Bahasa atau Bicara Media

Bahasa / bicara, esensial dalam interaksi internal Allah Tritunggal, dalam prakarsa dan karya-karya-Nya mencipta, dalam relasi manusia secara vertikal-horisontal-natural, dalam berbagai peristiwa di praKejatuhan, pascaKejatuhan menuju ke konsumasi pembaruan segala sesuatu. Dalam kehidupan sang Media-tor pun terlihat betapa esensialnya bicara itu – doa-Nya, ucapan syukur-Nya, Bicara peneguhan Bapa akan Ke-Anak-an Yesus, pengakuan Yesus bahwa Bicara-Nya sepenuhnya berasal dari Bapa, dan Ia sendiri disebut sebagai Firman, Bicara Allah terakhir dan sempurna, pengajaran-Nya, teguran-Nya, ucapan berkat-Nya, dan banyak lagi lainnya.

Bahasa dan bicara pun esensial untuk diri manusia. Tidak ada dari berbagai aspek kemanusiaan kita yang tanpa melibatkan bahasa / bicara. Di sini saya memakai bahasa sebagai manifestasi dari sumbernya yaitu kapasitas manusiawi kita sebagai media Allah, dan bicara sebagai ungkapan / perpanjangan dari bahasa. Bahasa sebagai sistem simbol seperti bunyi, kata, nada, dan semua unsur dalam proses manusiawi kita baik jasmani maupun jiwani adalah manifestasi dari ke-media-an kita. Bahasa esensial dalam semua segi kemanusiaan kita, dari interaksi internal kita sendiri, interaksi vertikal kita dengan Allah Khalik kita, interaksi sosial kita dengan sesama, dan juga dalam interaksi kita dengan dunia natural. Kita merefleksi sifat-karya-maksud Allah untuk kita dan dunia dengan bahasa. Kita mengenali diri sendiri – hasrat, perasaan, pikiran, kemauan, cita-cita, memori, angan-angan, imajinasi, dlsb. – dengan bahasa. Kita berelasi sosial dengan beragam ekspresi bahasa. Meski kita bisa juga berbahasa yang tidak memakai kata dan suara – wordless, speechless – namun tetap kita sebut itu bahasa – bahasa tubuh. Bahasa lidah / glosolalia di Roma dan Korintus yang mungkin tidak memenuhi kaidah bahasa yang dikenal namun keluh kesah dan suara-bunyi dari hati dalam pemberdayaan Roh Kudus, itu pun disebut sebagai bahasa Roh / bahasa lidah. Lebih jauh pada bidang media-alat kita membahasakan – memberi nama –semua dan setiap media-alat yang kita buat dan pakai. Kesimpulannya tidak ada wilayah kehidupan yang luput dari keterlibatan bahasa.

Dengan memetik beberapa insight dari para pemikir tentang bahasa (fenomenologi, hermeneutika, dan speech act) mari kita jelajahi apa bahasa, bagaimana berbahasa, dan apa fungsi bahasa – supaya dengan insight ini kita dapat memakainya sebagai batu lompatan untuk pembahasan lanjut tentang media dan dampaknya. Saya tidak akan membahas teori linguistik dan filsafat bahasa melainkan mengambil beberapa wawasan dari pembahasan mereka untuk prinsip kita menyadari isu-isu genting tentang media.

Pertanyaan pertama yang penting adalah tentang makna. Menurut teori fenomenologi bahasa sebagai subset dari sign harus merupakan bicara yang melibatkan unsur ekspresi, indikasi, motivasi dan signifikasi – pemaknaan. Jika beberapa faktor tersebut tidak terdapat maka ekspresi dan indikasi tidak dapat dianggap sebagai bahasa yang bermakna. Poin penting di sini untuk media adalah media bukan sekadar ekspresi. Media dalam dirinya, isinya, pemakaiannya dan tujuannya pun harus bermakna. Dan supaya bermakna media harus melibatkan intensi, motivasi yaitu presensi penuh pembuat / pemakainya disertai pemaknaan. Sebagai orang yang memercayai kebenaran Allah dalam Alkitab kita harus memastikan bahwa presensi, intensi, motivasi, indikasi dalam kita ber-bahasa / ber-bicara dan ber-media sungguh memperlihatkan kita sebagai media sekunder Allah hadir secara bermakna dalam semua keterlibatan kita ber-media. Saya pikir tepat memperpanjang ucapan Yesus bahwa dalam pengadilan kekal kelak kita harus mempertanggungjawabkan tiap-tiap manifestasi ke-media-an kita yaitu bicara / bahasa kita dan “juga mempertanggungjawabkan ke-ber-media-an kita.” Kita tidak boleh menganggap ringan bahwa media sekadar alat, sebab sesungguhnya media alat adalah perpanjangan ke-media-an kita sebagai gambar dan rupa Allah.

Poin kedua adalah pernyataan bahwa bahasa / bicara adalah tafsiran kita tentang dunia. Teori ini mengatakan bahwa setiap kita menafsir dunia dengan bahasa kita. Tidak ada sesuatu yang kita alami, sebagai sesuatu itu di dalam dirinya, melainkan sebagai tafsiran kita tentang sesuatu itu. Tafsiran itu disebabkan setiap kita telah memiliki lebih dulu pemahaman, visi, penglihatan tentang dunia dan pengalaman kita di dalamnya. Fore-having, fore-sight, fore-concept ini kita bawa dari dalam tradisi, lingkungan sosial, konteks budaya dan keagamaan di mana kita bertumbuh. Dengan berbahasa / bicara kita menafsir dunia dan pengalaman kita. Demikian pun ketika kita berbicara kepada orang lain kita menyampaikan tafsiran kita tentang sesuatu kepada pihak yang juga sudah memiliki pola penafsirannya sendiri. Melompat ke soal media, bukankah benar bahwa media adalah semacam tafsiran dari realitas? Ambillah contoh yang nanti akan kita jelajahi lebih jauh, bagaimana media cetak dan media elektronik / digital adalah dua cara tafsir tentang realitas. Media cetak lebih cenderung menghadirkan tafsir realitas secara logis analitis, sedangkan media digital lebih cenderung mwnghadirkan tafsir realitas yang pictorial, bergerak dinamis dan menilai realitas dengan mendayagunakan otak kanan. Coba kita simpulkan fafsir tentang hadirat Allah dan apa ibadah dalam acara ibadah yang banyak mengandalkan alat musik elektronik, penayangan presentasi atau movie, dan penampilan para MC dan artis gerejawi di atas panggung? Untuk refleksi pribadi kita, media apa saja yang kini paling Anda pakai dan andalkan? Tafsir apa pengaruh dari media yang kita pakai tentang apa itu waktu, nilai, kehidupan, dlsb?

Ketiga, bicara / bahasa juga adalah tindakan – speech act. Jadi ber-media dalam manifestasi bahasa / bicara adalah tindakan. Tindakan itu bersifat performative yaitu dimaksudkan untuk mewujudkan sesuatu – seperti dalam janji, ikrar, dlsb. Ketika kita berjanji sesuatu kita mengikatkan diri kita ke dalam janji tersebut untuk memenuhi janji kita Itu yang terjadi dalam Ikat Janji Allah – covenant – dengan umat-Nya. Juga tindakan bicara kita memiliki kekuatan performative seperti dalam ucapan sederhana: “Stop!” Atau, “Tandatangani surat ini,” dlsb. Dan di dalam bertindak itu ada kekuatan membentuk, memengaruhi, untuk menghasilkan sesuatu – performative speech. Contoh sederhana adalah ketika Allah mengucap maka apa yang diucap-Nya itu terjadi. Atau ketika pemimpin bangsa kita mendeklarasikan kemerdekaan, maka ucapan deklaratif itu bersifat performative. Mungkin kita berpikir bahwa ucapan kita tidak memiliki kekuatan dan pengaruh sekuat sedahsyat sesakti Bicara Allah. Benarkah media bicara / bahasa itu memiliki kekuatan dan pengaruh untuk mewujudkan sesuatu? Apakah ini bukan keyakinan semacam yang dipraktikkan dalam mantra dan praktik mistik lainnya? Menurut teori fisika tentang gelombang suara, sekali kita mengeluarkan suara / nada / kata apa pun maka gelombang suara itu tidak lenyap melainkan terus bergetar di udara. Dan dalam beberapa penunjukan dalam Alkitab juga kesaksian nyata dari para mistik Kristen dulu dan kini (pentakosta / karismatik, antara lain), mengucapkan / mengklaim / memperkatakan janji dan fakta karya Yesus dengan iman atas penyakit dan situasi buruk banyak yang terbukti performative. Memperkatakan sesuatu yang segaris dengan otoritas Yesus Kristus menghasilkan pewujudan tanda dan mukjizat. Isu ini butuh pembahasan lebih dalam menyangkut ontologi jadi kita tidak melebar ke pokok ini. Poin penting dari media bahasa sebagai speech act yang performative ialah bahwa media dalam dirinya sendiri dan apalagi bila disertai dengan isi yang memperkuat sifatnya memiliki kekuatan untuk membentuk manusia. Contoh paling sederhana adalah bagaimana media virtual berinteraksi performative ke biokimia otak dan syaraf kita. Atau, cerita bagaimana musik dan kata-kata dapat memengaruhi tanaman, binatang dalam pertumbuhan dan produktivitas mereka.

Jadi bukan saja kita perlu memastikan keterlibatan bertanggungjawab dalam media supaya bermakna, juga memastikan bahwa interpretasi yang benar tentang realitas yang dikandung dalam media yang kita pakai atau setidaknya kita sadari dengan arif, juga bahwa media itu sendiri adalah tindakan yang berdaya bentuk / menghasilkan sesuai sifat dirinya masing-masing. Ini perlu sekali disadari oleh semua orang Kristen. Poin-poin ini akan kita telusuri di pembahasan selanjutnya.

Be the first to comment

Leave a Reply