MANIFESTASI KEKUDUSAN (1)

Setiap orang di antara kamu haruslah menyegani ibunya dan ayahnya dan memelihara hari-hari sabat-Ku; Akulah TUHAN, Allahmu.

Janganlah kamu berpaling kepada berhala-berhala dan janganlah kamu membuat bagimu dewa tuangan; Akulah TUHAN, Allahmu.

Apabila kamu mempersembahkan korban keselamatan kepada TUHAN, kamu harus mempersembahkannya sedemikian, hingga TUHAN berkenan akan kamu. Dan haruslah itu dimakan pada hari mempersembahkannya atau boleh juga pada keesokan harinya, tetapi apa yang tinggal sampai hari yang ketiga haruslah dibakar habis. Jikalau dimakan juga pada hari yang ketiga, maka itu menjadi sesuatu yang jijik dan TUHAN tidak berkenan akan orang itu. Siapa yang memakannya, akan menanggung kesalahannya sendiri, karena ia telah melanggar kekudusan persembahan kudus yang kepada TUHAN. Nyawa orang itu haruslah dilenyapkan dari antara orang-orang sebangsanya. – Imamat 19:3-8

Kekudusan akan mewujud dalam banyak bentuk, baik sikap, tindakan dalam berbagai aspek dan relasi keseharian. Pada dasarnya yang dipaparkan di sini adalah uraian Sepuluh Hukum namun dalam urutan, pilihan berbeda dan konteks yang lebih mendetail. Berikut Tuhan Allah menjabarkan beberapa manifestasi dari kekudusan sebagaimana yang Ia inginkan dari umat-Nya.

Pertama, kekudusan akan mewujud dalam relasi orang dengan orangtuanya. Menariknya perintah ini dikaitkan dengan perintah untuk memelihara Sabat. Dalam Sepuluh Hukum, perintah untuk memelihara Sabat ditempatkan di posisi antara perintah-perintah yang bersifat vertikal yaitu relasi dengan dan terhadap Tuhan, dan relasi horisontal yaitu relasi secara komunal dan sosial. Kini perintah penghubung relasi vertikal dan horisontal itu (Sabat) secara tegas diutarakan bersama dalam urutan sesudah perintah untuk menghormati orangtua. Dengan kata lain, hal mengakui otoritas orangtua itu mencerminkan atau seiring dengan hal mengakui otoritas Tuhan. Menghormati orangtua berarti mengakui bahwa mereka adalah wakil Tuhan untuk keturunannya.

Kedua, kekudusan mewujud dalam sikap negatif terhadap kepercayaan kosong atau sia-sia atau tidak berguna. Kata “berhala” (Ibrani: eliel, memang harfiahnya berarti kosong, semu, tidak ada realitas dan manfaatnya). Kendati secara gamblang Tuhan telah menyatakan kesia-siaan berhala dan ancaman berat bagi yang melakukannya, Israel tidak pernah sungguh menyimak. Baik di masa pemerintahan para hakim, juga di masa para raja, kendati diberikan peringatan keras melalui firman-firman kenabian, tetap saja Israel berzina rohani dalam pelbagai penyembahan berhala dan sesembahan palsu. Pasalnya mereka tidak menjaga jatidiri yang jelas tetapi mengikuti gaya ibadah dan kehidupan bangsa-bangsa kafir. Baru sesudah dibersihkan Tuhan melalui cara dibuang ke Babel, umat Perjanjian Lama tidak lagi menyembah berhala sesembahan dalam bentuk patung tuangan. Sayangnya, akar percaya kepada kepalsuan berkamuflase di era pasca pembuangan menjadi penyembahan kepada kebangsaan, bait, upacara dan tradisi sendiri, sampai karena dibutakan oleh hal-hal tersebut mereka malah menolak dan menyalibkan sang Mesias, pengantara sejati antara Allah dan umat-Nya.

Menarik lagi di sini bahwa yang dalam Sepuluh Hukum diposisikan di bagian yang mengatur hubungan vertikal, kini ditempatkan di antara perintah yang mengatur soal-soal relasional. Tambah menarik lagi bahwa hukum seremonial menyangkut upacara korban ditempatkan bersama atau terhubung dengan perintah tentang hormat kepada orangtua, hukum Sabat, dan larangan menyembah berhala. Patut disimpulkan bahwa ketika kita berjuang untuk hidup kudus, hendaknya kita tidak menyempitkan kekudusan secara semoit hanya ke soal-soal rohani, sementara soal keluarga, sosial, komunal, ibadah kita artikan sebagai hal yang tidak sendirinya rohani.

Korban pendamaian harus dilakukan dengan sukarela (IMB: tulus dan senang hati) bukan dengan paksa. Pada dasarnya ibadah dalam bentuk apa pun harusnya kita lakukan secara sukacita bukan dengan dukacita dan terpaksa. Korban pendamaian itu harus dimakan hari itu juga, atau paling lambat sampai keesokan harinya, tidak boleh ditunda menghabiskannya sampai hari ketiga. Pada dasarnya perintah ini konsisten dengan perintah di pasal 7. Tidak jelas latarbelakang perintah ini. Mungkin ada kecenderungan karena kelangkaan persediaan makanan pada masa tertentu, orang Israel mengubah perintah untuk memakan habis korban menjadi cadangan makanan beberapa hari ke depan. Intinya jelas, semua sikap dan tindakan yang menyangkut upacara ibadah juga harus mengikuti pemikiran Tuhan, bukan pertimbangan sendiri.

DOA: Tuhan yang mencipta realitas baik adanya, tolong kami untuk memaknai dan mewujudkan kekudusan yang komprehensif dan holistik, bukan dalam konsep kerohanian yang sempit dan tidak berkaitan dengan kenyataan keseharian dan kehidupan sosial kami. Demi Yesus Penyelamat dan Pengudus kami. Amin.

Be the first to comment

Leave a Reply