Kemarahan: Tidak Dijinakan dengan Aman

Foto: portaljember.pikiran-rakyat.com

Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai dirinya, melebihi orang yang merebut kota.
(Ams. 16:32)

Dosa kemarahan atau murka dianggap lebih menyebabkan kerusakan dalam dunia kita daripada semua dosa-dosa lain digabungkan. Semua dosa lain dapat membawa ke kemarahan. Dengan mudah kita kehilangan jejak tentang fakta bahwa kesombongan kita yang terluka datang di awal atau bahwa ketamakan yang gagal atau nafsu yang ditolak menyediakan tanah subur untuk berakarnya kemarahan. Ketika kemarahan muncul, biasanya ia menguasai.

Dari semua dosa-dosa klasik, kemarahan mendapat penerimaan paling tidak menentu dalam pembaca modern. Kebingungan dan ketidakmenentuan ini tidak datang dari penekanan bahwa kemarahan dapat menjadi destruktif tetapi dari penegasan bahwa kemarahan selalu merupakan pikiran atau perasaan yang harus dihindari.

Kita semua tahu bahwa terkadang kemarahan dapat baik. Saya ingin dapat mengatakan bahwa literatur pembentukan rohani historis mengakui kemarahan sebagai hal yang baik yang dapat menjadi dosa hanya bila ia lepas kendali, tetapi hal itu tidak jujur. Meskipun kemarahan yang tidak tepat disalahkan di atas kemarahan yang benar, literatur yang telah berabad-abad usianya melihat kemarahan sebagai logismoi berbahaya yang harus dimatikan daripada dijinakkan.

John Cassian, yang bertanggungjawab untuk membawa kebanyakan ajaran dan tulisan dari para bapak padang gurun ke gereja luas, menulis: Racun mematikan dari kemarahan harus dicabut tuntas dari pojok-pojok terdalam jiwa kita. Sebab sepanjang ia tetap ada dalam hati kita, dan dengan kegelapannya yang melukai membutakan mata jiwa, kita tidak dapat mencapai penilaian yang benar dan kebijaksanaan, atau mencapai wawasan yang memancar dari tatapan jujur, atau kematangan nasihat,
juga kita tidak dapat mengambil bagian dari hidup, atau menyimpan kebenaran, atau bahkan memiliki kapasitas untuk terang rohani dan sejati.

Penghakiman yang tersebar luas terhadap emosi marah itu dapat membingungkan. Dalam beberapa catatan Injil Yesus sendiri marah. Ia menyerang para penukar uang yang mencemari Bait. Ia juga terkesan sangat marah ketika Ia menantang para pemimpin religius. Ia bahkan terkesan marah kepada para murid-Nya sendiri ketika mereka terkadang bodoh. Beberapa bentuk kemarahan seharusnya dapat diterima.

Secara tradisional kemarahan yang diarahkan kepada kejahatan yang tidak menghormati Allah dilihat sebagai kemarahan yang tepat. Kemarahan yang tidak tepat ialah yang diarahkan kepada hal-hal yang egois dan duniawi. Kemarahan kita dibenarkan hanya bila diarahkan kepada kejahatan yang juga membuat Allah marah. Sayangnya motif kita untuk marah jarang murni dan tidak dinodai oleh pementingan diri sendiri.

Kemarahan kepada orang yang dengannya kita memiliki relasi dekat tidak pernah sederhana. Selalu ada luka-luka lama, ketegangan yang belum selesai dan komplikasi lain yang masuk ke dalam perhitungan. Bila saya mengingat kemarahan saya kepada istri saya, putra saya atau rekan saya di pekerjaan, saya sadar bahwa ada lebih banyak hal terlibat daripada isu yang kami pertengkarkan.

Dalam pertengkaran dengan istri saya baru-baru ini, saya mulai dengan sepenuhnya merasa benar dalam kemarahan saya. Ketika kami membicarakan titik pandang kami, saya mulai menyadari bahwa kemarahan saya terutama dimotivasi oleh perasaan terluka, malu dan hasrat persaingan untuk memenangkan perselisihan. Mungkin juga ada lagi faktor-faktor lain.
Barangkali saya mengalami hari buruk dan membebankan itu kepada istri saya. Mungkin sesuatu yang ia ucapkan mengingatkan saya tentang perkataan atau perbuatan seseorang yang membuat saya marah.

Saya harus menyimpulkan bahwa ada sesuatu dalam peringatan historis bahwa kemarahan bukan sesuatu yang dapat dijinakkan dengan aman. Bagaimana pun saya harus tetap sadar bahwa segala bentuk kemarahan
mengandung insting agresi, yang siap dipicu oleh keadaan-keadaan tepat. Dalam hidup keseharian saya mungkin saya dapat mengendalikan jenis-jenis kemarahan yang wajar, tetapi jika saya membelakanginya pada saat salah, ia mungkin akan menyerang kembali.

Saya kenal orang yang kemarahannya tidak dijinakkan. Kemarahan mereka seumpama binatang buas yang gusar, yang dengan mudah meledak dan meluap ketika dibangunkan. Ketika saya bekerja dengan orang yang memiliki masalah kemarahan yang kronis, saya membandingkan dosa mereka dengan penyalahgunaan substansi. Orang-orang yang alkoholik tidak dianjurkan untuk berusaha mengendalikan minum minuman keras tetapi untuk berhenti darinya. Para alkoholik yang berusaha hanya minum untuk tujuan sosial meremehkan pencobaan yang akan mereka hadapi. Orang yang teradiksi kepada kemarahan memiliki gumulan serupa. Kebanyakan orang dapat minum sewaktu-waktu dalam kesempatan sosial dan tidak menjadi
alkoholik, dan kebanyakan orang dapat mengungkapkan kemarahan tanpa meledak menjadi kebiasaan gusar. Orang yang memiliki masalah kemarahan, terkadang disebut sebagai mabuk gusar (rage-aholics), harus berusaha meniadakan semua kemarahan dari kehidupan mereka. Jika mereka mengundang sedikit saja kemarahan ke dalam jiwa mereka, kemarahan itu
akan sangat sukar untuk diusir.

Kejengkelan adalah bentuk lain kemarahan yang sukar untuk diusir. Dari benih yang halus kekecewaan bertumbuh menjadi tanaman raksasa dengan akar-akar meliliti hati kita. Orang yang bergumul dengan kekecewaan menyalahkan ketidakbahagiaan mereka pada kelemahan dan ketidakadilan entah nyata atau hanya kesan. Mereka menolak untuk menerima kehendak
Allah atau bahkan menerima realitas, dan mereka menolak untuk beralih posisi. Mereka membangun suatu jatidiri di sekitar ketidakadilan yang menimpa mereka. Mereka membiarkan luka-luka itu menganga terus daripada mengizinkannya sembuh.

Buku Doa Santo Agustinus mendaftarkan dua lagi bentuk kemarahan: kegarangan dan pembalasan. Kegarangan dicirikan oleh sikap melawan, bertengkar atau kasar. Mereka selalu akan melihat dan mengandaikan yang terburuk dalam setiap situasi. Orang yang garang sangat melelahkan orang yang bersamanya, terutama jika Anda menjadi objek kegarangan orang itu. Jika Anda luput dari serangan mereka, kejelian mereka dapat menghibur, bila dilihat dari sisi lain. Pembalasan adalah bentuk tenang namun mematikan dari dosa kemarahan. Seperti orang yang menyimpan kejengkelan, orang ini menolak untuk mengampuni mereka yang telah berbuat salah. Orang dengan dosa pembalasan berusaha untuk
menumbangkan kebahagiaan orang lain melalui pembalasan aktif atau melalui cara-cara agresi yang pasif dan tidak langsung.

Saya ingin menambahkan kepada daftar manifestasi dosa kemarahan ini, dosa paranoia. Paranoia berat bisa disebabkan oleh alasan medis, tetapi ia juga muncul sebagai pola-pola hati. Orang dengan kepribadian paranoid mengurus kekhawatiran kronis mereka dengan membayangkan segala sesuatu dapat menjadi salah dan semua orang menginginkan mereka mengalami kemalangan. Orang ini lebih suka mengantisipasi yang terburuk dan membuatnya tidak terjadi daripada kedapatan lepas
pertahanan, tidak siap terhadap apa yang terjadi dalam hidup.

Saya menolak untuk bersikap mutlak tentang nasihat untuk meniadakan kemarahan. Dalam pengalaman saya sebagai seorang terapis saya telah bertemu cukup banyak orang yang dilumpuhkan oleh ketidakmampuan mereka untuk mengalami kemarahan seperti juga saya telah melihat orang-orang yang terluka oleh kemarahan. Cukup sering saya menasihati orang untuk berusaha marah, bukan menolaknya. Terkadang kemarahan bukan saja benar tetapi juga penting untuk penyembuhan. Ada saat di mana tidak marah sama sekali justru adalah dosa.

Kemarahan adalah respons tepat kepada kejahatan dan ketidakadilan. Sama seperti Yesus dengan marah merespons kepada mereka yang menghalangi anak-anak Allah dari mengetahui kasih Bapa mereka, kita harus merepons kejahatan dengan kemarahan. Sayangnya kita tidak sanggup memercayai kemarahan kita seperti yang ada pada Yesus, yang terpelihara dari hasil yang mementingkan diri sendiri. Jika kemarahan saya tidak dapat berasal dari motif-motif murni, haruskah saya
berusaha untuk tidak marah sama sekali? Saya tidak percaya bahwa itu mungkin atau perlu. Kemarahan yang kita rasakan harus sebanding dengan makna kekal objeknya. Kejahatan-kejahatan yang terjadi di Timur Tengah, krisis AIDS di Afrika, nasib mereka yang tidak memiliki jaminan hidup dan kesehatan – semua hal ini harus membuat saya lebih marah daripada pengemudi yang memotong saya dan hampir menimbulkan kecelakaan.

Saya telah menemukan cara-cara untuk menentukan apakah kemarahan saya murni atau tidak. Sebagai suatu disiplin rohani saya harus mengingatkan diri untuk mengerahkan tenaga untuk marah tentang ketidakadilan dalam dunia ini. Sebagai kontras, kemarahan tentang hal-hal keseharian dalam hidup saya datang begitu saja dan dalam intensitas yang lebih besar daripada yang dijamin oleh situasinya.
Kemarahan saya yang egois muncul ketika hasrat saya untuk mengendali dihalangi. Ketika saya lebih marah pada komputer saya yang bermasalah daripada tentang masalah narkoba di sekolah-sekolah di komunitas saya, saya tahu ada sesuatu yang salah.

Ketidakjelasan dalam kemarahan membuat saya dalam dilema. Saya harus marah terhadap ketidakadilan, tetapi tidak marah secara yang mementingkan diri sendiri. Untuk sebab itu para mentor rohani sepanjang sejarah telah mendorong mereka yang di bawah bimbingan mereka untuk melawan semua kemarahan dalam hidup mereka. Gairah kemarahan terlalu mudah menyembur dari bawah kendali kita. Jika kita telah mencapai suatu disiplin sehat atas kemarahan kita, semburan pementingan diri akan makin kurang terjadi.

Mari kita tambahkan dosa pembiaran ke daftar bentuk-bentuk dosa kemarahan. Dosa ini dicirikan oleh penolakan yang tidak tepat terhadap kemarahan dan penolakan untuk menguasai dunia secara bertanggung jawab. Sebagian orang telah diajar untuk tidak mengalami kemarahan sedikit pun. Seringkali pesan itu datang dari mereka yang berkuasa yang tidak ingin kekuasaan mereka terancam. Dosa pembiaran membawa orang ke penanaman otoritas secara pasif dalam pihak lain dan membuat
keputusan yang didasari atas bagaimana mereka memengaruhi relasi daripada atas pengenalan tentang benar dan salah. Orang-orang yang membiarkan mengizinkan orang lain dan bahkan diri mereka untuk menyangkali dan tidak menghormati citra Allah di dalam mereka. Mereka mengizinkan suara yang Allah berikan untuk dibungkamkan.

Dosa meliputi pengarahan sesuatu yang baik ke penggunaan yang melanggar maksud Allah untuknya. Kerakusan, kemarahan, iri dan kesombongan, semua ini adalah dosa-dosa klasik yang menyalahgunakan maksud-maksud baik Allah Pencipta kita. Berikutnya kita akan memeriksa dosa hawa nafsu, keserakahan, kemalasan dan ketakutan.

MENJINAKKAN KECENDERUNGAN LIAR HATI ANDA

Sambil Anda membaca tentang kesombongan, sinonim atau paparan apa yang cocok dengan Anda? Bentuk kesombongan apa yang paling Anda gumuli?

Luangkan waktu beberapa menit dalam doa yang mendengar, minta Allah menyatakan akar-akar kesombongan dalam hidup Anda. Tuliskan pemikiran, gambaran atau perasaan yang muncul di pikiran.

Seringkali sukar mengakui adanya iri. Ambil waktu untuk menjurnal tentang cara-cara hati Anda telah menyimpang ke dalam iri. Dalam hal bagaimana Anda tidak puas dengan keadaan sebagaimana Allah telah menciptakan Anda?

Hal-hal baik apa yang Anda pikir telah Allah tahankan dari Anda dan berikan ke orang lain?

Peran apa yang dimainkan oleh kemarahan dalam hidup Anda? Apakah Anda lebih sering di pihak penerima atau di pihak pemberi kemarahan? Bagaimana kenyataan itu memengaruhi respons Anda dalam menghadapi dosa kemarahan?

Ambil waktu untuk berdiam diri berkontemplasi tentang kemarahan, izinkan Roh Kudus memimpin hati Anda ke kesadaran baru.

Bentuk kemarahan apa yang begitu mudah terjadi kepada Anda?

Bentuk-bentuk kemarahan apa yang mungkin merupakan panggilan Allah untuk Anda rasakan daripada hindari?

Apakah Anda bergumul dengan berbagai bentuk kerakusan? Kenikmatan baik apa yang Anda rasa sukar untuk membatasi secara tepat?

Apakah Anda memakai makanan atau kenikmatan lain sebagai pelarian? Luangkan waktu untuk berdoa meminta Allah menolong Anda menghadapi dan mengurus kenyataan yang Anda coba hindari melalui kerakusan.

Berusahalah berpuasa dari kenikmatan yang cepat bertumbuh menjadi ekses dalam hidup Anda. Bagaimanakah respons hati Anda kepada disiplin ini? Jurnalkan tentang akibat-akibat pengalaman Anda.

Sementara Anda mengkontemplasikan masing-masing dosa ini dan akibatnya dalam hidup Anda, bagaimanakah Anda berespons kepada kedegilan hati Anda? Apakah Anda keras, suka mengritik, mengibaskan jari-jari yang menegur diri Anda? Apakah Anda cepat membiarkan diri lepas dari kesulitan, membuat alasan untuk dosa Anda? Di rangkaian dari kelonggaran dan sikap permisif di satu ujung ke ujung lain sikap keras dan menghakimi, di manakah Anda menempatkan diri Anda?

Akankah Yesus memperlakukan Anda seperti para Farisi atau seperti Ia memperlakukan perempuan Samaria di tepi sumur?

Apakah Anda merespons ke dosa Anda secara berbeda dari Anda merespons dosa orang lain? Bagaimanakah ini memengaruhi kesediaan Anda memeriksa dosa-dosa ciri diri Anda sendiri?

(Michael Mangis, Dosa Ciri Diri, psl. 2.3)

Be the first to comment

Leave a Reply