Kulit dan Kekudusan

TUHAN berfirman kepada Musa dan Harun:

“Apabila pada kulit badan seseorang ada bengkak atau bintil-bintil atau panau, yang mungkin menjadi penyakit kusta pada kulitnya, ia harus dibawa kepada imam Harun, atau kepada salah seorang dari antara anak-anaknya, imam-imam itu. Imam haruslah memeriksa penyakit pada kulit itu, dan kalau bulu di tempat penyakit itu sudah berubah menjadi putih, dan penyakit itu kelihatan lebih dalam dari kulit, maka itu penyakit kusta; kalau imam melihat hal itu, haruslah ia menyatakan orang itu najis. Tetapi jikalau yang ada pada kulitnya itu hanya panau putih dan tidak kelihatan lebih dalam dari kulit, dan bulunya tidak berubah menjadi putih, imam harus mengurung orang itu tujuh hari lamanya. Pada hari yang ketujuh haruslah imam memeriksa dia; bila menurut penglihatannya penyakit itu masih tetap dan tidak meluas pada kulit, imam harus mengurung dia tujuh hari lagi untuk kedua kalinya. Kemudian pada hari yang ketujuh haruslah imam memeriksa dia untuk kedua kalinya; bila penyakit itu menjadi pudar dan tidak meluas pada kulit, imam harus menyatakan dia tahir; itu hanya bintil-bintil. Orang itu harus mencuci pakaiannya dan ia menjadi tahir. Tetapi jikalau bintil-bintil itu memang meluas pada kulit, sesudah ia minta diperiksa oleh imam untuk dinyatakan tahir, haruslah ia minta diperiksa untuk kedua kalinya. Kalau menurut pemeriksaan imam bintil-bintil itu meluas pada kulit, imam harus menyatakan dia najis; itu penyakit kusta. – Imamat 13:1-8 dst.

Kembali kita membaca bagian kitab Imamat yang bisa menimbulkan salah sikap jika dibaca dengan perspektif medis modern. Apabila kita meneliti bebagai penggunaan istilah di nas ini dan nas-nas konteks sebelum dan sesudah pasal ini kita perlu ingat bahwa pesan yang tersirat di dalamnya adalah masalah spiritual-teologis yang dikaitkan dengan kondisi kesehatan. Hal itu nyata dari pemakaian kata “najis” dan “tahir” – artinya kondisi kesehatan / penyakit kulit dikaitkan dengan soal kerohanian. Ada beberapa pelajaran penting dari nas ini:

1. Imam memeriksa dan menentukan apakah gejala kulit tertentu dinyatakan sebagai kusta atau bukan. Tidak difirmankan Tuhan bahwa imam berfungsi juga mengobati penyakit yang diperiksanya. Imam di sini tidak berfungsi sebagai tabib atau dokter tetapi sebagai rohaniwan untuk menentukan apakah gejala penyakit seseorang membuat yang bersangkutan tidak layak di hadapan Tuhan dan tidak boleh dibiarkan menularkan kondisi buruknya kepada orang lain, atau sebaliknya menyatakan bahwa gejala penyakit tertentu telah membaik dan sembuh dan yang bersangkutan tidak najis di hadapan Tuhan dan tahir dalam pergaulan sosialnya. Maka pasal ini tidak harus dibenturkan dengan perspektif mdeis modern.

2. Nas ini menyatakan bahwa masing-masing orang dan umat secara keseluruhan bertanggungjawab tentang kondisi kesehatan jasmani dan rohani serta diharuskan memeriksakan diri kepada imam untuk memastikan apakah yang bersangkutan sakit, najis, atau sebaliknya tidak najis dan tahir.

3. Berbagai gejala yang disoroti di sini tidak menyebutkan salah satu gejala sakit lepra yaitu tanggalnya bagian-bagian tubuh penderita. Melainkan yang disoroti adalah bercak putih, tumbuh bulu atau bulu berubah warna, kulit membengkak, kudis, borok, dan berbagai gejala masalah kulit lainnya. Dalam perspektif medis modern mungkin yang dibicarakan adalah ragam gejala problema kulit secara luas termasuk kudis, koreng, psoriasis, bengkak, bisul, cacar, dlsb.

4. Dari sedikit pengetahuan kesehatan kita sadar bahwa kulit adalah sistem imun paling luas yang Tuhan karuniakan ke dalam sistem kesehatan manusia. Kulit yang sehat menyatakan kondisi kesehatan yang baik. Lebih lagi keterpaparan kita dengan lingkungan sekitar (udara / air / dlsb.) langsung ditahan oleh kulit sehingga tidak langsung masuk ke bagian dalam tubuh kita. Maka apabila terjadi berbagai masalah pada kulit itu menunjukkan penurunan kesehatan yang bersangkutan. Maka peraturan Tuhan tentang diagnosis kulit oleh imam ini menunjukkan perhatian Tuhan yang luar biasa untuk keutuhan umat-Nya baik secara jasmani maupun rohani.

5. Imam harus teliti memeriksa kondisi masalah kulit dari umat yang diduga bermasalah kesehatan kulit. Imam harus memerika setiap dan semua gejalanya. Imam juga harus memeriksa semua gejala itu secara bertahap selang waktu tertentu yang Tuhan tetapkan. Baru sesudah setiap gejala diperiksa dan mengikuti tahap berulang, imam menyatakan apakah yang bersangkutan sakit, najis, atau sebaliknya tahir. Tujuan dari kehati-hatian ini selain menegaskan bahwa analisis terhadap masalah tidak boleh gegabah dan sembrono, juga menunjukkan keinginan Tuhan agar yang bersangkutan dan seluruh umat terpelihara dari penanganan penyakit secara keliru.

6. Nanti kita lihat di ayat 45 dst. bagaimana “kusta” menjadi lambang dari dosa. Dengan kusta dijadikan perlambangan untuk dosa, berarti satu aspek lain dari dosa disingkapkan melalui nas ini, yaitu sifat dosa sebagai penyakit yang membutuhkan bukan saja pengampunan, pembenaran dan pembebasan tetapi juga membutuhkan penyembuhan. Sejalan dengan konsep penyakit, dosa dilihat juga bukan saja merusak kemanusiaan kita sampai akhirnya menggerogori yang baik dan sehat menjadi seakan maut berjalan, dosa pun bersifat menular dan merusak komunitas dan sosial. Aspek ini mengingatkan kita bahwa terhadap orang yang jatuh dalam dosa dibutuhkan juga pelayanan penyembuhan secara rohani.

7. Silakan dibaca keseluruhan pasal ini sampai dengan ayat 44 untuk menangkap beberapa poin penting di atas secara lebih jelas.

DOA: Tuhan sumber kesehatan, ketahiran, dan kekudusan, oleh kuasa dan anugerah-Mu sembuhkanlah penyakit kami, tahirkanlah kami dari noda, sembuhkanlah kami dari penyakit dosa, dan kuduskanlah kami oleh jamahan tangan kasih-Mu. Dalam Yesus Tabib dan Juruselamat kami. Amin.

Be the first to comment

Leave a Reply