Perjamuan Tuhan (1)

Mereka selalu bertekun… dalam memecahkan roti…Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati. (Kisah Para Rasul 2:42, 46)

Sesudah berkata demikian, ia mengambil roti, mengucap syukur kepada Allah di hadapan semua mereka, memecah-mecahkannya, lalu mulai makan. — Kisah Para Rasul 27:35

Mengapa kebanyakan gereja Protestan / Reformed / Injili kurang memberi tekanan yang sama pada meja perjamuan Tuhan sebagaimana pada pewartaan firman? Bahkan sering terdengar ucapan bahwa pusat ibadah adalah pewartaan firman. Padahal bila kita terima paparan tentang gereja perdana ini, firman, persekutuan, perjamuan Tuhan, doa, tanda dan mukjizat, takut dan gentar akan Tuhan, serta penambahan jumlah orang percaya — sama-sama dialami dan bagian dari paket utuh yang untuknya semua orang percaya bertekun dari hari ke hari. Padahal dalam semua injil terutama Lukas, “memecah-mecahkan roti” adalah ungkapan ketika Tuhan Yesus melayani kebutuhan jasmani orang banyak yang kemudian diberikan arti simbolis sebagai menunjuk kepada “makan tubuh-Ku dan minum darah-Ku.”

Bukankah Perjamuan Kudus adalah peringatan,  perayaan, persekutuan, pembaruan penghayatan dan antisipasi? Dengan syukur kita memperingati korban penyelamatan yang telah Yesus Kristus tanggung untuk menebus kita; dengan iman kita merayakan keselamatan kita; dalam kasih kita ber-koinonia dengan dipersekutukan dengan Kristus yang di surga dan berbagian dengan sesama orang beriman; melalui makan dan minum roti yang adalah sakramen atau alat anugerah yang Tuhan sendiri lembagakan kita diperbarui untuk perjalanan iman kita seterusnya; dan dengan hadir di meja perjamuan Tuhan kita menguatkan harapan akan hadir dalam Perjamuan Anak Domba Allah kelak. Sejatinya Perjamuan Kudus sarat akan penghayatan doktrin soteriologi, kristologi-trinitarian, eklesiologi, dan eskatologi.

Jadi mengapa Perjamuan Kudus tidak dilayankan secara teratur seperti halnya pewartaan firman? Barangkali sebabnya salah satu dari beberapa hal ini. Melakukan Perjamuan Kudus terlalu sering dianggap dapat mengurangi penghayatan akan nilai teologisnya. Melakukan Perjamuan Tuhan terlalu sering merepotkan penataan liturgis dan pemakaian waktu ibadah. Lagi pula di beberapa gereja tertentu roti dan anggur lalu diberikan artian mistis. Dan mungkin ada banyak lagi alasan lainnya.

Yang jelas, jika Tuhan Yesus memerintahkan dan memberikan Perjamuan Kudus sebagai sakramen, alat anugerah, tepat beralasankah menjadikan berbagai pertimbangan praktis, atau kekeliruan teologis dalam penghayatan  tentang Perjamuan Tuhan, membuat gereja-gereja kini hanya beberapa kali saja merayakan Perjamuan Kudus dalam setahun?

Mari dukung pelayanan Yayasan Simpul Berkat lewat kegiatan pelayanan
literasi yang dilakukan untuk setiap Kristen di Indonesia.
Kirim dukungan Anda ke Yay. Simpul Berkat: BCA 0953882377 a/n Philip hs.

Be the first to comment

Leave a Reply