Pasal 4 dan 5 Kitab Wahyu utamanya adalah panorama suasana penyembahan. Pasal 4 ditujukan kepada Allah dalam konteks Penciptaan, pasal 5 ditujukan kepada Anak Domba yang menang dalam konteks Penyelamatan atau tepatnya Penciptaan Baru. Maka kedua pasal ini menjadi sangat sentral dan vital bagi pembentukan dan pengelolaan semua tata ibadah gerejawi dalam beragam konteksnya masa kini.
Pertama, siapa saja terlibat dalam penyembahan kepada Anak Domba itu?
Ketika Ia mengambil gulungan kitab itu, tersungkurlah keempat makhluk dan kedua puluh empat tua-tua itu di hadapan Anak Domba itu (Wahyu 5:8)
Pihak pertama yang disebutkan dalam suasana penyembahan kepada Anak Domba yang menang itu adalah empat makhluk dan duapuluh empat tua-tua. Siapakah mereka? Empat makhluk itu menurut Wahyu 4:8 adalah yang seperti singa, seperti lembu, seperti manusia dan seperti burung nasar – dengan kata lain, seluruh makhluk hidup dalam realitas ciptaan Allah tersungkur menyembah Ia yang layak dan mampu membuka meterai-meterai kitab Allah. Lebih lanjut ada duapuluh empat tua-tua yang juga menyembah Anak Domba yang menang. Tafsiran paling kuat mereka adalah dua belas suku Israel – maksudnya umat Allah Perjanjian Lama, dan dua belas rasul Yesus – maksudnya umat Perjanjian Baru. Kedua umat ini adalah satu umat yang dalam pengakuan iman rasuli kita ikrarkan sebagai “Gereja yang kudus dan am, persekutuan orang kudus.” Kelompok ketiga yang terlibat dalam penyembahan tersebut adalah “mereka yang telah dibeli dengan darah-Nya, dijadikan umat imamat rajawi kepunyaan Allah dari tiap-tiap suku, bahasa, kaum dan bangsa. Kelompok keempat yang ikut serta dalam penyembahan itu adalah “makhluk, tua-tua dan berlaksa-laksa dan beribu-ribu laksa malaikat.” Penyembahan semesta seluruh isi bumi dan angkasa dengan segala makhluknya, semua makhluk supernaturan yang setia kepada Allah, dan semua umat internasional terlibat penuh mempersembahkan penyembahan mereka kepada Anak Domba Allah yang Singa Yehuda itu.
Kedua, apa saja yang mereka lakukan? Pasal ini menyebutkan 1) beragam alat musik yang kontemporer zaman itu, yaitu – kecapi. Dan mengacu ke Mazmur, juga rebana, sangkakala, ceracap, gambus, seruling. Mengingat sejarah sudah bergulir jauh dan menghasilkan banyak alat musik, maka tentu akan ada juga organ, piano, harpa, biola, violin, oboe, tambur, klarinet, trombon, dlsb. 2) mereka menaikkan doa-doa. Pada Wahyu 5:8, doa-doa umat ditampung dalam bokor emas, dan menurut Wahyu 8:1-5 cawan emas berisi doa-doa umat itu adalah isi dari meterai ketujuh dan itu merupakan persembahan yang memperkenan Allah, tetapi kemudian isinya dituangkan malaikat ke bumi dan menyebabkan berbagai gejala dan bencana – guruh, halilintar, gempa bumi. Bahwa doa-doa adalah bagian utama dari penyembahan harusnya kita praktikkan dalam liturgi gerejawi dan liturgi keseharian kita. Dan bahwa doa-doa kita ditampung Allah dan menjadi bagian dari hal yang berkenan kepada-Nya, kiranya menjadi penyemangat dan pembentuk suasana dan isi doa-doa kita. 3) mereka tersungkur di hadapan Anak Domba yang Menang itu. Mereka bukan duduk bersilang kaki, bukan melompat-lompat seperti orang lepas kendali atau kerasukan, bukan semua lainnya ekspresi jasmani yang menunjukkan pengagungan dan pemuliaan Dia sambil menegaskan perendahan, kebersyukuran, ketundukan kita sebagai penyembah.
Apa bentuk dan isi nyanyian mereka? Nyanyian mereka disebut sebagai “nyanyian baru.” apakah itu berarti bahwa di surga nanti ada nyanyia-nyanyian yang secara teknik menyanyi, melodi lagu, irama, dampaknya serba baru, jauh melampaui apa yang kini kita kenal dengan nyanyian gerejawi bumiah? Apakah itu mengimplikasikan kita harus terus-terusan mencipta lagu-lagu baru supaya tidak bosan dengan lagu-lagu lama, dan supaya menzaman? Apakah nyanyian penyembahan yang benar harus bercorak “barat” dan dari abad 15-19-an? Apakah nyanyian baru itu melibatkan juga segala penggunaan alat musik dari segala zaman, jenis musik dari segala suku, bahasa, kaum dan bangsa? Apakah nyanyian penyembahan yang benar itu berfokus pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan kita? Pertanyaan menarik! Dan, penting untuk mendapat jawaban yang benar. Yang jelas isi nyanyian penyembahan itu, demikian:
“Kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah, Yang Mahakuasa, yang sudah ada dan yang ada dan yang akan datang.” Dan setiap kali makhluk-makhluk itu mempersembahkan puji-pujian, dan hormat dan ucapan syukur kepada Dia, yang duduk di atas takhta itu dan yang hidup sampai selama-lamanya, maka tersungkurlah kedua puluh empat tua-tua itu di hadapan Dia yang duduk di atas takhta itu, dan mereka menyembah Dia yang hidup sampai selama-lamanya. Dan mereka melemparkan mahkotanya di hadapan takhta itu, sambil berkata: “Ya Tuhan dan Allah kami, Engkau layak menerima puji-pujian dan hormat dan kuasa; sebab Engkau telah menciptakan segala sesuatu; dan oleh karena kehendak-Mu semuanya itu ada dan diciptakan.” (Penyembahan tentang tema Penciptaan – Wahyu 4:8-11).
Mereka menyanyikan suatu nyanyian baru katanya: “Engkau layak menerima gulungan kitab itu dan membuka meterai-meterainya; karena Engkau telah disembelih dan dengan darah-Mu Engkau telah membeli mereka bagi Allah dari tiap-tiap suku dan bahasa dan kaum dan bangsa. Dan Engkau telah membuat mereka menjadi suatu kerajaan, dan menjadi imam-imam bagi Allah kita, dan mereka akan memerintah sebagai raja di bumi.” Maka aku melihat dan mendengar suara banyak malaikat sekeliling takhta, makhluk-makhluk dan tua-tua itu; jumlah mereka berlaksa-laksa dan beribu-ribu laksa, katanya dengan suara nyaring: “Anak Domba yang disembelih itu layak untuk menerima kuasa, dan kekayaan, dan hikmat, dan kekuatan, dan hormat, dan kemuliaan, dan puji-pujian!” Dan aku mendengar semua makhluk yang di sorga dan yang di bumi dan yang di bawah bumi dan yang di laut dan semua yang ada di dalamnya, berkata: “Bagi Dia yang duduk di atas takhta dan bagi Anak Domba, adalah puji-pujian dan hormat dan kemuliaan dan kuasa sampai selama-lamanya!” Dan keempat makhluk itu berkata: “Amin”. Dan tua-tua itu jatuh tersungkur dan menyembah. (Wahyu 5:9-14)
Ketiga mereka tersungkur di hadapan Anak Domba yang Menang itu. Mereka bukan duduk bersilang kaki, bukan melompat-lompat seperti orang lepas kendali atau kerasukan. Bukan semua kecuali ekspresi jasmani dari sikap hati yang menunjukkan pengagungan dan pemuliaan Dia sambil menegaskan perendahan, kebersyukuran, ketundukan kita sebagai penyembah.
Isi dari nyanyian-nyanyian penyembahan itu bicara tentang penciptaan, pemeliharaan, dan pengorbanan Anak Domba yang menyelamatkan orang percaya. Dan seiring nyanyian penyembahan itu, mereka mempersembahkan: 1) kuasa, dan 2) kekayaan, dan 3) hikmat, dan 4) kekuatan, dan 5) hormat, dan 6) kemuliaan, dan 7) puji-pujian – tujuh aspek / unsur, sepenuh, segenap, sempurna semua isi, ungkapan, ekspresi, melodi, gaya hidup, ucapan, perbuatan, pengabdian – semua-muanya, kita persembahkan bagi Dia yang telah lebih dulu mempersembahkan darah-Nya menjadi nilai pembelian / penebusan kita. Kiranya Roh Kuat-Kuasa Kesejatian menolong kita / saya untuk berciri demikian sepanjang kehidupan ini. Amin. Maranatha. Amin.
Leave a Reply
Anda harus masuk log untuk mengirim sebuah komentar.