Realitas dan Sabat

Lalu berkatalah Musa kepada mereka: “Inilah yang dimaksudkan TUHAN: Besok adalah hari perhentian penuh, sabat yang kudus bagi TUHAN; maka roti yang perlu kamu bakar, bakarlah, dan apa yang perlu kamu masak, masaklah; dan segala kelebihannya biarkanlah di tempatnya untuk disimpan sampai pagi.” Mereka membiarkannya di tempatnya sampai keesokan harinya, seperti yang diperintahkan Musa; lalu tidaklah berbau busuk dan tidak ada ulat di dalamnya. Selanjutnya kata Musa: “Makanlah itu pada hari ini, sebab hari ini adalah sabat untuk TUHAN, pada hari ini tidaklah kamu mendapatnya di padang. Enam hari lamanya kamu memungutnya, tetapi pada hari yang ketujuh ada sabat; maka roti itu tidak ada pada hari itu.” Tetapi ketika pada hari ketujuh ada dari bangsa itu yang keluar memungutnya, tidaklah mereka mendapatnya. Sebab itu TUHAN berfirman kepada Musa: “Berapa lama lagi kamu menolak mengikuti segala perintah-Ku dan hukum-Ku? Perhatikanlah, TUHAN telah memberikan sabat itu kepadamu; itulah sebabnya pada hari keenam Ia memberikan kepadamu roti untuk dua hari. Tinggallah kamu di tempatmu masing-masing, seorangpun tidak boleh keluar dari tempatnya pada hari ketujuh itu.” Lalu beristirahatlah bangsa itu pada hari ketujuh. — Keluaran 16:23-30
Tuhan Allah bukan saja ajaib rencana dan kuasa-Nya, Ia juga ajaib dalam penyelenggaraan pemeliharaan-Nya atas Israel. Tuhan tidak saja memenuhi kebutuhan jasmani mereka hari lepas hari, Ia juga menyediakan kebutuhan rohani-jasmani mereka, Di hari-hari biasa mereka harus bekerja untuk mendapatkan nafkah mereka hari itu. Meski manna itu dihujankan Tuhan dari surga, tetap umat harus keluar rumah pergi ke padang gurun terbuka yang di pagi hari telah diselumuti dengan buah rahmat Tuhan yang selalu baru, mengambil mengumpulkan dan mengolahnya menjadi makanan mereka hari itu. Tetapi di hari ketujuh, hari Sabat, Tuhan ingin mereka beristirahat, tidak bekerja untuk hidup untuk makan melainkan makanan telah tersedia untuk bekerja lagi dan hidup di hari kemudiannya.
Pengaturan Tuhan Allah tentang Sabat ini sudah mulai sejak di Kejadian, Penciptaan, dan ini merupakan prinsip dasar dari hidup. Sesudah selama enam hari Tuhan Allah mencipta langit dan bumi dengan segenap isinya dan seluruh sistem realitas yang rumit namun serasi, Ia lalu mencipta manusia, citra-Nya, master piece Dia, yang dengannya Ia bisa berbagi keindahan keintiman ilahi yang ada di dalam diri-Nya yang Esa Hakikat dalam Tiga Pribadi — Yang Berfirman, Firman itu sendiri dan Roh yang mengerami seluruh proses penciptaan. Jadi Adam dan Hawa — dan demikian juga seyogianya semua keturunan mereka — memulai hari mereka sudah dalam ketersediaan segala sesuatunya. Hari pertama mereka adalah hari ketujuh penciptaan, dan di hari itu mereka mulai dengan menikmati keajaiban karya kasih dan kuasa dan hikmat Tuhan serta kehadiran-Nya. Maka prinsip yang didapat dari Kejadian adalah kita mulai dari anugerah baru bekerja, kita mulai dari persediaan sempurna Tuhan baru kita melanjutkan dengan membudi-dayakan semua potensi sumber daya akali dan alami kita.
Di Mesir Israel harus bekerja sebagai budak. Sudah pasti mereka bukan saja harus bekerja berat tetapi juga bekerja tanpa mengenal hari istirahat. Kebalikan dari maksud Allah di Kejadian — hidup supaya bisa bekerja — di Mesir mereka harus bekerja mati-matian supaya dapat “hiduo-hidupan.” Tuhan bukan Firaun yang memanfaatkan manusia untuk memperkaya diri sendiri. Tuhan Allah adalah Penyelamat, Pelepas, Pemelihara, Pemimpin, Gembala, Bapa yang berpikir, merencana, mengerahkan tenaga dahsyat-Nya demi supaya umat tebusan-Nya boleh hidup yang benar-benar hidup. Itu sebab Ia mengatur supaya maksud awal-Nya di Kejadian diberlakukan — Sabat, enam hari mengumpulkan manna yang telah Tuhan hujankan, hari ketujuh ada persediaan dari dua kali lipat yang Ia curahkan di hari keenam, Supaya di hari Sabat mereka boleh menikmati kebaikan Tuhan, TUAN mereka yang sejati, yang baik, murah hati, melimpah kasih dan berkat. Sayangnya sebagian mereka masih bermental Budak, berkat di hari keenam dihabiskan tanpa pengendalian diri untuk kemudian kecewa di hari ketujuh tidak ada manna yang Tuhan kirimkan untuk dikumpulkan.
Kegagalan memberlakukan prinsip anugerah-baru-kerja yaitu Sabat ini juga masalah besar yang menyebabkan orang Israel dibuang ke Babel. Sebab, khawatir, cinta uang, hidup untuk perut dan nafsu-nafsu tubuh lainnya bergandengan dengan penyembahan berhala dan berakar pada tidak sungguh percaya akan kedaulatan, kuasa, rencana, karya dan pemeliharaan Allah yang sempurna. Dengan dibuang ke Babel, tanah Perjanjian secara paksa diistirahatkan Tuhan. Ada benarnya juga berpikir bahwa bencana dan wabah adalah jalan alami pengaturan Tuhan Allah memberlakukan “Sabat” atas dunia dan dunia manusia. Bukankah selewat beberapa bulan pandemic covid-19 ini kita saksikan  di siaran-siaran televise betapa langit menjadi biru, binatang menikmati kebebasannya, sungai dan laut menjadi jernih dan ikan-ikan berenang bebas di dalamnya, udara menjadi lebih kaya oksigen minim pencemaran, belum lagi PSBB / lockdown juga jauh mengurangi polusi suara bising, dsb? Sangat mungkin pelajaran hidup dari covid-19 ini adalah utamakanlah hidup, tempatkanlah kerja, bisnis, politik, kuliner, tamasya, dlsb. dalam pengendalian yang semestinya. Supaya dengan terkendali dan terbatasi, hidup dan realitas jasmani-rohani kita benar-benar berlangsung sebagaimana rancangan kekal Tuhan Allah Dan mengingat dalam Langit baru dan Bumi baru nantilah rencana dan karya kekal Allah terwujud sepenuhnya, maka masuk akal bahwa pandemi ini adalah penunjuk dan penyiap ke Realitas Baru itu. Puji Tuhan, seharusnya orang percaya mulai kini sudah masuk dalam Sabat sejati yaitu Yesus Kristus Pemberi Istirahat sempurna.

Mari memberkati sesama melalui pelayanan literasi Yay. Simpul Berkat. Kirim dukungan Anda ke: BCA 0953882377

 

 

Be the first to comment

Leave a Reply