Kerentanan

Kita butuh kekuatan untuk bertekun dan menang, jadi rasanya wajar orang menginginkan peningkatan kuasa terus menerus. Sementara kita mendewasa, kita mulai menyadari pentingnya kuasa. Pengetahuan, kesehatan dan uang disamakan dengan kuasa. Kapasitas, kecerdasan emosional, kemampuan mempersuasi dan memengaruhi adalah cara untuk mencapai tujuan tersebut.

Meski agaknya kuasa dibutuhkan, kuasa juga berbahaya. Ini khususnya berlaku tentang kuasa kedudukan, hal yang sangat sedikit orang rela melepasnya. Kerap kali semakin banyak kuasa dipakai, semakin ia diinginkan. Maka kuasa jenis ini dapat dengan mudahnya disalahgunakan, menyebabkan kita keluar dari jalur dan langsung menuju kehancuran.

Ketika seseorang memiliki terlalu banyak kuasa, banyak pencobaan harus dihadapi. Seneca filsuf Romawi mengatakan, “Manusia tidak mati. Ia membunuh dirinya sendiri.” Penyalahgunaan dan penggunaan kuasa berlebihan dapat menjadi kejatuhan kita.

Penting bagi orang yang berkuasa untuk membatasi pemakaian kuasa mereka, dengan sengaja menjadikan diri lebih lemah. Latihan spiritual mencakup belajar bagaimana melatih pengendalian diri ketika menyangkut pemakaian kuasa. Kegagalan dan konflik dalam hubungan memiliki cara untuk merendahkan kita dan membatasi kuasa kita. Kadang kita dapat terguncang dan kehilangan keyakinan ketika kita merasa lemah, maka kelemahan adalah bentuk lain dari rasa sakit. Namun demikian, jika kita memakai kelemahan kita untuk kebaikan, itu dapat merupakan berkat.

Melalui guncangan dan gelombang yang datang dari banyak kesukaran dalam kehidupan, saya menjadi pecah dan lemah. Saya tadinya selalu melawan kelemahan dan kerentanan, tetapi suatu hari saya menyadari bahwa karena saya tidak dapat menghindari kelemahan, barangkali saya dapat memakainya untuk pertumbuhan. Dengan cara itu, kelemahan dapat menjadi kesempatan, suatu berkat, sebab dalam kelemahan kita Allah menyatakan kekuatan-Nya.

Namun, kita tidak harus bertindak seakan kita lemah. Di dalam dan dari dirinya sendiri kuasa bukanlh sesuatu yang baik atau jahat. Tetapi masalah muncul ketika kita mengandalkan kuasa kita lebih dulu. Ketika itu terjadi, kita tidak memiliki ruang untuk Allah campur tangan. Hal-hal spiritual harus dipelihara oleh kuasa spiritual. Jika ada kuasa manusia terlibat dalam hal spiritual, tidak akan ada buah menetap di dalamnya.

Ketika kita lemah dan rentan, kita mengandalkan Allah. Kita meletakkan kekuatan kita sendiri dan memercayai Tuhan Allah kita. Dengan cara ini, kita mengalami penyatuan dan mengembangkan persekutuan akrab dengan Dia. Mari kita syukuri kerentanan kita, karena kerentanan mengandungi kerendahhatian, dan kerendahhatian menolong kita menyadari batas-batas kita. Dan ketika kita menyadari keterbatasan kita, kita sanggup bergantung pada Allah.

Dalam Bread for the Journey (Roti untuk Perjalanan), Henri Nouwen berkata, Ada perbedaan besar antara keberhasilan dan keberbuahan. Sukses datang dari kekuatan, kendali, dan keterhormatan. Orang yang sukses memiliki energi untuk mencipta sesuatu, untuk mengendali perkembangannya, dan untuk membuatnya tersedia dalam jumlah besar. Sukses membawa banyak pahala dan kerap kemasyhuran. Namun demikian, buah datang dari kelemahan dan kerentanan. Dan buah itu unik. Anak adalah buah yang dibuahi dalam kerentanan, komunitas adalah buah yang lahir melalui kehancuran yang diberbagikan, dan keakraban adalah buah yang tumbuh melalui menyentuh luka seorang dengan yang lain. Mari kita saling mengingatkan bahwa yang membawa kesukaan sejati bagi kita bukanlah keberhasilan tetapi keberbuahan.

Yesus datang sebagai tunas muda yang lembut. Tunas rentan adanya, dan kuncupnya lembut. Tetapi bunga dan buah datang dari kuncup lemah dan lembut itu, bukan dari dahan keras dan kuat. Namun buah melimpah hanya datang ketika cabang-cabang yang lemah dan rentan menyatu kepada pohonnya. Demikian pun, kita menghasilkan buah ketika kita menyatu dengan Yesus. Spiritualitas melibatkan pemeliharaan status lemah dan rentan itu supaya kita dapat memercayai Allah, bukan untuk keberhasilan tetapi untuk keberbuahan. Ketimbang menyesali dan mengeluh tentang kelemahan dan kerentanan kita, mari kita bersyukur untuknya.

(Joshua Choonmin Kang, Spiritualitas Kebersyukuran, psl. 9)

Be the first to comment

Leave a Reply