Kelambatan

Meskipun kecepatan penting, jika orang berfokus pada kecepatan, bahaya menanti. Tragedi kapal Titanic terjadi oleh kenekatan kecepatan kapal itu di tengah medan penuh gunung es. Prioritas sang kapten harusnya adalah keamanan penumpang, bukan kecepatan perjalanan; ambisinya mencapai lebih dini mengakibatkan kehilangan banyak nyawa.

Ada beberapa kekurangan dari bergerak terlalu lambat, tetapi biasanya kerugiannya lebih sedikit ketimbang kelambatan. Apabila kita terlalu berfokus pada kecepatan kita dapat dengan mudah kehilangan arah. Allah tidak tertarik pada seberapa cepat kita bergerak, tetapi pada perkembangan kita menuju kedewasaan, maka kerap Ia melambatkan kita demi kebaikan kita sendiri. Pertumbuhan yang sehat membutuhkan waktu, maka kehidupan hanya dapat menjadi indah melalui proses yang lambat.

Banyak orang meremehkan kelambatan, tetapi kita dapat belajar hikmat dari kelambatan. Menjadi lambat berarti mempertimbangkan prosesnya dengan saksama. Menjadi lambat berarti menikmati dan mencicipi arti kehidupan. Menjadi lambat menyanggupkan kita untuk berjalan lurus dan tidak kehilangan arah kita. Ada jenis kelambatan yang tekun dan tidak malas, maka seorang yang sehat “bergerak maju secara lambat.”

Bijaksanalah mereka yang lambat tetapi gigih untuk melanjutkan karya-karya baik. Menyelesaikan tugas jauh lebih penting ketimbang mengerjakannya cepat. Tidak ada hal lebih kuat ketimbang mengambil satu langkah maju dalam pekerjaan yang berarti. Cepat tidak berarti kuat. Gigih itulah kuat. Orang yang kuat berjalan dengan konsisten dalam jalan-jalan yang harus mereka jalani menurut panggilan Allah; tidak penting seberapa cepat atau lambat. Kita kehilangan terlalu banyak perkara ketika kita bergerak cepat: kita tidak dapat mendengar dengan baik, menerima apa yang kita butuhkan, bertemu orang yang harus kita temui atau mengalami sentuhan lembut tangan Allah. Kita harus berhenti untuk mendengarkan suara-Nya dan mendapatkan perhentian kita dalam Dia.

Terburu-buru ke berbagai arah dalam untuk berusaha menjalankan agenda kita sendiri dapat sangat berbahaya. Allah tidak meminta kita untuk cepat-cepat melakukan tugas besar. Ia memerhatikan perkara-perkara kecil. Mengasihi satu jiwa dengan tenang atau memerhatikan satu jiwa yang terluka mungkin terkesan tidak penting, tetapi hal-hal ini berharga bagi Allah. Pujangga Amerika Emily Dickinson menuangkan ini dalam “Life” (Kehidupan):

 

Jika saya dapat menghentikan satu hati dari kehancuran;

Saya tidak akan hidup sia-sia;

Jika saya dapat meredakan kepedihan dalam satu kehidupan,

Atau menyejukkan satu kepedihan,

Atau menolong seekor burung yang kelelahan kembali ke sangkarnya,

Saya tidak akan hidup dalam kesia-siaan.

 

Jika Allah menghentikan Anda ketika Anda bergerak terlalu cepat, bersyukurlah untuk anugerah ini. Kita dapat mengalami peralihan dalam kehidupan ketika kita melambat atau berhenti. Bahkan mobil harus melambat atau berhenti untuk mengubah arah. Jadi ketika Allah melambatkan kita atau menghentikan kita, Ia memberi kita kesempatan untuk memeriksa diri kita atau untuk berubah arah.

Berhenti dan merenunglah kini dan kelak. Jiwa kita lelah karena bergerak terlalu cepat. Melambatlah dan rawatlah jiwa Anda. Tengoklah ke dalamnya dan rasakan keteduhan. Lalu kita dapat melihat hal-hal yang sebelumnya tidak pernah kita lihat dan mengerti perkara-perkara yang tidak kita ketahui. Itulah sebab saya bersyukur untuk anugerah Allah yang membuat saya melambat.

(Joshua Choonmin Kang, Spiritualitas Kebersyukuran, psl. 13)

Be the first to comment

Leave a Reply