MANIFESTASI KEKUDUSAN (5)

Apabila kamu sudah masuk ke negeri itu dan menanam bermacam-macam pohon buah-buahan, janganlah kamu memetik buahnya selama tiga tahun dan jangan memakannya. Tetapi pada tahun yang keempat haruslah segala buahnya menjadi persembahan kudus sebagai puji-pujian bagi TUHAN. Barulah pada tahun yang kelima kamu boleh memakan buahnya, supaya hasilnya ditambah bagimu; Akulah TUHAN, Allahmu. – Imamat 19:23-25

Kekudusan dalam lingkup aturan yang Tuhan Allah berikan ini ternyata luas dan holistik. Lazimnya kita mengartikan kekudusan dengan hal-hal rohani / spiritual yaitu yang berkenaan dengan relasi dengan Allah, perilaku keagamaan, di samping perilaku moral pribadi dan dalam hubungan sosial. Kini lingkup penghayatan kita tentang kekudusan direntang-luaskan ke soal pertanian, perkebunan, pengelolaan tanah – ringkas kata ini menyangkut aspek ekologis. Dan, dalam peraturan ini Tuhan menggabungkan kekudusan spiritual, moral dan ekologis. Bagaimana?

Peraturan ini diberikan Tuhan sebagai antisipasi keadaan sesudah mereka nanti menduduki tanah Kanaan, tanah Perjanjian. Dapat dibayangkan begitu mereka memasuki Kanaan pasti ada perasaan darurat ingin segera menjadi mapan, memiliki tempat tinggal, memiliki sumber penopang kehidupan. Maka dorongan untuk segera memanfaatkan tanah kosong untuk ditanami gandum dan tanaman / pepohonan yang bisa menghasilkan buah untuk disantap jelas merupakan kuat pada orang Israel yang baru memasuki tanah Kanaan. Tetapi tanah itu bagaikan orang yang baru lahir perlu disunat dulu, ditahirkan. Terutama karena perilaku bangsa-bangsa yang tidak mengenal Tuhan sebelumnya telah tercemar oleh penyembahan berhala dan pengelolaan tanah secara salah. Maka Tuhan mengatur agar selama tiga tahun pertama buah-buah hasil tanaman mereka di tanah tersebut tidak dipetik dan tidak dimakan. Bahkan hasil tanaman di tahun keempat harus diperlakukan sebagai buah sulung yang bukan untuk dimakan sendiri melainkan untuk dipersembahkan untuk Tuhan sumber mereka mendapatkan tanah perjanjian itu.

Semua peraturan ini bertujuan untuk mendidik umat Tuhan bahwa mereka mengakui Tuhan sebagai sumber kehidupan, menundukkan kebutuhan sendiri ke bawah keyakinan akan pemeliharaan Tuhan, dan tanah tidak “diperah” oleh kerakusan manusia tetapi mengizinkannya berproses secara alami sesuai providensia Allah atas semua ciptaan-Nya. Kekudusan bukan hanya meliputi aspek kerohanian, kerohanian yang benar bersifat komprehensif dan holistik. Sayangnya bahkan dalam merancang gedung gereja pun sudah tercermin betapa miskinnya teologi Kristen masa kini, tidak memperlihatkan keindahan ciptaan alami dan kepedulian ekologis pun hampir tidak pernah dikhotbahkan. Semoga gereja boleh menjadi ibadah yang semarak seperti dilukiskan dalam visi Wahyu 4 dan 5 – mensyukuri karya ajaib penciptaan dan kemenangan ajaib Anak Domba Allah.

DOA: Oh Tuhan, terima kasih untuk kuasa dan kebaikan pemeliharaan-Mu dalam alam ciptaan-Mu. Mohon Roh-Mu menanamkan kesadaran akan kepemilikan-Mu atas segenap alam dan sumber-sumber di dalamnya supaya kami boleh menjadi penatalayan atas alam yang serasi kekudusan-Mu. Amin.

Be the first to comment

Leave a Reply