Dampak Media (bagian 11)

Ibadah dalam Era Elektronik / Media Digital

“Penyembahan bukan lagi penyembahan jika mencerminkan kebudayaan sekitar kita lebih dari mencerminkan Kristus,” demikian peringatan A. W. Tozer (1887-1963) yang terdengar makin mengena untuk era media elektronik kini.

Ibadah era Kekristenan perdana, modern dan postmodern; penyembahan di abad-abad awal sampai pertengahan, lanjut ke yang terdampak media cetak dan terdampak media elektronik, dapat dengan cepat kita bedakan.

Ada beberapa poin prinsip dapat kita simpulkan tentang ibadah gereja mula-mula sampai ke era pra-abad-pertengahan dengan meneliti catatan Kisah Para Rasul dan surat-surat kiriman Perjanjian Baru. Hal pertama yang sangat menonjol tentang ibadah gereja perdana adalah sikap takjub, takut dan gairah besar yang terasa kuat dalam atmosfir gereja perdana. Ini nyata sejak ibadah di hari Pentakosta yaitu sesudah pencurahan Roh, para murid di Yerusalem dipenuhi Roh, Petrus berkhotbah menjelaskan apa yang terjadi berdasarkan nubuat Yoel. Respons pendengar terhadap uraian alkitabiah Petrus itu adalah respons aktif bertobat dan percaya, kemudian diikuti dengan gairah besar untuk berkoinonia di sekitar ajaran para rasul, doa dan ekaristi disertai puji-pujian. Setiap kali Kisah Para

Rasul mencatat tentang suasana gereja perdana, selalu kita bertemu dengan sikap takjub-gentar-hormat itu. Kedua, dengan catatan bahwa jumlah petobat yang merespons dari 3,000 di Kisah Para Rasul 2 menjadi 5,000 di pasal 5, maka sejak awal gereja mula-mula telah menjadi gerakan masal mirip KKR dan himpunan gereja masal masa kini. Yang membedakan adalah gereja mula-mula tidak berubah menjadi gereja mega sebab tempat untuk mereka ber-koinonia adalah di rumah-rumah, dalam sel-sel inti para pemercaya. Ketiga, gereja awal tidak mengenal liturgi melainkan pelaksanaan beberapa unsur inti dalam penyembahan yaitu pengajaran para rasul, kehidupan doa dan pujian, sakramen, berbagi kehidupan dan kesaksian / narasi Yesus Kristus secara riil.

Unsur-unsur esensial ini tidak boleh digantikan dengan pertimbangan relevansi, metode, dan pragmatisme. Sebab, “Kita menjadi apa yang kita sembah; kita menjadi bagaimana kita menyembah” (James J. A. Smith dalam Discipleship in the Present Tense. Reflections on faith and Culture). Penyembahan adalah perjumpaan riil antara umat (plural) dalam segenap keutuhan ke-media-an yang telah Allah ciptakan dan karuniai di dalam kita dengan Tuhan Allah Perjanjian yang adalah Pencipta, Pemelihara, Penyelamat, Penyerta, Pembaru. Inilah sejatinya penyembahan. Kata penyembahan – dalam bahasa Inggris worship diambil dari kata worth dan -ship, pelayakan – dalam bahasa Ibrani – hishtahavah, Yunani – proskuneo, keduanya berarti manifestasi perendahan diri sambil melakukan peninggian / pelayakan Allah secara holistik yaitu dengan penyembah tersungkur, tiarap, dan mengucapkan hal-hal yang layak diterima Allah yang layak adanya.[1] Hal ini menjadi spirit dari ibadah gereja mula-mula – menyembah menerima firman, menyembah dalam doa dan pujian, menyembah dalam kesaksian meninggikan Tuhan dan karya-karya penyelamatan-Nya baik dalam sakramen maupun dalam kesaksian ke luar.

Dalam penyembahan dengan unsur-unsur esensial lengkap – firman, doa dan pujian, persekutuan, sakramen, sharing hidup dan misi, ibadah bukan saja ekspresi dari manusia mengungkapkan sikapnya memuliakan Allah dalam takjub-gentar-hormat, Allah juga menjumpai, menyapa, memperbarui ulang umat-Nya melalui pelayanan Roh menghidupkan firman dan meriilkan sakramen. Penyembahan yang hanya menekankan ungkapan sikap dan perbuatan manusia melalui pujian dan doa sesungguhnya hanya merayakan sebelah sisi dari kesatuan yang utuh, sementara sisi presensi dan aksi Tuhan Allah dalam ibadah diabaikan. Akibatnya penyembahan menjadi perbuatan manusia semata dan tidak lengkap, pincang, kerdil. Lalu tidak heran apabila penyembahan yang demikian menjadi atraksi kedagingan. Tanpa pelayanan firman dan sakramen umat tidak mengalami pembaruan-pemurnian-pengisian-pemberdayaan untuk ber-koinonia, ber-diakonia, dan ber-misi.

Maka, seperti disiratkan dalam nas-nas tentang paparan ibadah di surat-surat kiriman khususnya surat Korintus, ibadah gereja mula-mula kental spontanitas holistik para pemercaya dan manifestasi kehadiran Roh Kudus. Sejajar dengan beberapa poin ini ruang ibadah juga leluasa untuk gerak ibadah dan saling melayani antar para pemercaya, bukan seperti gereja modern yang pemercaya “diatur” gerak duduk-bangun-berdiri oleh deretan kursi gereja. (Oxford Dictionary of Christian Worship).

Dalam gereja pra-dan-masa abad pertengahan beberapa unsur menjadi melemah dan lainnya menyentral. Beberapa penyebabnya antara lain gereja menjadi gereja negara dengan keputusan kaisar Konstantin menjadikan Kekristenan agama resmi dan menjadi Christendom. Dan, ini menyebabkan gereja menjadi makin melekat dengan kekuasaan dan kekayaan ketimbang dengan kebenaran Alkitab dan karya Roh. Dalam gereja pra- dan abad pertengahan mulai dibakukan tonggak-tonggak Kekristenan seperti Kredo / Pengakuan Iman, liturgi, sakramen, dan penataan kegerejaan. Kendati semua ini penting dalam rangka melawan penyesatan sayangnya dampak negatifnya adalah kegerejaan menjadi semakin baku dan kaku, gairah, spontanitas, keleluasaan Roh Allah dan roh-tubuh manusia menjadi makin mengurang. Meski demikian, masih terlihat transisi menarik dari ciri abad mula-mula ke era modern, yaitu refleksi teologis yang beda dari esai teologi modern sampai masa kini. Refleksi teologis abad-abad awal sampai pertengahan mem-blending-kan teologi dan devosi.

Ketika kita memasuki era modern pengaruh media cetak dan pola pikir linear-rasional-analitis-evidential itu tampak pada hal-hal seperti liturgi, sentralisasi kepemimpinan gereja, pengutamaan doktrin ketimbang misi dan pengalaman spiritual, mimbar menggeser altar ekaristi, dst. Dengan kata lain keterlibatan manusia secara utuh dalam ibadah menjadi makin bergeser kepada ibadah yang tertata, experiential makin terpinggir oleh ibadah yang observatif dan pasif. Ini menjadi ciri utama dari gereja Protestan-Injili.

Oleh pengaruh gereja-gereja Pentakosta dan gerakan karismatik, cepat terjadi lagi pergeseran yang cukup revolusioner yang sebenarnya mengantisipasi sampai sejajar dengan media digital dan arus postmodernisme. Pada tahap ini gereja-gereja cenderung menjadi gereja mega, berpusat pada kepemimpinan seorang perintis berkarisma, lebih lentur dalam ajaran atau tepatnya lemah dalam ajaran karena beradaptasi dengan / mengakomodasi trend kebudayaan sekeliling. Penekanan pada berbagai manifestasi Roh sambil (entah sadar atau tidak sadar) mengawinkan diri dengan roh-roh dunia seperti nyanyian dan musik serta penataan ruang-pencahayaan yang makin mengutamakan rangsang fisik, emosi, ekspresif, serta lagu-lagu yang miskin refleksi teologis maupun dangkal keindahan melodi. Ibadah dikemas bagaikan teater atau disco – alat musik lebih mengutamakan gitar dan perkusi yang sarat potensi gairah, pencahayaan yang dibuat remang-remang atau permainan kilau kilat cahaya lampu berpindah-pindah, dst. Intinya, ibadah gereja-gereja peralihan modern ke postmodern ini semakin berorientasi pada market / konsumen, semakin bergantung pada instrumen / beragam media elektronik / digital.

Ada beberapa pertanyaan kritis evaluatif untuk semua ciri tadi. Pertama, apakah penataan ibadah gerejawi masa kini makin membuka diri kepada kairos presensi baik Allah maupun presensi penyembah atau sebaliknya membuat terjadinya pemberhalaan media? Kedua, apakah efektivitas atraksi gerejawi dalam mengumpulkan publik identik dengan me-media-si persekutuan Tubuh Kristus? Apakah pengutamaan lagu dan musik dangkal serta ekspresi jasmani cenderung bebas berlebihan tidak rentan pada proses de-pemuridan, de-penyembahan, de-persekutuan, de-pengajaran, dst? Maksudnya apakah ini gejala pemerosotan bahkan pembelokan dari yang dimaksudkan oleh firman Allah tentang ibadah / penyembahan? Juga pesan dari pewartaan firman yang seharusnya berorientasi pada karya Allah semakin dikontradiksikan oleh penataan ibadah gaya kekinian. Semakin ibadah bergeser dari unsur-unsur prinsipil – ajaran firman, doa dan pujian, sakramen, dan persekutuan riil dalam Roh – semakin ibadah tersebut membuat gereja menjadi bukan gereja! Lebih mirip atau tepat ibadah yang sangat market oriented dengan amat mengandalkan media digital itu dengan Indonesian Idol, Standing Comedy dan lainnya yang sejenis. Gereja menjadi salah satu bisnis hiburan jugakah? Dan harga yang harus dibayar adalah ketimbang menjadi gereja yang partisipatif kita makin menjadi gereja yang pasif dan konsumtif.

Beberapa tahun akhir-akhir ini muncul gaya ibadah baru di antara emerging churches, yaitu ibadah tanpa liturgi penataan dan unsur yang lazim dikenal dalam ibadah gereja modern. Dalam ibadah postmodern ada ruangan besar dengan berbagai konter untuk pengunjung mengekspresikan diri – ada alat musik, ada music box dan headphone, ada bantal besar untuk orang baring / tiarap / atau postur apa saja untuk soaking in the Spirit, dlsb. Ibadah yang direkayasa sedemikian rupa persis seperti gambaran jejaring epistemologi dengan banyak simpul mandiri dan struktur lentur dan bisa terhubung dengan berbagai simpul lainnya. Boundless, directionless, horizonless, purpose/telos-less. Sepertinya ibadah model begini ingin meniru ibadah di abad-abad awal kekristenan yang tidak berstruktur? Atau ini sebenarnya adalah manifestasi dari pola nilai yang postmodern, post-truth? Walahualam.

Semua pihak yang bertanggungjawab pada pembentukan pola ibadah perlu menyadari benar bahwa presensi dan karya Roh tidak bisa dibuat-buat. Demikian juga keterlibatan penuh para penyembah bukan hanya soal ekspresi fisik atau emosi melainkan ungkapan riil dari respons aktif penuh ybs. pada karya Roh dalam kehidupan pribadi dan gereja ybs. Berapa banyak waktu, biaya, pekerjaan dipakai untuk membuat ibadah menjadi relevan dengan dunia dan bukan untuk doa, studi Alkitab, pemupukan relasi dan koinonia, serta ekspektasi pada karya bebas Roh? Supaya relevan kita menjadi tidak asli. Supaya relevan kita hamburkan dana bukan untuk berkontribusi sosial dan berdaya misional dahsyat. Ironis bahwa dalam gereja-gereja yang sering mencanangkan “jadi kepala bukan ekor” justru sedang getol mengekor gaya dunia. Kini saatnya untuk gereja mengevaluasi diri apakah kita menjadi makin Tubuh Kristus, makin agen Kerajaan Allah?

Inkarnasi harus menjadi prinsip dan pertimbangan utama dalam penentuan bagaimana gereja kita boleh menjadi relevan dalam artian yang sejati. Inkarnasi bukan menyesuaikan diri dengan sifat dan ungkapan cemar dosa kemanusiaan, melainkan menjadi manusia sejati sesuai yang Allah rencanakan. Gereja yang ingin relevan bagi dunia adalah gereja yang benar-benar mengerti dan menghadirkan sifat-sifat kegerejaan – firman, doa, pujian, sakramen, persekutuan, misi – secara asli dan bukan dengan tanpa pertimbangan kritis terhadap media dan falsafah dunia ini. Untuk dapat inkarnasional, gereja perlu berani, arif, kritis, tidak inferior / ikut-ikutan zaman, menilai semua yang terjadi dalam interaksi media dan pola nilai dunia, supaya boleh menjadi rekan sekerja Allah yang setia dalam zaman yang serong ini. Untuk menjadi ibadah yang inkarnasional, gereja perlu mengingat-ingat meta-narasi alkitabiah. Ingat perintah untuk menceritakan karya Paskah, untuk menceritakan berulang-ulang karya-karya dari yang Esa melalui cara-cara yang manusiawi, kaya, kreatif (menulis / menggambar di dahi, lengan, ambang pintu – Ulangan 6). Para pengkhotbah gereja masa kini perlu menyelami khotbah-khotbah Yesus, Petrus, Stevanus, Yesaya, Yeremia, Amos, Yehezkiel, dll. Para pemandu puji ibadah perlu meresapi mazmur-mazmur dan puji-pujian lain dalam Alkitab. Alkitab bukan saja penuh dengan ekspresi gembira, sukacita (Allah bertakhta atas puji-pujian) tetapi juga Allah hadir, turut menderita dan berkarya dalam ratapan, permohonan, keluh kesah, mazmur-mazmur ziarah, dst. Dengan demikian ibadah gereja tidak berubah menjadi escapism yang tidak riil tentang luka dan derita dunia sekitar serta membuat hadirinnya hanya mengalami hiburan palsu.

Singkatnya sebelum menetapkan pemakaian media apa pun dalam ibadah, empat pertanyaan dari McLuhan perlu kita terapkan. Apa yang medium ini tingkatkan? Apa yang medium ini usangkan? Apa yang medium ini ambil dari medium masa lalu? Apa yang akan dibalikkan oleh medium ini jika tidak dikontrol? Lebih lagi kita harus benar-benar ingat agar ke-media-an manusia pemercaya / penyembah, dan ke-tubuh-Kristus-an gereja tidak menjadi kebas / lumpuh / tumbuh liar. Kita perlu sadar tentang berbagai pengaruh positif-negatif media pada beragam fungsi otak. Kita harus menjadi media Allah, menumbuh-kembangkan semua potensi manusiawi dan karunia Roh dalam kita sepenuh-penuhnya. Ingat benar bahwa ada keterlibatan langsung antara bentuk dan cara ibadah kita dengan kondisi neuron-biokimia-sinapsis otak kita.

Semoga melalui penjelajahan tentang dampak media ini kita secara pribadi, keluarga, gereja makin media-nya Allah, makin ilahi-manusiawi, makin misional, makin serasi pola inter-aksi-karya dalam perichoresis Allah Tritunggal, makin penuh sifat dan kuasa Allah. Saya merasa ada campur tangan dan maksud Allah dengan pandemi covid-19 kini. Yaitu dengan kondisi ini gereja dipaksa untuk tidak bergantung pada alat-alat dan juga dimurnikan untuk menjadi tidak relevan / menzaman. Salah satu berkat besar pandemi ini adalah ibadah di rumah-rumah. Sayangnya kurang sekali pemikir gerejawi yang menanggapi kairos pandemi ini untuk mengubah kebergantungan pada segelintir orang pelaku dan pengisi liturgi menjadi benar-benar rumahtangga yang mewujudkan sifat hakiki gereja – firman, doa, pujian, sakramen, dan misi. Sebab ibadah di rumah masa pandemi ini hanya ibadah yang tetap terikat pemimpin, ruang gereja, liturgi yang dipindahkan dalam bentuk tetap sama melalui media elektronik / digital ke rumah-rumah. Menurut hemat saya berdasarkan model Kisah Para Rasul dan surat-surat PB lebih tepat apabila keluarga-keluarga kita benar-benar mempraktikkan semua fungsi gereja seperti yang kita temui di Perjanjian Baru. Tetapi untuk ini dibutuhkan pemimpin gereja yang berani ber-pracis out of the box (tradisi / kelaziman / kebiasaan) dan berkorban waktu serta tenaga untuk ber-aksi melatih keluarga-keluarga berfungsi sebagai gereja.

[1] Dari kata yang dipakai untuk sujud menyembah — שׁחה, shāḥāh, / hishtahāhvāh — penyembahan dalam artian yang dipraktikkan dalam Perjanjian Lama adalah sikap hati dan badan yang tunduk, merendah, sujud, tiarap di hadapan Allah sambil memuliakan, meninggikan, memuja untuk menaati dan melayani Dia. Dalam Perjanjian Baru, σέβομαι, séboma — memuliakan, εὐσεβέω, eusebéō — gentar, takut hormat, λατρεύω, latreúō — melayani / mempersembahkan (dari istilah ini datang kata liturgi), Dari petunjuk cara hidup jemaat perdana kita simpulkan bahwa penyembahan bukan sekadar menyanyi tetapi terdiri dari unsur — pengajaran rasuli, persekutuan, doa (termasuk pujian) dan sakramen yang melahirkan perilaku misional dan pelayanan diakonia. Menyanyi memang bagian dari penyembahan. Namun tanpa firman, doa, sakramen, dan tindakan misional serta diakonia – seluruh sikap hati dan perilaku badani, keagamaan, sosial – ibadah menjadi nyanyian kosong. Suasana gentar-takjub-gairah, presensi Allah dalam firman dan sakramen, persembahan hidup dalam doa, berbagi hidup dan bersaksi – semua esensi penyembahan. ibadah ini tidak bisa diganti atau diciptakan oleh media apa pun. Itu harus merupakan dampak karya Roh dan keterlibatan holistik umat Tuhan.

 

Be the first to comment

Leave a Reply