Harapan Ketika Saya Marah Kepada Orang dan Allah

Yunus
ANDAIKAN SAYA BERTANYA, “MENGENAI APAKAH KITAB YUNUS?’Apakah jawaban Anda? Saya pikir sebagian besar orang akan berkata, “Kitab itu tentang seorang yang ditelan oleh ikan paus.” Jawab itu tentu benar, dengan mengandaikan bahwa “ikan besar” dalam Yunus 1:17 adalah seekor ikan paus (hal yang dapat diragukan), tetapi itu bukanlah keseluruhan kisahnya. Sesungguhnya ikan itu sama sekali bukan hal utama dalam
kitab Yunus.
Kitab itu adalah tentang seorang laki-laki dan Allahnya, seorang yang tanpa belas kasihan dan Allahnya yang penuh rahmat. Tetapi bahkan mengatakan secara demikian pun adalah bergerak mundur. C. S. Lewis menulis sebuah buku dalam seri Narnia berjudul The Horse and His Boy, yang urutannya tepat untuk kisah itu. Sama seperti buku Lewis, cara yang tepat untuk mengungkapkan tema kitab Yunus adalah kebalikan yang saya tulis tadi. Buku ini adalah tentang Allah yang penuh rahmat dan manusia yang tidak berbelaskasihan. Yang kita temukan dalam buku ini ialah Allah mengajar Yunus, si manusia tanpa belas kasihan itu, dua pelajaran yang sangat perlu ia pelajari. Boleh kita katakan bahwa Yunus akan terhilang secara rohani jika tidak mempelajari kedua hal ini.
Dua Pelajaran
Pelajaran pertama adalah menyangkut ketaatan. Dalam Yunus 1:1-3, kita baca:
Datanglah firman TUHAN kepada Yunus bin Amitai, demikian: “Bangunlah, pergilah ke Niniwe, kota yang besar itu, berserulah terhadap mereka, karena kejahatannya telah sampai kepada-Ku.” Tetapi Yunus bersiap untuk melarikan diri ke Tarsis, jauh dari hadapan TUHAN; ia pergi ke Yafo dan mendapat di sana sebuah kapal, yang akan berangkat ke Tarsis. Ia membayar biaya perjalanannya, lalu naik kapal itu untuk berlayar bersama-sama dengan mereka ke Tarsis, jauh dari hadapan TUHAN.
Allah telah memanggil Yunus untuk menjadi nabi: seorang yang ditugasi untuk menjalankan misi Allah dan menyampaikan pesan dari-Nya. Kisah itu mulai dengan Yunus menolak untuk melakukan itu, dan ia harus
belajar pelajaran tentang ketaatan. Allah memakai seekor ikan besar untuk mengajarkan pelajaran itu kepadanya. Itulah pokok yang diliput dalam dua pasal pertama.
Tetapi kemudian ada pelajaran kedua. Yunus adalah seorang yang keras, berhati batu dan tak kenal kemurahan – dan ia harus belajar pelajaran tentang belas kasihan. Kita melihat Allah mengajarnya pelajaran itu dan kali ini bukan dengan menggunakan ikan besar tetapi seekor cacing kecil. Kedua pokok inilah yang dibahas dalam kedua pasal terakhir.
Para Hamba Tak Sempurna
Ini adalah kisah untuk kita semua. Allah tidak selalu memilih orang-orang baik saja. Kenyataannya, malah sebaliknya. Adalah cara Allah bahwa Ia memilih dan memakai bahan manusia yang bercacat. Allah memilih orang-orang berdosa; Allah menyelamatkan orang-orang berdosa; Allah memanggil, melengkapi dan memakai para pendosa – dan Yunus adalah seorang dari para pendosa itu.
Alkitab memberikan kepada kita kisah-kisah kehidupan dari banyak pribadi yang Allah pilih dan panggil untuk pelayanan-Nya. Berulang-ulang kali Alkitab menceritakan tentang kelemahan, kejatuhan
moral dan kegagalan spiritual dalam kehidupan mereka. Cara Allah dengan orang-orang ini ialah mengubah mereka sementara Ia memakai mereka dan memakai mereka sementara Ia memperbaiki mereka. Berulang
kali kisahnya ialah tentang Allah menerima kemuliaan melalui pelayanan yang diberikan, sementara pada saat yang sama orang (pria atau wanita) yang memberi pelayanan tersebut dalam keadaan masih sangat tidak sempurna. Tetapi Allah mengajar mereka pelajaran tentang hidup yang benar sambil ia terus memakai mereka. Pengudusan dan pelayanan berjalan bersama. Pengudusan bertumbuh sementara pelayanan berlangsung.
Bandara baru di Vancouver melayani secara penuh, meskipun proses konstruksi bandara itu masih berlangsung ketika ia dibuka. Demikian juga rekonstruksi Allah atas karakter orang-orang beriman dilangsungkan dalam konteks pelayanan teratur yang mereka berikan kepada orang lain. Begitulah cara Allah.
Kita melihat pengudusan dan pelayanan berkaitan dalam kisah Yunus. Kita harus menyadari bahwa Allah menceritakan ini dan kisah-kisah lain yang serupa untuk menguatkan hati kita. Anda dan saya tahu benar
kesusahan yang datang kepada seorang percaya, orang yang sungguh-sungguh kepada Tuhan, ketika Anda mengatakan atau melakukan sesuatu yang tidak layak, dan terlambat untuk mengubah apa yang telah
Anda lakukan atau untuk menarik kembali perkataan itu. Hati Anda berkata, “Lihat kamu buat lagi hal itu. Itu jelas kelemahanmu muncul kembali berulang kali. Engkau adalah jenis orang Kristen yang payah.
Engkau tidak cocok untuk melayani Tuhan. Lagi-lagi engkau lakukan hal itu.” Buku Yunus menceritakan kepada kita bahwa Allah kita adalah Allah yang memilih orang yang mengulang kesalahan tetapi Ia mengampuni
mereka karena pelanggaran itu, dan ia bekerja dengan mereka dan atas mereka untuk mengurangi kelemahan yang membuat mereka jatuh kembali ke perbuatan salah yang pernah mereka lakukan. Dan Ia tetap sama memakai
mereka semua. Ia memberi kita hak istimewa untuk melayani Dia, meski kita adanya segala kekurangan kita. Ia tetap memberkati hal yang kita katakan dan lakukan – meskipun kita menghapus buku catatan kita
berulang kali. Allah kita adalah Allah penuh anugerah, dan ini hanya salah satu ungkapan dari kebaikan-Nya. Anugerah Allah memberikan kita panjang gelombang untuk memasuki gelombang yang kita temukan sementara
kita menelusuri kitab Yunus.
Motif Yunus
Pertama kita lihat dulu manusia tanpa belas kasihan itu, Yunus sang nabi yang tak pedulian. Ia seorang Yahudi di Kerajaan Utara di zaman Yerobeam II, yang sukses militernya dalam memulihkan batas-batas Israel zaman sebelumnya telah dinubuatkan oleh Yunus (2Rj. 14:25).
Dengan ungkapan lebih positif, kita dapat menyebutnya seorang patriot yang kasihnya terpusat pada umatnya sendiri. Atau dalam ungkapan negatif, kita katakan ia seorang rasis – ia memiliki sikap memusuhi orang dari kebangsaan lain, khususnya yang dinyatakan dalam kisahnya, kepada bangsa Asyur.
Satu hal menarik dalam kitab Yunus ialah bahwa hampir setiap kali Allah dibicarakan, Ia disebut dengan Nama perjanjian yang Ia berikan kepada orang Yahudi, Nama yang haus mereka sebut ketika mereka berseru
kepada-Nya, dan yang artinya harus membentuk mereka dalam pengenalan, kasih dan iman mereka kepada-Nya. Nama itu dulu disebut sebagai Yehovah, tetapi kini para ahli menyebutnya Yahweh. Dalam terjemahan
Indonesia diterjemahkan sebagai TUHAN (dengan huruf besar semua). Dalam kitab sepanjang empatpuluh delapan ayat ini nama itu muncul duapuluh enam kali. Orang Yahudi menganggap diri mereka sebagai
satu-satunya umat yang mengenal Pencipta mereka sebagai Allah yang mengasihi, menyelamatkan, dan dalam perjanjian dengan mereka, dan para penulis Perjanjian Lama bermaksud untuk membawa komitmen ilahi ini
kepada pemikiran pembaca mereka setiap kali mereka menyebut tentang Allah sebagai “TUHAN.” Kepada para awak kapal yang berasal dari berbagai kebangsaan dan menganut kepercayaan politheis, yang menyembah
berbagai dewa, Yunus menyatakan: “Aku seorang Ibrani; aku takut akan TUHAN, Allah yang empunya langit, yang telah menjadikan lautan dan daratan” (Yun. 1:9). Kekuatan dan keeksklusifan jatidiri Yahudi ini adalah titik awal kisah buku ini.
Kini bagaimana tentang Niniwe? Ibukota Asyur, Niniwe adalah sebuah kota besar, dan Asyur adalah sutu bangsa besar. Niniwe dalam zaman Yunus, delapan abad sebelum Kristus, sedang membubung dan jadi terkenal. Dalam ukuran, pengaruh dan kekuatan militer membuatnya menjadi kekuatan kerajaan yang memimpin zaman itu dan menjadi ancaman terus menerus bagi orang Yahudi di Israel.
Jika saya boleh memberikan perumpamaan modern lainnya, Cina daratan membuat Taiwan merasa terancam karena kekuatan raksasanya, dan begitulah perasaan Israel zaman Yunus terhadap Niniwe.
Ketika Allah berkata kepada Yunus, “Pergi ke kota besar Niniwe dan berserulah kepada mereka, sebab kejahatan mereka telah sampai ke hadapan-Ku” (1:2), nabi itu tahu apa arti perintah itu. Itu bukan sekadar Allah mengirim pesan kepada Niniwe lalu sesudah itu terserah Anda. Ayat pertama dalam pasal 4 berkata bahwa Yunus sangat kesal dan menjadi marah. Anda mungkin bertanya-tanya mengapa. Jawabnya ialah, sebab ketika ia menyampaikan pesan Allah kepada Niniwe, Niniwe bertobat. Kita diberitahu bahwa ketika “Ketika Allah melihat perbuatan
mereka itu, yakni bagaimana mereka berbalik dari tingkah lakunya yang jahat, maka menyesallah Allah karena malapetaka yang telah dirancangkan-Nya terhadap mereka, dan Iapun tidak jadi melakukannya” (3:10). Di ayat 2 pasal 4, Yunus berdoa seperti ini: “Ya TUHAN, bukankah telah kukatakan itu, ketika aku masih di negeriku? Itulah
sebabnya, maka aku dahulu melarikan diri ke Tarsis, sebab aku tahu, bahwa Engkaulah Allah yang pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia serta yang menyesal karena malapetaka yang hendak didatangkan-Nya.” “Dan itulah yang kini Kau lakukan!” Kira-kira demikian kita mendengar keluhan Yunus.
Dengan kata lain, ujar Yunus, “Aku tahu bahwa jika aku pergi ke Niniwe dan menyampaikan pesan penghukuman-Mu, Engkau akan memakainya sebagaimana sebelumnya Engkau pernah buat dengan khotbah yang sama
tentang ancaman hukuman. Engkau memakai khotbah untuk membuat orang bertobat, Engkau memakainya untuk menyadarkan mereka, menjadikan mereka merendahkan diri di hadapan-Mu dan mengubah jalan-jalan mereka
– dan kemudian Engkau mengampuni mereka. Aku tidak ngin itu terjadi di Niniwe. Itu sebabnya aku tidak mau pergi ke Niniwe untuk membawa pesan-Mu.” Anugerah Allah untuk Niniwe menjadi aib bagi Yunus, semacam
melunaknya hati Allah dari apa yang menurut Yunus harus Allah lakukan, dan pelarian Yunus ke Tarsis sesungguhnya adalah upaya Yunus untuk menyelamatkan Allah dari sikap lunak-Nya itu.
Yunus dalam Kita
Paling tidak Yunus adalah seorang yang jujur, dan di sini ia memerinci dalam doanya bagaimana perasaannya tentang cara Allah telah bertindak. Ia tidak suka tentang cara Allah menggunakan pelayanan nubtannya, dan
dalam kejengkelannya ia memberitahu Allah bahwa karena alasan tadi ia lebih suka mati daripada hidup. “Jadi sekarang, ya TUHAN, cabutlah kiranya nyawaku, karena lebih baik aku mati dari pada hidup” (4:3).
Seperti dapat kita lihat, Yunus adalah seorang sombong dan menyimpan kepahitan, dan saat itu kemarahannya sedang mendidih.
Mari kita berhenti dan berpikir. Boleh jadi saya menulis kepada seorang semacam Yunus: seorang yang sombong, kaku, yang tidak bersedia tunduk, yang menunjukkan dirinya berkuasa, yang menjadi getir pada hal
yang dianggapnya sebagai tipuan permainan hidup terhadapnya. Ia sangat setia kepada alasan, sebagainnyaa adalah alasan sangat baik, tetapi ia tidak memiliki kasih dalam dirinya untuk orang yang berkebutuhan. Ia
tanpa belas kasihan; ia keras, bahkan fanatik. Jadi ia bukan orang yang baik untuk berbagi ketika Anda dalam kesusahan dan kebutuhan sebab ia tidak pernah memiliki apa pun untuk Anda. Yang menggerakkan
dia untuk bertindak adalah prinsip, bukan manusia. Ia bergairah dalam patriotismenya, atau bentuk idealisme apa saja yang ia terima, tetapi menjauhkan diri dan berhati dingin dalam relasi pribadi. Gol-gol abstrak membuat ia bergairah; perseorangan dalam kesusahan membuat ia tidak bergerak.
Kini ia marah. Ada banyak orang masa kini yang membawa tampungan besar kemarahan dalam dirinya ke mana-mana. Anda tak pernah tahu bila itu akan meledak, kapan orang itu akan menyerang dalam amarah. Seringkali
hal sepele saja dapat memicu kemarahan mereka. Jika Anda menjadi obyek dari kemarahan semacam itu, boleh jadi itu tidak berhubungan dengan diri Anda – tetapi Anda ada di sana, dan mereka sedang geram dan harus
meluapkan kegeraman itu. Dan dalam kemarahan itu mereka mengucapkan hal yang liar, tidak rasional, tidak relevan, dan senantiasa menghina. Yunus adalah seorang yang sedang marah, marah kepada Allah, meluapkan
kemarahannya melawan Allah atas apa yang telah Allah buat. Apakah Anda mengenali dia. Apakah Anda pernah bertemu dengannya? Saya pikir dalam batas tertentu semua kita adalah Yunus. Ingatlah ini sementara kita
maju lebih jauh dengan kisahnya.
(James I. Packer, Selalu Ada Harapan, ps;. 4.1.)

Be the first to comment

Leave a Reply