Dampak Tulisan dan Media Cetak

Apa yang membedakan antara kebudayaan pramodern dan modern? Jawabnya adalah keaksaraan! Ditemukannya “teknologi” menulis dan teknologi cetak adalah tonggak penting peralihan dari kebudayaan primitif ke modern. Dalam masyarakat yang keaksaraan belum membudaya kita temukan pola pemikiran, relasi dan wawasan hidup yang berbeda dari masyarakat yang keaksaraan sudah terbiasa. Bukan hanya apa isi dari tulisan dan media cetak yang berpengaruh dalam banyak hal, juga media tulisan dan cetakan itu sendiri memengaruhi kepribadian dan kebudayaan luas termasuk penghayatan dalam Kekristenan.

Sedikit cerita masa kecil saya. Sejak SR (kini SD) kelas 1 s/d 5 saya dititip oleh orangtua untuk tinggal bersama keluarga asal ayah. Kakek saya seorang yang memerhatikan situasi politik dan ia berlangganan semua suratkabar yang terbit masa itu – Sin Po, Keng Po, Bintang Timur, Pedoman, Star Weekly – dan karena ia buta saya diberi tugas membacakan semua itu, tiap hari! Mulai dengan membacakan judul lalu jika beliau tertarik diteruskan dengan membacakan isinya. Pengalaman itu sangat berpengaruh pada beberapa sisi positif dan negatif dalam kepribadian saya seterusnya. Antara lain, negatifnya, saya cenderung lebih suka menyendiri / relasi one-to-one daripada di keramaian, lebih individualis, dan lebih menyukai literatur ketimbang media digital. Tulisan, media cetak memiliki kuasa untuk menstrukur baik kepribadian, juga wawasan dunia komunitas. Dapat dipastikan bahwa kepribadian, pola relasi dan wawasan dunia generasi milenial seterusnya yang lebih dini mengenal media digital akan jauh berbeda bahkan bertolak belakang dari dampak keaksaraan yang terjadi pada saya.

Mari berandai-andai. Andaikan Tuhan Allah tidak memerintahkan firman-firman-Nya untuk dicatat oleh Musa, para nabi, pemazmur, para murid, Paulus, dlsb. baik di loh batu, di lembaran kulit, di perkamen, tetapi hanya berupa kisah-kisah dan pesan-pesan yang diteruskan secara lisan dalam komunitas iman dari generasi ke generasi, akan bagaimana keadaan iman, pewartaan Injil, pola ibadah, pola pastoral kita, kira-kira? Apakah akan ada pola pembinaan seperti SaTe, KTB, khotbah eksposisi, dst? Dalam konteks lebih luas tentunya, andai kebudayaan primitif tetap primitif dan tidak pernah berkembang teknologi pembuatan kertas, pena, mesin cetak, akan jadi apa para individu dan masyarakat luas? Jika Anda pengajar atau pembina pasti menyadari bedanya mengajar pada pelajar yang datang dari budaya lisan daripada yang datang dari budaya tulisan / cetakan.

Teknologi cetak sebenarnya sudah ditemukan di Tiongkok sekitar 800 tahun mendahului temuan mesin cetak tahun 1400an di Eropa. Tetapi mengapa kebudayaan Tiongkok tidak bisa semaju Barat sebelum pengaruh Barat masuk ke Tiongkok / Timur? Kita akan mengerti karena fakta bahwa budaya Tiongkok tidak mengenal abjad (sistem fonetik melainkan menuliskan karakter yang bersifat idiografis. Setahu saya sebelum disederhanakan oleh pemerintah komunis beberapa dekade yang lalu, tulisan Tionghoa itu memiliki lebih dari 80,000 karakter. Dan meski sudah disederhanakan masih mendekati 10,000 karakter. Dan untuk dapat membaca menulis yang secukupnya paling tidak Anda harus mengetahui 1,000an karakter. Sedangkan abjad-abjad latin atau ibrani hanya 26 huruf!

Ambil contoh nama saya tanpa marga dalam bahasa Tionghoa berarti Tuhan Melindungi – Thian Pow – dalam karakter Tionghoa adalah 天保. Thian: 天 adalah gambaran untuk langit, dan Pow: 保 adalah gambar ibu yang memeluk anak. Saya baru tahu penjelasan tentang arti karakter tersebut ketika berkunjung ke museum di TaiPei yang di dinding masuk mencantumkan 100 karakter Tionghoa tertua dan di antaranya dua karakter yang dipakai untuk nama saya ini. Ketika kita membaca kata melindungi atau menjaga – huruf-huruf m e l i n d u n g i – itu masing-masing tidak memberi gambaran visual. Sedangkan 保 secara visual memperlihatkan yang bagian kiri adalah ibu yang tangannya mengarah ke sebelahnya, dan yang di sebelahnya adalah si anak. Jadi gambar ibu memeluk anak itu menjadi gambaran untuk ide “melindungi.” Artinya, tulisan abjad adalah kumpulan bentuk dan bunyi untuk menyusun arti secara abstraksi, linear, sekuensial sedangkan tulisan Tionghoa adalah penggambaran realitas secara piktorial, holistik, visual dan intuitif. Kebudayaan abjad lebih individualistik, rasional, analitis, abstrak sedangkan kebudayaan Timur – yin-yang – lebih komunal, emotif, holistik, konkrit.

Jelas bahwa mencetak mempublikasi begitu banyak karakter yang masing-masingnya unik dan berbeda karena merupakan penggambaran (ideografis) akan jauh lebih sukar ketimbang mencetak tulisan. Lagipula sifat tulisan ideografis memang lebih serasi dengan pola komunikasi yang berlangsung dalam kebudayaan primitif yaitu komunal, keterlibatan langsung, riil-konkrit dan holistik. Kini dengan meletupnya teknologi informasi digital yang juga lebih piktorial, emotif, networking, bisa kita simpulkan bahwa generasi yang makin melekat media digital semakin mirip dengan pola nilai, wawasan dan relasi yang berlangsung dalam masyarakat pramodern.

Orang Ibrani menemukan tulisan aleph – beth; orang Yunani menemukan tulisan alfa – beta; dan ini merupakan lompatan amat besar dalam kebudayaan. Tetapi berhubung belum ditemukan mesin cetak dan penulisan masih memakai bahan yang mudah rusak (tembikar, batu, kulit, papyrus) maka praktis baru sesudah secara kebetulan ditemukan teknologi cetak oleh Johannes Gutenberg, ledakan pengaruh media cetak itu terasa sampai ke abad ini. Hal yang kurang dibicarakan adalah bahwa Reformasi hampir tidak mungkin terjadi jika bukan karena tepat waktunya Martin Luther dan para reformator lain hidup di arus Renaissance dengan semangat ad fontes (kembali ke sumber yang sejajar dengan slogan Reformasi “Back to the Bible). Reformasi bisa menjadi sebuah gerakan luas dalam waktu relatif cepat disebabkan buku-buku dari abad pertengahan dan naskah asli Alkitab mulai dipelajari lebih serius serta tulisan para reformator dan terjemahan Alkitab oleh Luther dapat dicetak dan disebarluaskan ke seluruh Eropa.

Beberapa dampak media cetak

Pertama, tulisan yang dicetak bukan saja menuliskan ide-ide secara abstrak, linear, rasional tetapi pada dasarnya ide-ide seakan “diperangkap”/diabstraksikan ke dalam untaian huruf, kata, kalimat. Dan dampak pertama dari media cetak adalah kebudayaan lisan berubah menjadi kebudayaan baca. Dalam kebudayaan lisan tidak ada sarana memadai untuk memerangkap ide di luar memori pribadi dan komunal. Pengajaran, pendidikan dilakukan secara lisan dalam tradisi mengulang-ulang narasi dan di dalam berbagai upacara. (Ingat tata cara pelaksanaan Perjamuan Pesakh di Perjanjian Lama yang juga diteruskan dalam gereja mula-mula – yaitu Perjamuan Kudus, itu dilakukan dalam suasana penarasian tindakan ajaib Allah untuk umat). Dengan adanya media cetak maka individu-individu bisa mengakses buku dan pengetahuan dan informasi di dalamnya serta secara individual bebas membaca, memikirkan, merefleksikan isi buku itu. Tindakan secara sendiri-sendiri menjadi individualisme. Sebelum adanya media cetak, jatidiri individu tidak berdiri sendiri tetapi terkait dengan keluarga dan suku asalnya. Karena tulisan dan cetakan memungkinkan individu belajar secara mandiri, individu menjadi diri yang otonom dan jatidiri yang berkaitan dengan komunalisme keluarga dan suku menjadi menipis. Juga kecenderungan berpikir linear-rasional-abstraksi itu menyebabkan kognisi diunggulkan melebihi afeksi – sampai ada pendapat bahwa inti kesegambaran-keserupaan manusia dengan Allah itu adalah akalnya. Pandangan yang sangat rasionalistis ini – Cartesian, pengaruh pandangan Rene Descartes: “Aku berpikir, maka aku ada” – ini sejajar pengaruh media cetak.

Terlepas dari adanya kebaikan dan manfaat dari beberapa disiplin kerohanian berikut ini, coba pikirkan bukankah penekanan pada pertobatan pribadi, doa pribadi, baca Alkitab pribadi, tanggungjawab rohani pribadi, dst. adalah pengaruh individualisme dari dampak media cetak. Dan apabila itu dilepaskan dari perlunya kerohanian yang komprehensif-holistik ketubuhan-kerohanian dalam keluarga rohani (Tubuh Kristus) yang riil-dinamis, maka penekanan pada aspek pribadi-individualis tersebut menjadi berbahaya sebab tidak balans atau bahkan ekses ke satu sisi kebenaran saja. Lebih bahaya lagi apabila pengampunan dan pembenaran dimengerti sebagai transaksi, fokus kehidupan Kristen hanya pada moralitas individual, ibadah diberlakukan dan ditata sebagai semacam kuliah dengan penataan ruang gereja seperti ruang kelas, dan fokus / puncak ibadah adalah khotbah. Maka penghayatan akan iman, Injil dan Gereja oleh pengaruh media cetak telah mengalami pengerdilan.

Be the first to comment

Leave a Reply