Dampak Tulisan dan Media Cetak (bagian 3)

Dampak ketiga tulisan dan media cetak adalah pola pikir menjadi lebih abstraksi. Dalam kebudayaan lisan penyimpanan dan penerusan pengetahuan sepenuhnya melalui metode menghafal, memperkatakan ulang. Komunikasi dalam masyarakat pramodern menjadi sangat konservatif, berulang, dan berkaitan dengan hal praktis-konkrit. Tulisan dan cetakan memperkenalkan cara lain penyimpanan pengetahuan yang tidak bergantung pada penyebutan berulang-ulang. Dengan mencatat ide dan informasi ke luar diri ke dalam media tulis dan cetak dimungkinkanlah proses abstraksi, sambil tradisi (lisan) dan komunalisme menjadi kurang berarti. Lagi pula abjad sendiri beda sifat dari karakter idiografis, tidak berhubungan dengan realitas – tulisan fonetik itu pada dasarnya adalah medium abstrak.

Ini tentu juga berakibat pada iman dan konsep teologi. Sebelum era cetak / pencerahan / rasionalisme / Reformasi, ibadah berpusat pada praktik sakramen – baptisan dan perjamuan kudus. Tetapi dengan menguatnya dampak tulisan dan media cetak yang meningkatkan kapasitas berpikir abstrak mimbar menggeser altar dan sakramen. Khotbah menjadi puncak dan pusat ibadah dalam gereja-gereja Reformasi. Khotbah Protestan juga mencerminkan pola pikir modern – panjang, abstrak, sarat analisis dan penjelasan. Bahkan tema-tema pengkhotbah besar seperti Jonathan Edwards atau George Whitefield terdengar mirip judul disertasi atau tesis.

Dengan sendirinya bukan saja pengkhotbahnya harus intelektual, pendengarnya pun harus memiliki kapasitas cerna secara intelektual minimal terkondisi menjadi intelektual juga. Konon khotbah mereka (JE, GW, dll.) bisa sampai empat jam lamanya. Dan bayangkan orang mendengar khotbah sepanjang sesarat itu, bukan saja menimbulkan pertanyaan bagaimana bisa tahan? Tetapi juga bagaimana kenyataan praktisnya sesudah mendengarkan sebegitu banyak uraian dan konsep teologis? Dampak lain pada teologi Protestan adalah perhatian penuh tumpah pada memiliki dan mempertahankan doktrin yang benar – orthodoxy. Kerap dengan mengorbankan orthopraxy! Dan pihak mana pun yang tidak menerima atau menyetujui proposisi-proposisi abstrak yang sama langsung diposisikan sebagai bidat atau sesat. Alkitab kemudian dijadikan sumber untuk menyediakan dukungan doktrin – sehingga dalam kebanyakan buku teologi sistematika ayat-ayat Alkitab hanya dijadikan rujukan dengan kebanyakannya kurang pendalaman eksegesis dan belum tentu direnungkan dan diendapkan dalam individu yang mempelajari teologi ybs. Teologi sistematika adalah sistem kepercayaan tentang Allah, Alkitab, Yesus Kristus, keselamatan, Gereja, yang pada gilir berikutnya diandaikan akan memengaruhi cara kita berinteraksi nyata dalam dunia. Pada kenyataannya ekstrim menekankan doktrin justru berbalik memiskinkan pengalaman rohani, relasi antar orang beriman, dan kualitas kehidupan bergereja / beribadah. Terlalu mengutamakan doktrin sampai melupakan kebutuhan sosial psikologis jemaat dan dunia sekitar.

Dampak keempat adalah peningkatan pola pikir linear – rasional. Ada anggapan bahwa Era Akal (Age of Reason) adalah dampak dari Reformasi karena secara filosofis – teologis menempatkan alam sebagai objek yang dapat diteliti dan diolah oleh Akal manusia. Apabila dikaji lebih kritis anggapan itu terlalu simplistik dan tidak memperhitungkan pengaruh hebat dari media cetak. Dengan menguatnya pengaruh dampak media cetak dalam pola pikir abstrak, linear – rasional maka itu menjadi kekuatan prinsip dalam berkembangnya keilmuan, juga dalam mempelajari Alkitab. Lalu rasul Paulus menjadi primadona dalam berteologi – sebab sebagai rasul yang lebih terdidik dengan latarbelakang baik Yunani di Tarsus maupun Yahudi di Yerusalem / Gamaliel, tulisan-tulisan Paulus jauh lebih linear – rasional – konseptual ketimbang tulisan Petrus, Yakobus atau Yohanes, (Kendati dalam analisis lebih teliti tulisan Paulus tidak bisa sepenuhnya diperlakukan sebagai rangkaian proposisi yang diabstraksi lepas dari konteks budaya, tempat dan zamannya serta aplikasi ke dunia riil).

Apabila ini didesak ke ekstrim terjadilah pengerdilan dalam penghayatan iman, Injil dan praktik kehidupan Gereja. Misalnya, iman dipahami sebagai menerima seperangkat proposisi yang cukup dengan dipahami dan disetujui membuat orang mengalami keselamatan. Lalu sisi-sisi misteri dari Alkitab dan Injil cenderung diperlakukan sebagai ancaman bagi iman dan Injil. Akibatnya bukan saja kekayaan Alkitab disusutkan sampai ke level agar bisa dijadikan proposisi yang dimengerti, penerimaan dan pengalaman iman pun menjadi miskin. Perhatikan ilustrasi populer dalam PI berikut:

Keselamatan / Kehidupan Kristen digambarkan sebagai rangkaian Kereta Api.

Lokomotif: FAKTA ß Gerbong 1: Iman ß Gerbong 2 (Buntut): Pengalaman / Perasaan

Tersirat dalam ilustrasi itu bahwa Iman adalah identik dengan penerimaan / pengertian akan penjelasan fakta-fakta teologis. Dan perasaan diasumsikan sebagai aspek kemanusiaan yang tidak berguna dan hanya boleh ditempatkan di ekor. Ilustrasi ini tidak menampung secara fair bahwa baik rasio maupun perasaan sama sudah dicemarkan oleh dosa, dan perasaan seperti halnya rasio adalah kapasitas kemanusiaan kita yang berguna dan kerap menjadi pintu masuk karya Allah sesuai ciri khas kepribadian orang yang berbeda-beda. Ilustrasi ini memperkenalkan asumsi yang tidak alkitabiah yaitu mengidentikkan inti kemanusiaan dengan rasio dan iman dengan penerimaan nalar serta penginjilan dengan penjelasan dan pembuktian. Padahal Tuhan ingin menyelamatkan seluruh kemanusiaan kita – tubuh-roh, afeksi-emosi-rasio-imajinasi-kreatifitas, individual-komunal-kultural. Injil disampaikan dengan kuat-kuasa Roh yang menempelak, meyakinkan dan menggerakkan orang seutuhnya untuk berespons sepadan kepada Yesus Kristus,

Terakhir yang saya pikir perlu disorot adalah penerimaan akan otoritas Alkitab di kalangan Protestan – Injil seringkali melalui penyajian bukti-bukti. Evidence – bukti – menjadi alat untuk menegaskan otoritatifnya Alkitab, keilhaman Alkitab, normatifnya Alkitab, dst. Tentu saja Alkitab penting dan menjadi sumber bagi isi iman, kerohanian dan praktik gerejani kita. Tanpa disadari apologetika tentang keandalan Alkitab menjadi sangat modern dan sebenarnya pendekatan yang sama juga dipakai dalam teologi liberal. Bedanya adalah injili mengandalkan rasio untuk membela kebenaran Alkitab, liberal menjadikan rasio untuk menyerang Alkitab. Keduanya sama berlandasan rasionalisme. Dan pendekatan evidential dan rasional ini sudah jelas bukan berasal dari akar budaya pramodern asal muasal Alkitab diilhamkan, lebih juga tidak masuk ke para penerima pascamodern yang sedikit banyak lebih mirip pola cerap primitif pramodern ketimbang modern. Untungnya baik Luther maupun Calvin tidak seekstrim itu. Luther mengakui di dalam Alkitab sendiri ada kekuatan untuk membuktikan kebenarannya, dan Calvin merujuk kepada prinsip kesaksian Roh kepada roh kita yang meneguhkan kebenaran dan keandalan Alkitab. Bersyukur bahwa dalam gelombang Pentakostalisme – Karismatik selanjutnya Roh bukan saja berfungsi sebagai peneguh Alkitab tetapi juga sebagai pewujud kuasa Alkitab dialami orang percaya.

Kesimpulannya media tulisan dan cetak tidak netral. Di dalamnya terdapat dampak yang membentuk manusia, kebudayaan, iman, penginjilan dan praktik kegerejaan. Karena itu bukan saja sisi negatifnya perlu diperhatikan dan dikendalikan dengan baik, sisi positifnya pun tidak boleh dibiarkan menjadi ekstrim yang berbalik membawa dampak buruk. Iman tentu mencakup aspek rasional tetapi tidak boleh menjadi rasionalistis atau melupakan emosi, afeksi, volusi, komunal; Injil tentu mencakup poin-poin propositional tetapi tidak boleh melupakan sifat naratif dan sirkular seperti yang ditampilkan dalam empat injil. Terutama juga tidak boleh mengabaikan peran Roh Kudus dalam menghidupkan kebenaran firman menjadi sungguh benar, bermakna dan berdampak dalam kehidupan; Gereja boleh mengembangkan ciri intelektual, individual tetapi tidak boleh menghilangkan sifat komunal-riil, sakramental dan misional yang komprehensif-holistik.

Be the first to comment

Leave a Reply