Dampak Media ( bagian 9 )

Mengembangkan Media dan Message

Media apa pun terlepas dari isi atau pesan yang disampaikan jelas memiliki dampaknya masing-masing. Kita mungkin tidak menyadari bahwa media yang kita andalkan ternyata memengaruhi banyak segi kepribadian kita, penghayatan kita akan Injil, iman, kegerejaan, dlsb. Tetapi kita tidak perlu hanya menjadi korban dari media jika saja kita berusaha untuk mengerti dampak tersembunyi yang terkandung dalam tiap media, berespons secara tepat terhadap dampak tersebut, dan terutama mampu memprioritaskan diri sendiri sebagai media primer.

Media berubah ternyata message pun berubah. Media modern mengubah pesan dan manusia menjadi linear-rasional, individualistik, media postmodern mengubah pesan dan manusia menjadi komunal, holistik dan experiential. Slogan “media berubah asal message tidak berubah,” ternyata tidak benar. Diakui atau tidak teologi dan tafsir Alkitab, pesan Injil kita ternyata mencerminkan sifat dan dampak media yang kita pakai. Mengingat kita percaya bahwa Allah terus bekerja dari zaman ke zaman, maka logisnya kita juga terbuka untuk berubah dan berkembang dalam pemakaian media dan pengaruhnya pada message sambil memastikan bahwa kita setia kepada Allah dan kebenaran-Nya. Kita bahkan tidak perlu enggan mengubah message sebab Allah sendiri mengubah message-Nya sepanjang pewahyuan Alkitab. Yang tidak berubah (Allah dan Injil Yesus Kristus) disampaikan pada zaman yang berubah harus seperti yang Yesus ajarkan: anggur baru dalam kerbat anggur baru. Seperti halnya isi Alkitab pesan dan media kita dalam pemuridan, ibadah dan misi penginjilan pun perlu isi dan penekanan serta bentuk message yang berbeda sesuai yang Allah ingin sampaikan dan re-kreasi-kan di dalam dan melalui kita pada ciri dan kebutuhan zaman masing-masing. Kita tidak di posisi sempurna dalam pemilihan media dan perumusan pesan, melainkan kita terus membuka diri kepada pimpinan, pengaruniaan, dan pemberdayaan Roh Kudus. Kita tidak melayani dengan tangan menggenggam melainkan membuka dalam kerendahhatian baik terhadap gerakan dari Tuhan maupun untuk menjangkau zaman ini. Kita seperti ujaran Paulus: sekarang kita melihat cermin yang samar, belum secara sempurna.

Kembali ke awal pembahasan ini kita harus terus menerus mengingat dan mempraktikkan dengan sengaja bahwa medium utama adalah kita media Allah, gereja adalah Tubuh Kristus presensi aktual Yesus Kristus sendiri. Panggilan dan dinamika yang harus sungguh kita pelihara dan usahakan adalah: oleh Inkarnasi Yesus Kristus dan karya penyelamatan-Nya yang berproses berkelanjutan oleh operasi Roh, kita menjadi media Allah yang terus menerus bertransformasi dan gereja terus menerus menjadi tanda-tanda kehadiran Yesus Kristus di dunia ini. (Atau menggunakan motto Reformasi: ecclesia reformata semper reformanda). Dimana kita telah bergantung berlebihan pada media dan dampaknya melebihi maksud dan karya Allah untuk kita menjadi media-Nya, kita perlu pertobatan dan kesediaan melepaskan diri atau mendisiplin diri atau menguduskan (arti harfiah dari kudus: memisahkan diri) dari pemakaian dan pengaruh media tertentu.

Beberapa ajaran Alkitab berikut ini seyogianya menjadi prinsip bagaimana kita bermedia: Orang Kristen adalah murid Yesus Kristus bukan pengikut / pemercaya / pemakai berat media tertentu. Orang Kristen adalah saksi dan narasi baru dari narasi Yesus Kristus bukan semata pegiat medsos. Gereja adalah umat / imamat kerajaan / umat yang kudus / bangsa milik Allah dan tidak cukup hanya individu berstreaming, ber-wabiner, ber-FB/IG.Twit dll. Gereja adalah tanda, instrumen, cicipan awal dari Kerajaan Allah bukan semata citra-citra media elektronik. Gereja adalah Tubuh Kristus bukan penonton pasif media elektronik tetapi konkrit, inkarnasional meneruskan jangkauan-sentuhan tangan Yesus, langkah kaki Yesus, sapaan dan teguran dan hiburan Yesus ke manusia-manusia hidup darah-daging.

Bagaimana Agar Gereja Tidak Statis atau Melenceng?

Penamaan gereja mungkin bisa memperlihatkan bagaimana gereja ybs. mengidentifikasi diri dan perannya di tengah zaman yang berubah ini. Sebagian besar gereja-gereja Protestan / Injili arus utama entah memakai nama yang menunjukkan teologinya (Lutheran, Injili, Reformed, Protestan) atau memakai nama-nama tokoh Alkitab (Petrus, Paulus, Andreas, dll.) atau nama-nama tempat (GOL di Ciledug, di Pancoran, di Payakumbuh, dll.) atau fungsi / perannya (GIS Soter, Suluh Kasih, Garam Dunia, Marturia, dlsb.). Sementara gereja-gereja yang baru muncul beberapa dekade terakhir cenderung memakai nama-nama yang menunjukkan peristiwa alkitabiah (Exodus, Siloam, Tiberias, dlsb.) atau proses yang secara teologis sangat dinamis namun sayangnya memakai bahasa asing (Praise Church, Harvest Church, City Dynamite, Musafir dlsb.). Ada baiknya soal penamaan ini kita resapi dalam-dalam: bagaimana nama sinode atau gereja lokal kita menampung penggambaran gereja seperti yang Perjanjian Baru pakai.

Di balik penamaan mungkin tersirat isu apakah gereja ybs. termasuk yang “ketinggalan zaman,” “men-zaman / mengikuti / relevan dengan zaman,” atau “melawan zaman.” Sekilas pengamatan kebanyakan gereja berusaha supaya “men-zaman.” Gereja-gereja mega kebanyakannya mengartikan ibadah, misi, pertumbuhan gereja menurut kaidah-kaidah yang berlaku dalam dunia bisnis – statistik, strategi yang secara demografis dan psikografis canggih dan dianggap sanggup menjangkau memenuhi selera market, diarahkan kepada emosi / pengalaman. Selama gereja ada dalam masyarakat konsumtif strategi itu mungkin bisa bertahan. Banyak gereja mega yang menampilkan citra modern atau postmodern seakan berhasil dalam mengumpulkan hadirin dalam ibadah. Mungkin ada studi statistik tentang trend jumlah hadir kalangan kelompok usia dalam jenis-jenis ibadah gereja. Pertanyaannya apakah fenomena cukup untuk menggali lebih dalam bagaimana gereja seharusnya?

Yang patut menjadi keprihatinan tentang gereja yang fokus hanya agar relevan dengan zaman dengan sangat mengandalkan teknologi media canggih adalah gereja makin menjadi sama dengan gaya hidup dunia bukan menjadi gaya hidup Kerajaan. Apakah strategi dan penekanan pada teknologi multi media mutakhir yang diandalkan untuk menarik orang hadir dalam ibadah ybs. mampu mengubah individualisme dan privatisasi iman, penghayatan teologis dan spiritualitas yang kedagingan, pemuridan yang maya alias tidak riil? Jawabannya sering bahwa pola ibadah semacam itu hanya pintu masuk. Sesudah masuk orang akan ditindaklanjuti dengan proses pemuridan seharusnya. Masalahnya adalah apakah orang yang melalui pintu masuk akan benar-benar bersedia masuk lebih dalam sampai ke esensi pertobatan-relasi iman, kegerejaan dan penyembahan dan pemuridan? Bagaimana itu mungkin bila para penggerak gereja ybs. sendirinya main-main di seputar pintu masuk saja? Atau malah gereja-gereja yang terlalu mengandalkan media kekinian justru kehilangan daya ke-media-annya dari Roh Allah? Kalau gereja ingin menangkap orang yang menyukai gaya dunia dengan gaya dunia mengapa mereka tidak tetap di dunia saja tanpa perlu ke gereja? Poin penting di sini adalah pemakaian media apa pun bukan sekadar metode melainkan harus dipertimbangkan, didoakan, disesuaikan dengan petunjuk firman dan Roh, bukan hanya berdasarkan pertimbangan utilitarian-pragmatis.

 

Be the first to comment

Leave a Reply