COVID-19 Memaksa Mengubah Praktik Peribadatan

Hari Minggu, 22 Maret 2020 tiba-tiba berseliweran pesan lewat WA tentang ajakan untuk men-subscribe link youtube gereja. Ajakan itu tentu saja positif. Karena anjuran pemerintah untuk warga menjaga jarak atau social distancing. Populer sekali youtube pada hari Minggu, 22 Maret lalu. Jika yang telah membuat akun youtube maka postingan live streaming ibadah bisa dilihat, berapa jumlah yang sudah mengikuti atau sudah subscribe dan sekaligus dibuat grafiknya oleh youtube.

Menarik dicermati perubahan ibadah yang tadinya berbentuk fisik dan komunal menjadi nonfisik dan online. Perubahan praktik peribadatan itu seperti dipaksa hijrah dari pertemuan fisik ke online.  

Biang keladi perubahan itu adalah penyebaran COVID-19. Sejak kasus ini muncul awal 2 Maret lalu di Depok, Jawa Barat, lalu diikuti perkembangan berikutnya, maka muncul imbauan pemerintah dan pemimpin gereja. Bahkan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) sampai mengeluarkan maklumat untuk melarang kemruman massa.

Maka berbodong-bondong gereja membuat saluran Youtube. Menyebarkannya dan meminta untuk disubscribe. Kenapa subscribe? Ya karena ketentuan yang diberlakukan oleh Youtube untuk urusan monetize.  

Kembali ke soal perubahan praktik peribadatan. Ibadah online yang dilakukan oleh gereja-gereja di Indonesia adalah tindak lanjut imbauan yang dikeluarkan pemerintah dan lembaga gereja. Bahkan secara khusus Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) mengimbau untuk meniadakan ibadah di gereja selama dua pekan ke depan sebagai upaya menghentikan penyebaran COVID-19.

“Sejak Senin (16/3/2020) PGI sudah mengeluarkan imbauan lewat video dan surat kepada semua warga gereja untuk tidak menyelenggarakan ibadah di gereja, tetapi memindahkannya menjadi ibadah keluarga di rumah masing-masing, setidaknya untuk dua minggu ini,” kata Ketua Umum PGI Pendeta Gomar Gultom.

PGI mendorong para pimpinan umat menyediakan fasilitas dan bahan untuk beribadah di rumah. Gereja-gereja diminta untuk menyediakan bahan beribadah dan tata ibadah di rumah seperti urutan dan pilihan nyanyian dan rumusan atau formula doa.

Gereja-gereja juga diminta untuk menggunakan teknologi digital dan peralatan yang memungkinkan untuk menyiarkan langsung (live streaming) kegiatan ibadah sehingga jemaat bisa mendengarkan khotbah pendeta.

Imbauan itulah yang kemudian diwujudnyatakan. Jadi, tak heran jika hari Minggu lalu ada banyak gereja melakukan ibadah online. Bayak pula bermunculan tanggapan setelah mengikuti ibadah online itu. Novia misalnya. Perempuan 27 tahun ini mengaku menikmati kotbah dari pendetanya lewat streaming. “Meski ibadah di rumah lewat streaming, kotbah pak Pendeta yang saya ikuti sangat menguatkan kami. Memang kami tidak bisa ibadah di gereja tapi ini juga menjadi sarana kami untuk beribadah. Juga kita bisa memanfaatkan perkembangan teknologi untuk memuliakan Tuhan,” kata perempuan anggota jemaat GPIB GPIB Horeb, Kramat Jati, Jakarta Timur.  

Sementar Donie (35) warga gereja di Kalimantan Timur mengatakan memang selayaknya ibadah dilakukan di gereja. “Masih lebih baik ibadah di gereja tapi karena keadaan seperti ini dan kita ikuti imbauan dari pimpinan gereja dan negara, maka kita ikuti kegiatan ibadah online ini. Saya berharap ibadah online ini dibawakan langsung oleh 1 pendeta sehingga biaya lebih murah dan pelaksanaannya terpusat 1 pelayan Firman, itu menurut saya,” katanya.

Hari-hari Novia dan Donie bakal terbiasa dengan kegiatan peribadatan online. Imbauan pemerinta untuk bekerja di ruah selama 2 minggu lebih memungkinkan hal itu.   

Namun berbeda dengan Wibi (51). Sehari-hari sebagai Sekretaris Majelis gereja di Jakarta terbilang melelahkan. Meski bekerja dari jarak jauh, ia harus melakukan koordinasi untuk mempersiapkan materi kotbah untuk diunggah di youtube. “Tak hanya ibadah hari Minggu tetapi kami juga mempersiapkan materi untuk ibadah keluarga yang biasanya pada hari Rabu. Kemarin saat mempersiapkan untuk ibadah minggu kami mengalami kendala, jadi kami merekamnya terlebih dahulu,” kata dia.

Wibi sempat bingung, bagaimana dengan persembahan yang harusnya juga ada dalam sebuah ibadah. “Ya dari hasil diskusi, kita juga mengimbau warga jemaat bisa memberikan persembahan lewat m-banking. Atau juga dikumpulkan lebih dulu dan sesekali dikirimkan ke gereja,” ujarnya. Kata dia lagi, operasional kegiatan gereja juga bergantung dari jumlah persembahan yang diberikan oleh warga jemaatnya.    

Kesibukannya juga bertambah karena berkoordinasi dengan warga lainnya untuk membersihkan ruangan ibadah dengan cairan disinfektan. Dan itu akan rutin dilakukan tiap minggu. Kegiatan bersih-bersih ini, menurut Wibi, sesuai dengan tanggap darurat bencana nasional yang ditetapkan pemerintah hingga 29 Mei 2020. Bahkan kegiatan itu wajib dilakukan sesuai Surat Edaran Kementerian Agama Tahun 2020 tentang Protokol Penanganan COVID-19 pada Rumah Ibadah. Meski gerejanya belum menyediakan alat pengukur suhu tubuh, namun penyediaan hand sanitizer sudah dilakukan.

Praktik peribadatan memang menjadi berubah ketika COVID-19 melanda. Tapi jauh sebelum virus ini muncul, teknologi yang berkembang sudah digunakan oleh sejumlah gereja dalam beribadah. Namun sejauh ini hanya digunakan untuk pelengkap, seperti tayangan power point dalam ibadah atau bahan kotbah yang dibagikan dan seterusnya. Padahal kemajuan tenologi memungkin kegiatan itu dilakukan. Namun sekali lagi, tidak semua gereja siap dengan mengunakan saran teknologi komunikasi itu. Barangkali di wilayah-wilayah terpencil belum bisa melakukan badah online. Namun dengan pemaksaan itu membuka mata orang banyak bahwa teknologi itu bisa mensiasati penyebaran COVID-19 yang masih masif.

Hingga 23 Maret 2020, total kasus positif COVID-19 di Indonesa yang dirilis Badan Nasional Penanggulangan Bencana BNPB menyebut mencapai 579 kasus. Dari jumlah itu 49 orang meninggal dan 30 orang sembuh.

Data korban yang terus meningkat, Wibi berharap waktu kotbah tidak terlalu lama sehingga yang nonton juga tidak bosan. “Berharap kotbahnya tak terlalu panjang” ujarnya.

Be the first to comment

Leave a Reply