Harapan Ketika Saya Hampir tidak Diperhatikan dan tidak Dipercaya – Istri Manoah

Foto: idntimes

IZINKAN SAYA MENCERITAKAN SUATU KISAH YANG MUNGKIN BELUM PERNAH ANDA DENGAR. JIKA Anda pernah mendengarnya, ada baiknya untuk mengingat kembali.

Ada seorang yang memelihara seekor gorila dan mengajarnya bermain golf. Gorila itu membuat kemajuan pesat sampai pemiliknya segera menantang pemain pro di klub golf setempat untuk bertanding. Pemain profesional itu berpikir bahwa main golf dengan seekor gorila terkesan aneh, tetapi yang ia katakan kepada pemilik gorila ialah, “Baik, saya akan bertanding dengan gorilamu, asal kita taruhan uang.” Sang pemain pro tentunya berpikir bahwa ia akan dengan mudah mendapatkan uang.
Jadi mereka sepakat seratus dolar sekali main. Pada hari pertandingan mereka berjalan bersama menuju tee pertama. Pemain pro itu memberi kehormatan untuk sang gorila mulai, dan gorila pun melakukan drive pertamanya. Bola itu melayang jauh melintasi fairway dan jatuh tepat di green, sekitar empatratus yard jauhnya. Pemain golf pro itu mengedip-ngedipkan matanya dan berkata kepada pemilik gorila, “Aku tidak menyangka seekor gorila dapat membuat pukulan semacam itu. Anda pikir ia dapat melakukan kembali hal itu?” “O, ya,” jawab pemilik gorila. “Ia sangat konsisten.” Lalu pemilik gorila itu berbisik ke
telinga gorilanya, dan gorila itu kembali mengayunkan drivernya. Bola melayang jauh melintas fairway kembali jatuh di green dekat bola pertama. Pegolf profesional itu mulai berkeringat dingin dan berkata, “Aku tidak dapat melawan yang seperti itu. Aku menyerah sekarang. Ini uangmu.” Lalu mereka berjalan kembali ke clubhouse sambil si pegolf pro terus menerus memikirkan kedua pukulan gorila tadi. Akhirnya ia berkata kepada pemilik gorila, “Jika ia seperti itu memukul dari tee,
bagaimana bila ia memukul di green?” si pemilik gorila menjawab, “O, ia konsisten kog. Setiap pukulan – empatratus meter.”

Kejutan Allah

Nah maksud saya menceritakan tentang gorila pembuat pukulan sejauh empat ratus meter itu bukan untuk memberi peringatan tentang main golf atau gorila atau judi tetapi untuk mengingatkan kita semua bahwa hidup ini penuh dengan kejutan. Seperti halnya setiap lelucon yang baik mengandung kejutan, demikian juga ada berbagai kejutan yang terjadi
secara periodik dalam kehidupan setiap manusia, dan khususnya dalam kehidupan para umat Allah. Adalah cara Allah untuk menerbitkan kejutan – kejutan mencengangkan dalam dampaknya, kejutan membahagiakan dalam hasil akhirnya – berulang-ulang kali.

Hakim-hakim 13 mengisahkan bagaimana Ia melakukan ini kepada orangtua Samson, Bapak dan Ibu Manoah – demikian kita panggil mereka sebab Alkitab tidak menyebut nama sang ibu. Dalam ayat 17-20 kita membaca bagaimana Manoah bertanya siapa nama pengunjung misterius yang mendatangi rumah mereka, dan pengunjung itu tidak memberikan jawaban –
atau tepatnya memberi jawaban yang tidak jelas – sesuatu yang menimbulkan kesan, “Ada sesuatu yang lebih tentangku yang tidak dapat kamu mengerti, dan aku tidak akan memberitahukan namaku agar kamu tertolong untuk menyadari hal itu.” Pernyataan tersebut diungkapkan dalam berbagai versi terjemahan Inggris yang ada: “Nama-Ku… melampaui
pengertian” (NIV), “terlalu ajaib” (NRSV), “engkau tidak akan mengerti jika Aku memberitahukanmu” (NLT), “terlalu ajaib untuk dapat kamu mengerti” (NCV) dan seterusnya (18). Lalu Manoah dan istrinya mempersembahkan korban untuk Tuhan, yang meski tidak mereka kenal, nyatanya adalah pengunjung mereka. Dalam Perjanjian Lama berulang kali terjadi penampakan dari tokoh misterius yang diidentifikasi sebagai malaikat Tuhan, yang dibicarakan sedemikian rupa dengan memperlihatkan bahwa Ia adalah Allah yang bertindak seolah malaikat utusan-Nya sendiri. Sesaat kemudian kita menemukan Manoah sendiri berkata, “Kita telah melihat Allah!” (22). Saya pikir para teolog benar dengan menduga bahwa malaikat ini (istilah itu berarti “utusan” baik dalam Ibrani dan Yunani) adalah penampakan prainkarnasi Anak Allah, sang pribadi Firman Ilahi yang kita kenal sebagai Yesus Kristus Tuhan kita.
Boleh jadi demikian, sementara api kurban membubung, sang pengunjung naik bersamanya (demikian dikatakan dalam ay. 20), dengan kata lain, Ia hilang dari penampakan dalam kobaran api kurban itu.

Coba Anda bayangkan berdiri bersama Manoah dan istrinya dan melihat hal yang terjadi. Pengunjung yang beberapa saat sebelumnya di samping mereka tiba-tiba entah bagaimana, bergerak ke dalam kobaran api korban yang menyala. Dan secara harfiah Ia naik ke atas bersama api itu. Lalu Ia lenyap. Saya kira, itu adalah pengalaman sekejap, yang membuat mereka bertanya-tanya apakah mereka dapat memercayai mata mereka pada saat sama mereka menatap ke bawah dalam insting ketakjuban mereka. Apa yang terjadi? Mereka mengalami itu sebagai hal yang traumatis. Demikian pikir saya, akan kita lakukan andai saat itu kita hadir di sana.

Tetapi itu adalah Allah dalam tindakan, dan dari peristiwa itu kita langsung belajar bahwa mengenal Allah bukan sekadar pengertian doktrin benar tentang Allah, atau komitmen menyeluruh kepada Allah, atau persekutuan pribadi yang disiplin dengan Allah, atau kepuasan penuh kedamaian dalam Allah (meski hal itu mencakup semua hal-hal ini), juga bukan sekadar soal memfokuskan perhatian pada Kristus sebagai jalan kepada Allah dan sebagai Juruselamat, Tuhan, Sahabat, Pengantara,
Harapan dan Kesukaan Anda – meski tentu hal itu mendakup semua unsur ini juga. Dengan dan melampaui semua hal yang telah disebutkan tadi, mengenal Allah adalah soal kesiapan untuk berbagai kejutan.

Reaksi Manoah

Manoah dan istrinya memiliki kejutan traumatis. Mari kita amati itu dan memerhatikan bagaimana masing-masing mereka bereaksi kepadanya – karena reaksi mereka sangat berbeda dan sangat menyingkapkan keadaan mereka. Kita lihat Manoah lebih dulu.

Saya tahu Manoah, dan saya yakin Anda juga. Ia tipe manusia, masih familiar sampai kini. Untuknya, perilaku yang benar, sebagai ideal, adalah hakikat kehidupan. Ia sangat religius, tetapi ia memandang keseluruhan agama sebagai soal ketepatan melaksanakan peraturannya secara lahiriah, dan dengan tidak begitu menyadari apa yang tengah ia lakukan ia memperlakukan semua tuntutan agamawi itu sebagai peredam antara dirinya dan Allah, sambil memastikan bahwa Allah tidak datang
terlalu dekat. Dalam hatinya terdalam ia takut akan konsekuensi bagi hidupnya jika Allahnya, Allah Israel dan Kristen, memberinya perhatian khusus. Namun demikian, ia bertindak sebagai seorang yang bertanggungjawab penuh dan enggan mendelegasi, karena khawatir bahwa tanpa dia segalanya akan jadi tidak beres.

Apakah ia konyol? Ya. Rewel? Ya. Sombong? Lagi-lagi ya. Tidak percaya orang lain, misalnya istrinya? O ya, pasti. Lihat saja bagaimana ia berperilaku dalam kisah ini. Istrinya datang kepadanya (lihat Hkm.
13:6-7) dan berkata, “Seorang pengunjung, manusia Allah” (ia berpikir ia telah berjumpa seorang nabi) “telah datang kepadaku dan kamu tahu apa yang ia katakan? Kamu tahu kita telah melepas harapan untuk mendapat anak; ia berkata kepadaku bahwa kita akan mendapat seorang anak laki-laki.” Istri Manoah meneruskan tentang petunjuk khusus yang ia terima, yaitu untuk menyiapkan kelahiran bayi itu dengan menghindari minuman keras dan makanan yang dapat menodainya secara taurat seremonial, dan untuk tidak memotong rambut anak itu sesudah ia lahir sebab ia akan menjadi seorang nazir – yaitu, seorang yang dikhususkan untuk pelayanan khusus Allah. (Rincian tentang komitmen nazir terdapat dalam Bil. 6.) Lalu Manoah berdoa, “O Tuhan, aku mohon kepada-Mu, kiranya manusia Allah yang Kau utus kepada kami datang kembali untuk mengajarkan kami bagaimana membesarkan anak itu sesudah ia lahir” (Hkm. 13:8). Yang terlihat dari doa itu ialah Manoah tidak percaya bahwa istrinya dapat mengerti dengan benar. Manoah memandang dirinya yang berkuasa, dan ia percaya bahwa Allah harus berbicara langsung kepadanya sehingga ia berdoa dalam ungkapan yang menyiratkan:
“Engkau tahu, Tuhan, aku tidak dapat mengandalkan perkataan istriku. Dan, ini penting, jadi tolonglah manusia Allah itu datang kepadaku dan memberitahuku apa yang harus kami lakukan. Maka kelak akan kupastikan bahwa kami menaati petunjuk itu.”

Anda lihat gambarannya? Sikap Manoah bahwa “aku saja yang dapat melakukan segala hal dengan benar” adalah perendahan masif atas istrinya. Istrinya harus menanggung perlakuan dianggap tidak kompeten, tidak andal ketika melaporkan sesuatu dan tidak fit untuk dipercaya tentang keputusan atau tugas besar. Apakah istrinya bahagia dengan pernikahan itu? Saya yakin tidak. Tetapi kita tidak dapat masuk ke soal itu di sini. Kembali ke Hakim-hakim 13.

Allah sangat baik adanya, dan ketika kita berdoa, Ia menjumpai kita di mana kita ada, bahkan jika kita tidak berada di tempat seharusnya. Jadi kita membaca bahwa Allah mendengar Manoah, dan malaikat Tuhan itu datang lagi. Ia menampakkan diri lagi kepada istri Manoah. Ada suatu teguran lembut di dalamnya. Manoah telah meminta, “Tolong agar Ia datang kepadaku.” Tetapi tidak, Allah datang lagi kepada perempuan itu. Jadi perempuan itu, sebagai istri yang setia, datang ke suaminya
dan berkata, “Manusia Allah itu datang kembali. Mari temui dia.” Dan Manoah pergi lalu menjumpai sang pengunjung dan berkata dengan sangat kasar, “Andakah orang yang telah berbicara dengan istriku?” Ingat, Manoah serius tentang apa yang ia anggap benar, dan perkataannya ini mengungkapkan sejenis sikap protektif berlebihan, seolah ia berkata,
“Tidak seharusnya kamu bicara dengan istriku. Kamu harus bicara kepadaku. Tidak benar kamu memberati dia dengan menyuruhnya melakukan hal-hal yang telah ia ceritakan kepadaku.” Anda tangkap nuansanya? Ia tengah memperlakukan istrinya seperti seorang bayi! Dan Bu Manoah terkunci di dalam pernikahan semacam itu.

“Apakah Anda orang yang bicara kepada istriku?” tanya Manoah. “Ya, benar Aku,” jawab si pengunjung. Lalu Manoah bertanya dalam adat kesopanan Timur, “Ya, tentu saja perkataanmu akan terjadi. Tidak ragu tentang itu. Tetapi ketika sudah tergenapi, apa aturan yang harus dipenuhi si anak, untuk hidup dan pekerjaannya? Tolong beritahukan aku.” Malaikat Tuhan itu lalu berkata, “O, persis seperti yang telah kukatakan kepada istrimu. Istrimu harus melakukan apa yang Kuberitahukan.” Sekali lagi ucapan itu mengandung teguran lembut kepada Manoah, tetapi malaikat itu kemudian memberikan rincian
petunjuk yang Manoah tanyakan. Lalu Manoah yang kita tahu adalah seorang religius dan ingin melakukan semuanya secara tepat, berkata, “Nah, bolehkah kami mengadakan pesta untuk menghormatimu sebab engkau telah membawa kabar baik ini kepada kami?” Malaikat Tuhan lalu menjawab, “Tidak. Aku tidak akan makan dalam pesta itu. Lebih baik
kamu memberikan korban persembahan kepada Allah.” Maka Manoah melakukan itu, sebagai perayaan dan ucapan syukur ia mengadakan suatu korban besar di atas mezbah batu karang dan membakarnya.

Kegentaran Manoah

Lalu terjadilah penglihatan traumatis yang menghantam Manoah sampai kehilangan keseimbangan dan memperlihatkan bahwa agamanya hanya kesibukan sebatas kulit. Manoah tidak tahu bagaimana mengatasi realitas kunjungan ilahi, dan ia menjadi panik seperti yang dapat kita lihat dari perkataannya dalam Hakim-hakim 13:22. Manoah menyadari bahwa pengunjungnya adalah malaikat Tuhan, dan ia berseru kepada istrinya, “Celaka kita, kita akan mati! Kita telah melihat Allah!”

Saat itu Manoah telah berpegang pada sebagian kebenaran. Ia sadar baik ia maupun istrinya tidak layak bersekutu dengan Allah. Yang tercermin dalam perkataan Manoah adalah kepekaannya bahwa Allah adalah dalam kebenaran, kudus: murni, adil dan kuat, tegas tak kenal toleransi, secara mengerikan bermusuhan terhadap kejahatan dan ketidaksempurnan, tidak kenal ampun begitu Ia menemukan sesuatu yang salah. Ada kebenaran di sana – meski Manoah sebenarnya sedang menunjukkan
kepanikan yang bersifat takhayul, suatu ketakutan yang kehilangan pandangan akan fakta bahwa Allah sendiri menentukan sistem korban supaya kekuatan menghancurkan dari reaksi kekudusannya terhadap dosa tidak perlu menghancurkan umat-Nya sendiri. Tetapi apa yang Manoah katakan di sini memperlihatkan bahwa agamanya hanya setebal kulit, suatu formalitas yang didasari atas takut ketimbang persekutuan berdasarkan iman, dan agama semacam itu tidak cukup baik untuk siapa
pun. Hidup di permukaan, menjalani rutin ibadah secara konvensional tetapi tanpa usaha memikirkan secara detail tentang apa akibat atau tuntutan dari mengenal Allah dan hidup dengan Allah dalam hidup Anda, adalah hal yang tidak memadai. Itulah agama yang dihidupi Manoah ketika sesuatu yang tak pernah ia mimpikan muncul dari langit biru dan yang membuat kejutan ke sistem spiritualnya, agamanya sama sekali tidak berguna. Harapan terbang. Ia berpikir bahwa kedua mereka akan
mati – dan mengatakan demikian, sambil mengajak istrinya untuk setuju dengannya.

Faktanya ialah bahwa baik secara manusiawi maupun surgawi, Manoah telah kehilangan akal. Orang selalu demikian ketika di bawah kedaulatan Allah, terjadi keadaan yang mengerikan dan kesusahan yang traumatis yang tiba-tiba saja muncul tanpa mereka duga sebelumnya. Di saat-saat mirip pemikiran Manoah itu, orang cepat menyimpulkan bahwa fakta peristiwa itu untuk mereka menunjukkan bahwa Allah telah berpaling dari mereka. “Saya pikir Ia akan melindungiku dari semua
gejolak dan memberikanku kehidupan yang tenang dan aman, tetapi saya keliru. Nyatanya Ia tidak mengasihi saya. Saya terkutuk untuk mati. Terang telah lenyap. Semua harapanku lenyap.” Pemikiran logis? Bukan. Pemikiran emosional? Ya. Pemikiran alami? Untuk banyak orang yang tekun di dalam dan sekitar gereja, mereka yang boleh kita sebut para
anggota klub Manoah, lagi-lagi ya. Agama warisan tanpa pengenalan langsung akan Allah hanya akan dinilai sebagai penghasil kestabilan, dan karenanya akan rentan terhadap segala bentuk goncangan.

(James I. Packer, Selalu Ada Harapan, pl. 3.1)

Be the first to comment

Leave a Reply