Anugerah Penurunan

Kebersyukuran sejati adalah bersyukur untuk segala sesuatu. Mensyukuri situasi yang indah adalah mudah. Tetapi kebersyukuran sejati adalah mensyukuri situasi yang tidak dapat kita syukuri dengan kekuatan kita sendiri. Jenis kebersyukuran itu hanya bisa didapatkan oleh orang yang mengenal paradoks anugerah.

Salah satu paradoks anugerah adalah kebersyukuran untuk “penurunan.” Kita menghormati dan menyoraki mereka yang naik — mereka yang telah mendapatkan pencapaian atau sukses. Di pihak lain, kita kerap mengasihani, menghindari atau bahkan mengejek mereka yang turun.

Mereka yang sudah mencapai puncak keberhasilan telah naik ke puncak tersebut, dan puncak itu dapat merupakan tempat yang berharga. Ada hal-hal yang hanya dapat dilihat dari titik unggul tersebut. Ada banyak hal untuk dipelajari dari mereka yang telah mencapai ketinggian, dan mereka dapat berfungsi sebagai pembimbing istimewa untuk memimpin orang lain. Tetapi puncak dapat menjadi tempat yang berbahaya dengan keterpaparan dan kerentanan. Itu bukan tempat yang baik untuk lama didiami, dan setiap orang yang telah naik akhirnya harus turun. Tetapi ini dapat merupakan pengalaman pedih dan teramat sepi, bahkan lebih bahaya ketimbang kenaikan.

Ketepatan waktu adalah kunci untuk penurunan yang tepat. Ketika Peter Hillary, putra dari Sir Edmund Hillary, pendaki gunung dunia termasyhur, menaklukkan Gunung Everest pada 2002, ia memanggil ayahnya dari puncak gunung. Nasihat ayahnya adalah “lebih berhati-hatilah ketika kamu turun dari gunung itu. Jauh lebih sukar turun dari gunung ketimbang mendaki gunung.” Orang bisa tersesat atau jatuh, bahkan mati, di sisi turunan gunung jika saatnya tidak tepat. Tetapi hanya mereka yang telah mencapai puncak mengetahui bagaimana rasanya menurun. Kita butuh anugerah Allah dalam rangka menaklukkan puncak. Tetapi untuk menurun dibutuhkan anugerah Allah sama banyaknya. Pikirlah tentang pesawat terbang. Jika pesawat itu turun dengan hati-hati dan aman, kita menyebutnya “mendarat.” Namun demikian, jika pesawat itu kehilangan kendali sewaktu menurun, sebagai akibat turbulen atau kekuatan lain di luar, kita menyebut itu “benturan (crashing).” Demikian juga, jika seorang telah mencapai puncak kepemimpinan lalu turun dengan rela, itu dianggap sebagai keindahan. Di pihak lain, jika seorang pemimpin digeser paksa dari puncak, itu dapat merupakan kejatuhan memalukan. Kita butuh anugerah khusus Allah dalam rangka membuat penurunan yang indah. Para pemimpin yang turun dengan indah, dalam saat Allah yang sempurna, dapat mengalami anugerah-Nya yang ajaib yang tidak pernah dialami sebelumnya. Mungkin ada kesempatan baru untuk mereka sebagai akibat dari turun dengan baik di saat yang tepat, bahkan memiliki dampak lebih besar dalam pekerjaan yang baru. Apabila kita turun, kita beroleh pemandangan berbeda. “The Flower of the Moment” (Bunga dari Saat), sebuah puisi oleh calon pemenang Nobel Ko Un, memaparkan konsep ini:

Pada jalan menurun, saya melihat bunga yang tidak saya lihat pada perjalanan mendaki.

Marilah kita bersyukur pada jalan menurun, karena anugerah Allah tersembunyi di dasar, dan di sana kita mengerti kesukaran. Ada kedalaman tak terungkapkan di dasar yang sama sekali tidak dapat dirasakan di puncak, yang menjadi alasan mengapa semua mereka yang dipakai oleh tangan Allah pernah mengalami kesukaran besar. Dan jika kita mengizinkan pengalaman dasar-keras untuk menghaluskan dan mendefinisi ulang kita, kita dapat melindungi diri kita dari jatuh dari puncak. Salib Yesus adalah tempat rendah, tetapi salib itu telah menjangkau ke surga. Inilah alasan tiap hari saya mendekat ke kerendahan salib.

(Joshua Choonmin Kang, Spiritualitas Kebersyukuran, psl. 3)

The acquisition of Christian books is necessary for those who can use them. For the mere sight of these books renders us less inclined to sin, and incites us to believe more firmly in righteousness.”

“Reading the Scriptures is a great safeguards against sin.”
— Abba Epiphanius (Desert Fathers)

Be the first to comment

Leave a Reply