Demi didengar Daniel, bahwa surat perintah itu telah dibuat, pergilah ia ke rumahnya. Dalam kamar atasnya ada tingkap-tingkap yang terbuka ke arah Yerusalem; tiga kali sehari ia berlutut, berdoa serta memuji Allahnya, seperti yang biasa dilakukannya. Lalu orang-orang itu bergegas-gegas masuk dan mendapati Daniel sedang berdoa dan bermohon kepada Allahnya. Kemudian mereka menghadap raja dan menanyakan (terjemahan lain: berbicara / mengadukan) kepadanya tentang larangan raja: “Bukankah tuanku mengeluarkan suatu larangan, supaya setiap orang yang dalam tiga puluh hari menyampaikan permohonan kepada salah satu dewa atau manusia kecuali kepada tuanku, ya raja, akan dilemparkan ke dalam gua singa?” Jawab raja: “Perkara ini telah pasti menurut undang-undang orang Media dan Persia, yang tidak dapat dicabut kembali.” Lalu kata mereka kepada raja: “Daniel, salah seorang buangan dari Yehuda, tidak mengindahkan tuanku, ya raja, dan tidak mengindahkan larangan yang tuanku keluarkan, tetapi tiga kali sehari ia mengucapkan doanya.” Setelah raja mendengar hal itu, maka sangat sedihlah ia, dan ia mencari jalan untuk melepaskan Daniel, bahkan sampai matahari masuk, ia masih berusaha untuk menolongnya. — Daniel 6:11-15
Daniel merespons peraturan baru yang mengatur selama 30 hari orang tidak boleh beribadah kepada sesembahan mana pun kecuali kepada / melalui Darius dengan prinsip sama namun wujud beda dari pasal-pasal sebelumnya. Dan ini memperlihatkan kedalaman dan kesejatian hubungan Daniel dengan YHWH. Di pasal 2 ia meminta untuk diberi kesempatan mencari isi dan arti mimpi Nebukadnezar – supaya kehidupan semua para berhikmat zaman itu tidak dibantai sia-sia secara tidak adil. Di pasal ini ia tidak mengutarakan reaksi verbal apa pun – baik pertanyaan, permohonan atau apa saja – kecuali, ia terus saja melangsungkan habit doa kesehariannya sebagaimana biasa. Di pasal 3, ketiga setiawan tertangkap basah karena tetap berdiri tidak sujud menyembah patung Nebukadnezar, sementara lautan manusia lainnya di sekeliling mereka sujud menyembah. Mereka kemudian mengucapkan komitmen percaya dan pengharapan yang teguh kepada YHWH ketika diberi kesempatan untuk tidak dibuang ke dapur api asalkan mengubah sikap dan sedia menyembah patung Nebukadnezar. Di pasal ini, Daniel tertangkap basah dalam posisi sedang menyembah ke arah Yerusalem dimana pernah berdiri Bait Allah. Kendati Bait sudah tinggal reruntuhan, Allah yang hidup tetap berdaulat dan kepada-Nya Daniel mengarahkan dan menambatkan hati, tunduk, mengabdi dan mengasihi. Daniel memang tidak diberi kesempatan dan memang juga hukum 30 hari mediasi ibadah melalui raja Darius sudah terlanjur dibuat, Daniel juga tidak mengutarakan komitmen percaya dan pengharapan secara lisan di depan orang lain. Ia hanya – hanya yang sudah mengakar teguh dan tidak mungkin lagi tercerabut atau terguncangkan oleh apa pun, akar-akar yang sudah ditanamkan, dirawat, dipeliharanya sejak masa sangat dini – kini, ia mengutarakan kelekatannya pada yang di keluarga-keluarga Israel sejak zaman Musa telah diajarkan – Shema Yizrael, YHWH Elohim, Ekhad YHWH – Dengarlah Israel, Allah TUHAN kita adalah YHWH Esa; kini dalam keterjepitan dan posisi kritis dengan gua berisi singa-singa buas dengan mulut menganga menanti, ia hanya lanjut berlutut, berdpa, memuji Allahnya yang Esa itu tiga kali sehari, di dekat jendela lantai atas rumahnya.
Terbongkarlah skandal Daniel kini, bahwa apa yang ia lakukan di istana dan sebagai salah seorang koordinator dari tiga yang mengepalai 120 orang kepala pemerintahan kerajaan Media-Persia itu, ternyata berasal, bersumber, berakar dari kebiasaan pribadi di ruang rumahnya itu, yaitu berdoa, beribadah, memuji YHWH Elohim. Yang aneh dan mengherankan untuk kita adalah tidak ada nada atau frekuensi berubah pada ibadah pribadinya itu. Tidak ada kesan panik, kepepet, menjadi lebih gencar berdoa, lebih bertalu-talu atau bertele-tele memohon, lebih demonstratif atau sebaliknya memprivatisasi saja dengan menutup jendela dan membuat spiritualitas pribadinya tidak mengusik orang lain dan kemudian dijadikan sasaran tembak para pembencinya. Tidak meningkat atau menurun, tidak berlebih atau berkurang, tidak dipengaruhi oleh sikon – ia beribadah seperti yang biasanya ia lakukan selama ini. Nas tidak mengatakan apa saja isi doanya. Dalam ayat 11 ada tambahan kata dari yang dicatat di ayat 10, yaitu kini ia berdoa dan bermohon. Wajar bahwa ia juga memohon yang terkait dengan sikon yang sedang dihadapinya itu. Mungkin memohon kemurahan Allah untuk para rekan penguasa yang jahat itu sebagaimana yang di Perjanjian Baru diajarkan Yesus dalam Khotbah di Bukit – kasihi dan doakan musuhmu. Mungkin juga ia mengutarakan seperti tiga rekannya komitmen dan permohonan dalam penyerahan diri kepada penyelenggaraan kedaulatan Allah. Yang tidak jelas detailnya, yang jelas sikap dan kebiasaannya tidak berubah-ubah.
Jadi, Daniel tertangkap basah dalam spiritualitas aslinya, akar dari integritas dan keunggulannya dalam berbagai aspek pemerintahan dan kebijakan. Lalu, dengan gembira dan yakin para pembencinya mengadukan pelanggaran Daniel itu kepada raja. Raja yang memiliki hubungan dekat, percaya dan menghargai kehidupan Daniel menjadi sangat menyesal dan berupaya dengan segala cara agar ada jalan Daniel bisa diluputkan. Tetapi, kelicikan para penguasa jahat itu sepertinya tidak mungkin lagi digagalkan. Maka mereka dengan rasa puas menunggu saat Daniel diterjang, dicabik, dilahap oleh singa-singa buas… dengan tidak menyadari, ada realitas riil di balik ibadah vital Daniel itu, ada skenario dan AKAL yang tidak diperhitungkan oleh semua yang berakal jahat.
Pelajaran untuk masa kini:
1) Di panggung drama sejarah Yehuda, Daniel dkk. waktu itu dan di panggung sejarah dunia dan kehidupan pribadi kita kini, siapakah yang sesungguhnya berperan menentukan? Siapakah yang kita harap tampil sebagai pemeran utama? Allah pemeran utamakah di panggung politik waktu itu atau “hanya” di latarbelakang dengan orang-orangnya yang diberi kehormatan menjadi pemeran utama?
2) Semua orang percaya pasti berteori bahwa kerohanian dan keseharian serta semua aspek kehidupan terhubung sebab-akibat. Namun, ketika sikon kritis terjadi, sungguhlah teori dan konsep itu nyata berakar teguh dan semakin mewujud nyata?
3) Bagaimanakah supaya sikon realitas kasat mata sungguh kita perhitungkan dan perlakukan dengan benar tetapi bukan sebagai penentu atau pengatur habit spiritualitas kita? Mana paling selamat: dekat Tuhan meski ada ancaman atau menyenangkan manusia meski harus mengubah setia kepada Tuhan?
4) Pemuridan masa kini apakah hanya menekankan perlindungan, berkat, penyertaan Tuhan, atau juga membukakan risiko ditertawakan, diejek, dianggap sempit dan fanatik, dan puncaknya dianiaya karena komitmen imen dan etis kepada Tuhan?
Leave a Reply
Anda harus masuk log untuk mengirim sebuah komentar.