Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran (Yohanes
1:14). Ayat ini bergema dalam gereja-gereja kita pada masa Natal. Ia menggema di lorong-lorong memori kita: memori Natal kita yang lama telah berlalu, memori kolektif Gereja, memori bawah sadar umat manusia. Pada mulanya adalah Firman… dan Firman itu telah menjadi manusia. Ibadah Pujian Natal telah membuat pendahuluan Yohanes menjadi salah satu bagian Alkitab paling terkenal. Tetapi perkataan tentang Kata (Firman) tidak hanya tentang Natal. Perkataan itu menjangkau dengan pesan kaya tentang Yesus, pesan yang memanggil kita untuk
mengikut Dia sepanjang tahun-tahun kita.
Injil Yohanes berbeda. Di awal abad lalu telah terjadi percakapan terkenal antara Uskup Agung Wiliam Temple dan Uskup Charles Gore. Gore berkata bahwa ia mengunjungi rasul Yohanes seperti orang mengunjungi
sebuah negara asing dan indah, tetapi ia pulang ke rasul Paulus. Temple menjawab bahwa untuknya justru terbalik. Teologi Paulus dan Yohanes tampak serasi dalam tingkat yang dalam, tetapi suasana kedua penulis itu sangat berbeda. Sebagai seorang pemula dalam teologi Paulus, saya ingin mengatakan bahwa saya setuju dengan Charles Gore. Suatu ketika saya pergi untuk wawancara pekerjaan di mana untuk beberapa waktu saya bicara panjang lebar tentang Paulus, dan kemudian ditanya tentang Yohanes. Saya menjawab, bahwa saya merasa tentang
Yohanes seperti saya merasa tentang istri saya; saya sangat mengasihi istri saya, tetapi saya tidak akan mengklaim saya mengerti dia. Saya gagal mendapat pekerjaan dalam wawancara itu.
Dalam gaya, tekanan, struktur – dalam semua hal yang membentuk ciri sebuah buku – Yohanes berbeda dari lainnya. Dengan Paulus kita berada di ruang seminar: kita memberikan argumentasi, mencari rujukan,
membuat catatan, dan didorong masuk ke dunia untuk mengkhotbahkan injil ke semua bangsa. Matius membawa kita ke sinagoge, di mana umat Allah belajar mengenali Yesus sebagai Raja mereka, Immanuel mereka.
Markus, seperti yang akan kita lihat nanti, menulis sebuah buku pegangan ringkas tentang kemuridan, untuk para pengikut sang Raja Hamba. Lukas menyajikan Yesus kepada dunia beradab Yunani zamannya. Beda dari semua itu, Yohanes, mengajak kita naik ke atas gunung, dan dengan tenang berkata: “Lihat – dari sini, pada hari cerah, Anda dapat melihat selamanya.” Kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa. Yohanes tidak sedang memaparkan tentang peristiwa pemuliaan Yesus di atas gunung,
seperti yang para penulis injil lain lakukan. Dalam arti tertentu, seluruh kisah Yohanes adalah tentang pemuliaan. Ia mengundang kita untuk diam dan mengetahui; untuk memandang ulang ke wajah sang manusia Yesus dari Nazaret, sampai pengetahuan yang menakjubkan datang ke atas kita, bagaikan gelombang yang melampaui gelombang dahsyat, bahwa kita sedang memandang wajah manusia dari Allah yang hidup. Dan ia terus
memimpin kita, dengan ketakjuban dan keheranan kita mencapai ketinggiannya, ke titik di mana kita menyadari bahwa wajah itu paling jelas ketika ia memakai mahkota duri. Ketika Yohanes berkata, “Kita telah melihat kemuliaan-Nya,” pernyataan itu utamanya berpikir tentang salib. Dan mereka yang melihat kemuliaan ini di salib, tidak lama sesudah itu ditugasi untuk mengikut Dia yang telah membuat kemuliaan itu terlihat.
Di sini saya ingin menelusuri tiga dari lusinan utas yang membentuk tenunan mengagumkan ini. Yang pertama menyangkut petunjuk jalan. Yohanes adalah seorang penulis cerdik; ia membuat kita melakukan sebagian tugas. Dalam salah satu pemandangan awal dalam injil, sebuah perikop yang sangat disukai para pengkhotbah untuk kebaktian pemberkatan nikah, ia menceritakan tentang pernikahan di Kana, dan tentang Yesus mengubah air menjadi anggur. Komentar Yohanes, di akhir kisah itu, berkait ke bagian pendahuluan, sambil pada saat yang sama
menunjuk maju ke rangkaian petunjuk jalan. “Ini yang pertama dari tanda-tanda-Nya,” demikian ia menulis, “Hal itu dibuat Yesus di Kana yang di Galilea, sebagai yang pertama dari tanda-tanda-Nya dan dengan itu Ia telah menyatakan kemuliaan-Nya, dan murid-murid-Nya percaya kepada-Nya” (2:11). Firman itu telah menjadi manusia, dan merayakan pernikahan seorang sahabat; dan kita telah melihat kemuliaan-Nya,
kemuliaan dari Dia yang mengambil yang biasa dan mengubahnya menjadi luar biasa. Dengan mengatakan hal itu sebagai tanda “pertama,” Yohanes mengingatkan kita bahwa akan ada lebih banyak tanda lagi. Dan
begitulah, di akhir pasal 4, kita bertemu hamba kepala laskar, yang Yesus sembuhkan dari jarak jauh (4:46-54). Yohanes mengomentari “inilah tanda kedua yang Yesus buat.” Firman telah menjadi manusia, dan menyembuhkan yang sakit; kita telah melihat kemuliaan-Nya, kemuliaan sebagai sang pemberi hidup yang berdaulat.
Sesudah menunjukkan dua tanda itu, akibatnya kini Yohanes berkata: baiklah, mulai dari sini Anda kini menyimpulkan sendiri. Ia ingin kita membuka mata kita lebar-lebar, dan terus menghitung. Pasal berikut
dimulai dengan tanda ketiga, suatu penyembuhan dari seorang di kolam Betesda. Pasal 6 mulai dengan pemberian makan 5,000 orang di padang gurun. Pasal 9 memberikan kita penyembuhan seorang yang buta sejak
lahir, dan pasal 11 menceritakan kisah pembangkitan Lazarus dari kematian. Anda masih menghitung? Ini semua menjadi enam tanda dalam paruh pertama injil itu, yang membentang dari pasal 1 sampai pasal 12.
Sesudah itu, kita masuk ke ruang atas, di mana kita mendapatkan peristiwa pembasuhan kaki dan khotbah perpisahan yang panjang; lalu kita tiba di penyaliban sendiri.
Apa, tidak ada tanda lagi? Pasti Yohanes tidak hanya meninggalkan enam tanda untuk kita? Siapa pun yang mengerti tentang arti angka tahu bahwa angka enam tidak dapat dibandingkan dengan angka tujuh. Lalu
mengapa kita memikirkan tentang angka tujuh? Baiklah, pikirkan kembali bagian pendahuluannya tadi. “Pada mulanya…”: Yohanes memulai seolah ia sedang menulis suatu Kejadian baru, suatu kisah penciptaan baru.
Dan memang begitu. Ia sedang mengajak kita ke tujuh tanda penciptaan baru. Lalu apakah yang menjadi tanda ketujuh? Seluruh gerak kisahnya memberi kita jawabannya. Salib adalah tanda ketujuh itu: di sanalah
kemuliaan Allah dinyatakan secara paling penuh. Yohanes mengundang kita untuk melihat gunung Kalvari sebagai gunung pemuliaan: Firman telah menjadi manusia, dan mati di antara kita; kita telah melihat
kemuliaan-Nya, kemuliaan seorang yang menyerahkan nyawa-Nya untuk para sahabat-Nya.
(N. T. Wright, Mengikut Yesus, psl. 4.1)
Leave a Reply
Anda harus masuk log untuk mengirim sebuah komentar.