Ketamakan: Tambah Sedikit Lagi

Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya.
Inipun sia-sia. (Pkh. 5:10)
Seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon. (Luk. 16:13)
Ketamakan adalah hawa nafsu yang tidak diungkapkan secara seksual. Dalam kebudayaan modern ketamakan bersaing dengan hawa nafsu untuk beroleh status disukai. Ia juga bersaing dengan kemarahan dalam hal seberapa jauh kita akan merasionalisasinya sebagai hal yang baik.
Dalam film Wall Street tokoh penyerang perusahaan Gordon Gekko menjelaskan rasionalisasi dari ketamakan. “Ketamakan, karena kurang istilah yang lebih baik, adalah hal yang baik. Ketamakan benar; ketamakan berguna. Ketamakan menjelaskan, menerobos dan menangkap hakikat semangat evolusioner. Ketamakan, dalam semua bentuknya, ketamakan untuk hidup, untuk uang, untuk cinta, pengetahuan – telah menandai gerak terobosan ke atas dari umat manusia.” Meskipun tokoh
Gekko dijelekkan dalam film ini, kejatuhannya kurang disebabkan oleh ketamakannya dibanding oleh kepercayaan narsisnya bahwa hukum dan moralitas tidak berlaku baginya.
Topik tentang uang sangat mungkin memicu pertengkaran dalam sesi terapi pernikahan. Seringkali pasangan yang satu pembelanja dan yang satunya penimbun, paling tidak dilihat dari cara pandang mereka yang bertentangan. Keduanya bergumul dengan ketamakan, entah tamak untuk mendapatkan atau tamak untuk membelanjakan. Sering kali gumulan mereka di sekitar berapa banyak uang untuk dipakai; yang satu boleh jadi sangat murah hati dan yang satunya sangat kikir. Jarang saya bekerja dengan suatu pasangan yang merasa mereka telah menyelesaikan dengan nyaman masalah mereka dengan uang.
Saya cenderung tidak terlalu khawatir tentang uang. Istri saya sangat berhati-hati dengannya. Saya suka memiliki uang sebab saya ingin memakainya untuk hal-hal menyenangkan. Ia suka memiliki uang sebab ia ingin menyimpannya untuk masa darurat. Dari pengalaman hidup kami yang berbeda masing-masing kami memiliki ketakutan berbeda tentang uang.
Lebih dari satu dekade istri saya dan saya ikut kelompok kecil yang sama. Bertahun-tahun kami telah mempelajari dan membaca banyak hal bersama, tetapi kami menyetujui bahwa sebagian dari diskusi kami yang paling menarik dan sukar adalah yang menyangkut uang.
Beberapa tahun lalu masing-masing kami menulis riwayat hidup kami tentang uang dan membacakannya untuk kelompok itu. Kami menemukan adanya lingkup sikap dan pengalaman kami yang mencengangkan tentang uang. Kami menjadi lebih saling mengerti sesudah latihan itu. Para anggota kelompok yang telah menikah mendapatkan mereka juga memiliki gumulan yang serupa dengan uang.
Siapa pun yang membaca Alkitab dengan serius akan mendapatkan munculnya perasaan-perasaan yang bertolak belakang tentang uang. Yesus banyak bicara tentang uang dan kebanyakannya bersifat peringatan. Ia berkata bahwa orang kaya akan lebih sukar memasuki kerajaan surga dan bahwa kita harus tidak tertarik pada uang sebagaimana burung dan bunga. Ia memuji seorang janda yang memberikan koinnya terakhir untuk Allah, tanpa khawatir tentang apa yang akan terjadi esok.
Di pihak lain Yesus menegur kemalasan melalui cerita seorang hamba yang gagal mencari keuntungan dari uang modal yang diberikan tuannya. Untuk mengajarkan tentang kasih Bapa untuk kita, Ia memakai contoh negatif seorang anak yang memboroskan warisannya. Ia memuji wanita yang menuangkan sebotol parfum mahal pada-Nya daripada menjual itu
untuk mendukung keperluan orang miskin.
Sikap kepada uang dan kekayaan sangat berbeda menurut kebudayaan, keluarga dan kelas. Masa kini saya termasuk kelas menengah, tetapi saya berasal dari status sosio-ekonomi lebih rendah. Sikap saya telah berubah secara bertahap sampai saya hampir tidak menyadarinya. Hal-hal yang dulu terkesan kemewahan kini terasa seperti keharusan.
Penelitian ilmu sosial menunjukkan bahwa selama kebutuhan dasar orang terpenuhi, status keuangan ternyata tidak terlalu berdampak pada kesan orang tentang kesejahteraan mereka. Kebanyakan orang merasa bahwa agar bahagia mereka perlu sedikit memiliki lebih daripada yang sudah mereka punya. Ketika mereka mendapatkan sedikit lebih, mereka menyesuaikan
standar hidup mereka. Lalu mereka merasa bahwa mereka perlu sedikit lebih lagi untuk menjadi bahagia.
Ketamakan muncul dari kecurigaan bahwa Allah tidak akan memerhatikan kebutuhan kita sebaik kita melakukannya sendiri. Buku Doa Santo Agustinus memberikan beberapa kategori yang membantu kita tentang ketamakan atau keserakahan. Keinginan lebih adalah pengertian sterotip tentang ketamakan. Keinginan lebih adalah pengejaran secara tidak benar akan harta dan benda entah secara jujur atau tidak jujur. Orang menyerah kepada dosa ketamakan ketika orang itu memahami kelayakan dan sukses berdasarkan kekayaan materiil. Ambisi tidak benar menangkap hawa nafsu untuk kekuasaan dan status. Ia meliputi kompetisi kejam atau pembesaran diri. Meski ambisi sedemikian kerap menyebabkan kekayaan materiil, orang dengan dosa ambisi tidak benar mungkin menganggap uang sebagai sekunder atau tidak relevan. Uang hanya berguna untuk membeli lebih banyak kesempatan. Ambisi tidak benar mungkin adalah penunjukan paling tepat untuk dosa Lucifer dan dosa
Hawa.
Pemborosan ialah penyia-nyiaan dan foya-foya. Pemborosan memaparkan dosa dari anak yang hilang dalam perumpamaan Yesus. Dengan tamak ia meminta bagian warisannya lebih dulu supaya ia dapat memakai dalam kenikmatan foya-foya. Kita boros jika kita hidup melampaui kesanggupan kita, gagal membayar utang kita, berjudi atau berbelanja hal-hal yang
tidak perlu untuk diri kita sementara orang lain tidak mendapatkan kebutuhan mereka. Garis antara butuh dan ingin sukar untuk dikenali. Sebagian akan berpendapat bahwa AC saya adalah kemewahan dan bahwa saya harus memberikan uang untuk AC itu untuk mencukupi orang miskin. Yang lain beranggapan bahwa selama saya memberikan persepuluhan, saya
dapat memakai uang saya sesuka saya. Yang lain lagi memiliki standar berbeda, dan sebagian lainnya sama sekali tidak memikirkan pertanyaan itu; hal ini akan kita bicarakan di bawah subjek kemalasan. Saya percaya bahwa pengejaran kenikmatan dan kenyamanan dengan mengorbankan lingkungan juga cocok ke dalam kategori pemborosan. Kita harus menjadi penatalayan ciptaan, bukan pemakainya.
Buku Doa Santo Agustinus menempatkan kekikiran di ujung lain spektrum. Ini adalah dosa si Bebek Gober (dalam cerita anak-anak Donal Bebek) yang secara tidak benar telah menimbun uangnya. Ketika kita terobsesi dengan keamanan dan membayangkan bahwa kekayaan dapat melindungi kita, kita melakukan dosa kekikiran. Sebagaimana perumpamaan Yesus tentang orang kaya yang bodoh memberitahu kita, kita bisa menimbun harta tetapi kehilangan nyawa kita. Memanfaatkan orang lain atau menolak untuk murah hati kepada orang lain adalah tanda kekikiran. Demikian juga gagal memberi persepuluhan dari pendapatan dan karunia kita. Seperti yang Yesus katakan, “Dari setiap orang yang telah diberi
banyak, akan banyak dituntut; dan dari orang yang dipercaya banyak, diminta lebih banyak lagi” (Luk. 12:48).
Akhirnya dosa dominasi juga pas ditempatkan di bawah ketamakan. Kita melakukan dosa itu ketika kita memaksakan untuk memiliki sesuatu menurut cara kita. Sebagian orang sangat haus kuasa sampai mereka bersedia melakukan apa saja untuk mendapatkannya, bahkan dengan menyabot sasaran mereka sendiri dan menyingkirkan orang lain. Orang yang dominan sering kali terkesan ahli menampakkan ketertarikan untuk kebaikan orang lain sambil mereka mengandaikan diri paling tahu
tentang apa yang baik untuk orang lain itu. Orang ini memberi dan menolong tetapi sambil mengikat orang.
Kita melakukan dosa dominasi ketika kita memengaruhi orang lain kepada dosa atau memaksakan kehendak kita atas orang lain, memanipulasi atau agresif pasif. Saya melihat seorang wanita melakukan dominasi atas penjual yang harus mengikutinya keliling toko, sambil mendengarkan ia berceloteh, memenuhi setiap keinginannya. Ia memakai umpan niat belanjanya, dan mungkin kuasa dari mengetahui bahwa sang pegawai diminta untuk menyenangkan pelanggan, untuk menjalankan dominasi
seolah si penjual adalah pelayan pribadinya.
(Michael Mangis, Dosa Ciri Diri, psl. 3.2)

Be the first to comment

Leave a Reply