Anugerah Kehancuran

Kita juga mengalami anugerah Allah melalui kehancuran.

Kehancuran adalah cerminan penderitaan dan kedukaan; itu menyebabkan kepedihan dan kerap meninggalkan bekas luka. Paradoks kebersyukuran adalah ia kerap datang melalui kehancuran, namun adalah anugerah bahwa orang yang hancur masih dapat dipersembahkan kepada Allah. Adalah keajaiban besar bahwa kehancuran menumbuhkan hikmat dan pengertian. Pengalaman penghiburan tidak menawarkan kedalaman yang sama sebagaimana yang dihasilkan oleh kesukaran.

Generasi masa kini agaknya puas dengan anugerah dangkal, generasi “ringan.” Penderitaan diejek, dan kedalaman ditolak. Tetapi kata mulia dalam bahasa Ibrani berarti “bobot” atau “berat.” Ada bobot pada kemuliaan Allah. Paulus berkata, “Oh, betapa dalamnya kekayaan hikmat dan pengetahuan Allah! Tidak terselidiki keputusan-Nya, dan tak terselami jalan-jalan-Nya!” (Roma 11:33). Hikmat duniawi dangkal sifatnya, tetapi hikmat dan pengetahuan Allah dalam adanya.

Allah berkenan akan kedalaman yang kudus ketimbang pengetahuan yang dangkal, dan kedalaman kudus datang melalui kehancuran. Ketika sebutir biji dikubur dalam tanah dan mati, ia menghasilkan banyak buah (Yohanes 12:24). Dikubur dan mati adalah cara lain memaparkan proses kehancuran itu. Kehidupan tumbuh-tumbuhan terletak dalam bijinya, tetapi kehidupan hanya keluar ketika biji itu pecah. Tanpa kehancuran tidak terjadi akar; tanpa akar, tidak akan ada bunga yang harum atau buah yang melimpah.

Yesus mengizinkan diri-Nya untuk dihancurkan di salib sambil memberikan daging dan darah-Nya sendiri untuk kita. Henri Nouwen pernah berkata bahwa kecuali sesuatu dihancurkan, ia tidak dapat diberbagikan. Pada Perjamuan Malam Terakhir, Yesus mengambil roti, memecah-mecahnya dan membagikannya dengan para murid. Mengasihi adalah memecah sesuatu yang berharga untuk seseorang yang dikasihi. Demikianlah meja perjamuan adalah meja kehancuran.

Perempuan yang memecah buli-buli berisi minyak wangi yang sangat berharga yang ia miliki itu memecahkannya untuk Yesus, mengurapi Dia dengan kasihnya sementara Ia menghadapi salib sendirian. Tetapi keharuman itu tidak akan teralami sampai buli-buli tersebut dipecahkan. Jadi kita mengerti bahwa dari kehancuran hidup mengalir ke luar dan keharuman dapat dinikmati. Yang saya maksud dengan kehancuran adalah kehancuran menyeluruh, hancur sampai menjadi bubuk. Dalam Perjanjian Lama, korban sajian adalah biji-bijian yang telah dihancurkan menjadi tepung (Imamat 6:21). Supaya dipakai oleh Allah, orang harus dihancurkan dan diremukkan dulu seperti halnya persembahan tepung sajian itu.

Melalui kehancuran, potensi di dalam kita dikeluarkan. Agar tenaman tumbuh, inti dari biji — bukan keseluruhan biji itu — harus pecah. Kehancuran kita memberikan pengertian yang dapat kita pakai untuk menolong orang lain. Allah memakai kehancuran kita untuk kemuliaan-Nya.

Kita tidak perlu takut kehancuran. Sebaliknya, kita dapat bersyukur karena hal itu, sebab melaluinya kita tumbuh makin dalam dan makin dewasa.

(Joshua Choonmin Kang, Spiritualitas Kebersyukuran, psl. 6)

Be the first to comment

Leave a Reply