Refleksi Imlek

Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir. — Pengkhotbah 3:11

Yang seorang menganggap hari yang satu lebih penting dari pada hari yang lain, tetapi yang lain menganggap semua hari sama saja. Hendaklah setiap orang benar-benar yakin dalam hatinya sendiri. Siapa yang berpegang pada suatu hari yang tertentu, ia melakukannya untuk Tuhan. Dan siapa makan, ia melakukannya untuk Tuhan, sebab ia mengucap syukur kepada Allah. Dan siapa tidak makan, ia melakukannya untuk Tuhan, dan ia juga mengucap syukur kepada Allah. Sebab tidak ada seorangpun di antara kita yang hidup untuk dirinya sendiri, dan tidak ada seorangpun yang mati untuk dirinya sendiri. Sebab jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan. — Roma 14;5-8

Bagaimanakah orang Kristen — khususnya orang Kristen dari keturunan Tionghoa baik totok maupun peranakan — harus bersikap tentang Tahun Baru Imlek dengan segala aspek dan asesoris terkaitnya?

Mengapa kita harus berpikir kritis tentang hal ini?

1. Karena orang Kristen percaya bahwa Alkitab adalah penyataan dari Allah, sumber untuk wawasan tentang kehidupan dan dunia. Karena itu segala aspek kebudayaan perlu dipastikan bahwa penghayatan dan perayaannya tidak berbenturan dengan kebenaran yang Allah nyatakan,
2. Karena semua segi kultur mana pun di dunia ini pasti berjalinan dengan kultus. Dan karena itu sangat mungkin terjadi bahwa berbagai ekspresi budaya adalah ungkapan dari keyakinan keagamaan tertentu, bahkan dipengaruhi juga oleh keberdosaan manusia dalam berbagai manifestasinya.
3. Bahkan bukan hanya tentang berbagai ungkapan budaya non Kristen kita perlu kritis, tentang berbagai manifestasi budaya “Kristen” pun — seperti tentang cara penyembahan, gaya hidup keluarga, dlsb. – kita perlu memastikan bahwa hal itu serasi dengan kebenaran alkitabiah.

Aspek dan Asesoris Imlek

Saya akui keterbatasan dalam pengetahuan tentang kebudayaan, bahasa, filosofi keagamaan bangsa dan suku-suku Tionghoa. Lebih tepat dikatakan bahwa ini adalah kajian terhadap fenomena di sekitar Perayaan Imlek.

1. Masa / Waktu. Tahun Baru Imlek berkaitan dengan perayaan datangnya musim semi. Kita memang patut menghayati perjalanan waktu dengan musim-musim yang di dalamnya kita hidup, Musim dan waktu mengingatkan kita tentang beberapa hal: 1) Bahwa hidup ini terbatas, 2) bahwa dari kita dituntut kegiatan dan sikap yang sepadan dengan sifat tiap waktu dan musim sehingga kehidupan boleh bermakna, dan terutama 3) bahwa waktu yang terbatas dan fana sewajarnya membuat kita mengarahkan kehidupan kepada sang sumber hidup, yaitu Tuhan Allah yang kekal.

2) Ada banyak cara penghitungan waktu / tahun di antara bangsa-bangsa dunia ini. Ada kalender Islam, kalender Babilonia, kalender Ibrani, dll., termasuk ada kalender Kristen. Masing-masing penghitungan tahun itu entah berpusat pada siklus matahari seperti kalender Kristen (disebut juga tahun Tuhan — Anno Domini, Sebelum dan sesudah Masehi, atau Christian Era), atau siklus bulan — maka disebut “lunar year.” Kesamaan dari kalender-kalender matahari dan bulan ialah dasar atau patokan dari penghitungan waktu itu dikaitkan dengan gejala alam dan musim. Sedangkan keunikan kalender Ibrani dan Kristen, patokan dari penghitungan waktu itu kendati tetap entah bulan atau matahari, adalah bahwa perjalanan tahun-bulan-minggu-hari dimaksudkan untuk mengingat, mensyukuri dan merayakan karya-karya besar Allah yang ajaib. Kalender ibrani untuk mengingat kisah Keluaran, kalender Kristen untuk menghayati karya penyelamatan oleh Allah dalam hidup-mati-bangkit-naik Yesus Kristus serta pencurahan Roh Kudus.

3) Sebagian besar perayaan Imlek dikaitkan dengan berbagai kepercayaan dan mitos yang bersifat politeistis, dinamistis, selain juga prinsip moral dan praktis untuk hidup. Maka di meja sembahyang bak kelenteng maupun di rumah yang menganut kepercayaan Kong Hu Cu, Tao dan Buddha (sering juga mengalami blending) terdapat patung dewa-dewi yang diutamakan, sesajian untuk para roh leluhur. Juga ada kebiasaan seperti bersih-bersih sehari sebelum Imlek, dll. Semua unsur ini tentu tidak dapat diikuti oleh orang Tionghoa Kristen (kecuali pelajaran moral dan praktisnya yang bias diterapkan tiap hari) sebab bertentangan dengan ajaran Alkitab tentang Ke-Esa-an Allah dan larangan untuk mengallahkan atau mengilahikan atau memberhalakan apa saja dari yang nota bene adalah makhluk.

4) Tahun ini menurut kakender Imlek adalah tahun tikus logam. Katanya, tahun ini membawa banyak rejeki dan keberuntungan — padahal pas di suasana Imlek, Wuhan yang adalah pusat dari Tiongkok diserang virus corona, dan sebelum Imlek malah sebagian wilayah di Indonesia menderita berbagai bencana alam. Kepercayaan tentang shio ini mirip dengan kepercayaan astrologi bintang-bintang Yunani. Positifnya, kita menjadi sadar bahwa seluruh jagad raya ini sebagai ciptaan Allah bersifat holistik, saling kait mengait, dan bahwa fisik, jiwa, roh, individual, sosial, ekonomi, politik, ekologis, energi, dst. adalah realitas kompleks yang saling terhubung dan berinteraksi. Hanya — dan ini HANYA besar, Alkitab mengajarkan bahwa manusia adalah citra Allah bukan citra kerbau, ayam, macan, tikus, monyet, kepiting, kalajengking, dlsb. Dan seluruh perjalanan hidup adalah di bawah kendali Allah Pencipta-Pemelihara-Penyelamat yang mengikutsertakan peran serta dan tanggungjawab manusia. Orang Kristen tidak boleh percaya ramalan shio, fengshui, astrologi, nujum, dlsb. sebab kita memercayai pemeliharaan dan pengaturan Allah.

5. Ada banyak ucapan selamat yang biasa disebutkan pada tahun baru Imlek — kalau cek google ada belasan bahkan puluhan. Namun yang paling popular adalah Gong Xi Fa Cai — yang artinya Selamat Berbahagia dan Kaya Raya. Untuk yang mengerti huruf-huruf kanji Tionghoa mungkin menemukan bahwa kata-kata dalam ucapan itu terdiri dari unsur kata yang merujuk kepada Tuhan. Atau dengan kata lain, dalam filosofi Tionghoa kuno ada kesadaran tentang hubungan dan kebergantungan pada Tuhan sebagai sumber kemakmuran. Hal ini juga sesuai dengan ajaran Alkitab bahwa Tuhan rindu memberkati umat-Nya dengan kesehatan, kemakmuran, kebermaknaan. Hanya berkat tanpa kesadaran yang terus menerus diperbarui mengenai arti hakikinya bisa merosot diartikan hanya sebagai uang, harta, deposito, investasi, dll. yang sepenuhnya bumiah dan fana, lalu harta kekal dan sumber hidup yaitu Allah mengalami gerhana tertutup oleh penghayatan duniawi itu. Maka perlu kreatif mengucapkan Selamat Tahun Baru Imlek yang berisi syukur dan percaya kepada Allah yang kekal.

6. Tradisi memberi Ang Pao, terutama di dalam keluarga dari orang yang lebih tua ke generasi lebih muda. Ini bisa memperkuat poin di atas, yaitu kebahagiaan hidup berpusat pada UUD — DUIT. Memang kebiasaan ini juga ada unsur baiknya, yaitu Ang Pao diberikan kepada kaum fakir miskin sebagai ungkapan kemurahhatian, kepedulian dan kesetiakawanan kita. Hanya perlu diingatkan beberapa hal ini: 1) Mengapa murah hati hanya di hari Imlek, bukankah murah hati adalah buah Roh, manifestasi kasih Allah dalam kehidupan orang percaya? 2) Bagi-bagi Ang Pao bisa juga menjadi pamer kekayaan atau pamer kebaikan yang di mata Allah tidak bernilai sama sekali 3) Alkitab menuntut orang percaya lebih dari sekadar murah hati secara ekonomi karena kita harus adil. Ang Pao bisa menjadi cara kita menutupi keserakahan, korupsi, kekejaman memperlakukan bawahan, dlsb. Lebih baik daripada sedekah Ang Pao adalah murah hari dan adil seluas mungkin dalam lingkar pengaruh sosial-ekonomi kita — bos ke bawahan, tuan/nyonya rumah ke ART, pembelanja ke pedagang kecil, dlsb.

Ini saja refleksi pribadi tentang Imlek. Semoga wawasan alkitabiah dan kearifan rohani kita dalam berbudaya semakin menggeliat berkontribusi, bermakna dan indah.

27 Januari 2020

Mari memberkati sesama melalui pelayanan literasi Yay. Simpul Berkat. Kirim dukungan Anda ke: BCA 0953882377

Be the first to comment

Leave a Reply