Kejasmanian-Kerohanian Kita

Kemudian berfirmanlah TUHAN kepada Musa: “Tuliskanlah semuanya ini dalam sebuah kitab sebagai tanda peringatan, dan ingatkanlah ke telinga Yosua, bahwa Aku akan menghapuskan sama sekali ingatan kepada Amalek dari kolong langit.” Lalu Musa mendirikan sebuah mezbah dan menamainya: “Tuhanlah panji-panjiku!” Ia berkata: “Tangan di atas panji-panji TUHAN! TUHAN berperang melawan Amalek turun-temurun.” — Keluaran 17:14-16

Pengalaman dibebaskan, dilindungi, dipimpin, dipelihara, dimenangkan Tuhan adalah proses yang berkelanjutan, dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat, dari generasi pendahulu ke generasi,penerus, sampai semua perintang dan lawan disingkirkan dan semua janji serta rencana Tuhan Allah terwujud. Untuk kepentingan itulah Tuhan Allah memberi beberapa perintah penting, dan Musa berprakarsa melakukan sesuatu yang sama pentingnya.

Pertama, perlu catatan peringatan atau kenangan. Catatan itu ditulis pada kitab — pada waktu itu kitab bukan halaman-halaman yang disatukan tetapi gulungan yang sinambung. Mengapa perlu catatan pada gulungan kitab? Mengapa tidak cukup kenangan saja dan ritual saja? Karena, salah satu kelebihan catatan dalam kitab adalah sifatnya yang baku, tetap, hitam atas putih, mendefinisi bukan didefinisi oleh pengalaman selanjutnya atau oleh tafsiran atau kapasitas memori manusia yang terbatas. Kedua, perlu tindakan mengingatkan Yosua untuk memelihara iman, semangat dan tindakan berkelanjutan memerangi dan mengalahkan Amalek, yaitu pihak yang menentang dan berontak melawan kemajuan rencana Allah. Untuk itu, Musa perlu melakukan tindakan yang sangat personal dan fisikal — bicara ke telinga Yosua.

Musa kemudian melakukan tindakan yang sudah menjadi tradisi dalam para bapa leluhur Israel, yaitu mendirikan mezbah. Mezbah Israel beda dari mezbah-mezbah mereka yang di luar perjanjian TUHAN Allah. Mezbah bukan tempat dan cara untuk membangunkan, mendorong, menggerakkan, mengatur Allah untuk melakukan kepentingan manusia,.Mezbah umat TUHAN Allah adalah tempat untuk bersyukur, mengingatkan diri, menyembah kelayakan dan kedahsyatan karya-karya Tuhan Allah yang telah memungkinkan umat-Nya untuk menerima limpah anugerah dari Dia. Lalu, di mezbah ini Musa memanggil TUHAN Allah sebagai YHWH Nissi — TUHAN adalah panji-panjiku — karena secara kasat mata kehadiran, penyertaan, kekuatan TUHAN telah memungkinkan mereka menang dalam perang mengalahkan Amalek.

Sengaja atau tidak, sadar atau tidak banyak dari kita orang Kristen, keluarga dan gereja masa kini yang tidak alkitabiah dalam pemahaman dan praktik kita tentang hal-hal jasmani, Kita cenderung mengadopsi falsafah Timur yang merendahkan kebendaan dan kejasmanian karena menganggap roh atau jiwa jauh lebih penting, lebih esensial, lebih sejati daripada tubuh dan benda. Akibatnya fatal, tidak saja kerohanian kita menjadi kurang atau tidak mengandung sifat kejasmanian, bahkan yang lebih celaka kita bisa menganggap kejasmanian boleh tidak serasi dengan kerohanian. Dalam nas ini kita didesak untuk mempertanyakan spiritualitas dikotomis itu — kerohanian yang tidak menyatu utuh dengan kejasmanian.

Di sini kita melihat pentingnya menulis, memiliki kitab peringatan, telinga dan mulut yang bicara mengkomunikasikan pesan rencana ilahi, mezbah dan panji-panji. Di bagian sebelumnya kita juga melihat bagaimana TUHAN Allah hadir di dan sebagai api yang menyala-nyala di tengah semak belukar, tongkat otoritas Tuhan untuk pemimpin-Nya. darah anak domba yang diolekan di ambang pintu, peringatan Paskah yang dituliskan di lengan, dan kelak ditradisikan di kitab Ulangan Pendidikan rohani antar generasi demgan memakai simbol yang dituliskan di dahi, lengan, tiang awan dan api, dst. Maka tradisi sakramen Perjanjian Baru sejatinya adalah perayaan akan kerohanian-kejasmanian yang utuh tersebut. Baptisan menjadi instrumen penyatu orang percaya dengan kematian dan kebangkitan Yesus Kristus Juruselamat. Dan Perjamuan Kudus — roti dan anggur — menjadi pengingat kepada karya-karya Yesus yang di masa lampau, penunjuk yang mengantispasi perjamuan agung ketika Ia datang kedua kali kelak, dan sekaligus menjadi zat-zat yang menghubungkan kita dengan kehadiran-Nya di kekinian.

Di era pascamodern ini kita masuk ke dalam sikon bagaikan banjir bandang — hal-hal yang dilupakan dan diabaikan dalam era modernism mendadak membanjir dan digandrungi. Paham-paham yang aslinya tidak serasi dengan wahyu Allah, kini dimahkotai dengan sebutan “kearifan lokal.” Salah satu arus kuat yang menyerbu dan merombak tata ibadah gereja masa kini adalah berbagai ekspresi tubuh dan emosi — menyanyi pujian yang secara tidak sadar bergeser fokus dari karya dan sifat Tuhan ke pengalaman dan kebutuhan manusia — yang penuh dengan teriakan, jingkrakan, sorakan, dibakar oleh permainan pencahayaan ruang dan hentakan drum dan alat-alat music listrik, dlsb. Apakah ini dapat dianggap kejasmanian dan kemanusiawian bergolak meminta tempat sah dalam kerohanian dan peribadahan? Atau, ini adalah akibat dari dualism dan dikotomi Kristen selama ini yang mengakibatkan dulu ada era untuk hal-hal yang “roh”-ani, dan kini era untuk hal-hal yang “jasmani”? Kita perlu memikirkan dengan serius bagaimana teologi alkitabiah tentang kejasmanian-kerohanian yang padu dan utuh boleh diterjemahkan ke dalam tata peribadahan gereja masa kini.

Pandemi yang sedang kita alami kini juga membawa pesan kebenaran tertentu, bukan? Apa arti rohani dari pemakaian masker, social / physical distancing, cuci tangan, mandi sesudah bepergian, dlsb? Adakah kemiripan dan terang untuk gejala baru di masa pandemic ini dengan pengaturan tentang pentahiran dalam hukum Musa? Adakah prinsip penting dari physical distancing dengan menghormati kemilikan dan kehormatan hidup orang lain dalam hukum-hukum yang mengatur perilaku horizontal umat di Dasa Tttah? Lalu, bagaimana kita boleh memanfaatkan momentum covid-19 dengan segala akibat dan tuntutannya ini pada pemahaman dan praktik keseharian kita — interaksi sosial / studi . kerja, pola makan, istirahat, kebersihan, prinsip dalam belanja dan konsumsi makanan / barang, perilaku ekonomi dan ekologis yang bertanggungjawab, dlsb. Juga bagaimana momentum pandemi ini membuka kesempatan untuk kita memikirkan ulang bagaimana alkitabiahnya mengatur tata ibadah yang sinambung antara gedung dan umat, generasi tua dan generasi muda, komunitas gerejawi dan keluarga, unsur-unsur liturgis yang jasmani-rohani, pewartaan firman yang teologis alkitabiah dan kontekstual dengan dunia pasca modern, dlsb?

Kiranya kita membaca Alkitab, membuka diri untuk dibaca olehnya, menangkap bimbingan dan melihat terang Roh Kudus untuk menjadi pribadi, keluarga, gereja yang sungguh merupakan bagian dalam rangkai pewujudan Kerajaan Allah di bumi ini di zaman yang sedang berubah dengan luar biasa cepatnya ini.

 

Mari memberkati sesama melalui pelayanan literasi Yay. Simpul Berkat. Kirim dukungan/persembahan kasih Anda ke: BCA 0953882377

Be the first to comment

Leave a Reply