Tetapi unsur perintang itu bisa jadi tidak berkait dengan sang penderita.
Misalnya, mungkin ada kaitan dengan suasana negatif yang melingkupi penderita di tingkat domestik. Yesus sendiri mengalami kuasa-Nya untuk mengerjakan mukjizat terhalang di Nazaret sebab sikap negatif yang ada di sana (Mat. 13:53-58). Gereja sendiri bisa menjadi faktor yang tidak menolong jika gagal untuk sadar dan taat secara penuh. Demikian juga
masyarakat kita yang berdosa yang darinya datang banyak tekanan yang tidak sehat. Dan siapa tahu jenis pengaruh macam apa yang datang dari dunia para pemerintah dan penguasa di udara?

Dalam kitab Ayub, sesudah berbagai solusi simplistik yang diberikan untuk masalah penderitaan ditolak, Ayub akhirnya menyimpulkan (seperti sahabat saya yang bijak yang dikutip di atas) bahwa jalan terakhir yaitu kepercayaannya harus lebih besar daripada kuasa dan pengertiannya sendiri (42:3). Paulus tiba di kesimpulan yang sama dengan masalahnya “duri dalam daging” yang tidak disembuhkan. Ia tahu itu datang dari roh jahat dan bukan dari Allah. Dengan tepat ia
memohon kesembuhan, tetapi ketika itu tidak terjadi di tingkat jasmani, ia hanya bernaung pada anugerah Allah (2Kor. 12:7-10). Dan itu pasti tidak mengurangi komitmennya kepada pelayanan penyembuhan, sebagaimana yang ia perlihatkan, misalnya, sewaktu kunjungannya ke Malta (Kis. 28:7-9).

Kita juga tidak boleh mengubah kesukaran menjadi alasan untuk tidak melakukan pelayanan penyembuhan. Pertimbangkanlah tentang profesi medis. Semua praktik dokter harus ditutup jika 100 persen sukses dituntut sebagai prasyarat untuk tetap praktik!

Kita harus menghadapi masalah dan kegagalan dengan jujur, tanpa terobsesi dengannya atau mengizinkannya membuat kita tidak taat kepada perintah jelas dari Kristus.
(Canon Revd. Roy Lawrence, Praktik Penyembuhan Kristen, psl 12 A)

Be the first to comment

Leave a Reply