Daniel 6:16-22

Kemudian orang-orang itu kembali menghadap raja dan berkata, “Tuanku, hendaknya Tuanku ingat bahwa menurut undang-undang Media dan Persia, perintah yang dikeluarkan raja tak dapat diubah-ubah.” Maka akhirnya raja memerintahkan supaya Daniel ditangkap dan dilemparkan ke dalam gua singa. Kata raja kepada Daniel, “Semoga Allahmu yang kausembah dengan setia itu menyelamatkan engkau.” Setelah itu sebuah batu besar diletakkan pada mulut gua itu, dan raja mencap batu itu dengan cap kerajaan dan cap para pembesar, sehingga tak seorang pun dapat membebaskan Daniel dari singa-singa itu. Kemudian pulanglah raja ke istana. Ia tidak mau makan atau pun dihibur. Dan semalam-malaman itu ia tidak bisa tidur. Pada waktu subuh bangunlah raja dan pergi dengan buru-buru ke gua singa. Sesampainya di sana, berserulah ia dengan suara cemas, “Daniel, hamba Allah yang hidup! Apakah Allahmu yang kausembah dengan setia itu telah sanggup menyelamatkan engkau dari singa-singa itu?” Lalu terdengarlah suara Daniel yang menjawab, “Hiduplah Tuanku untuk selama-lamanya! Allah hamba telah mengutus malaikat-Nya untuk menutup mulut singa-singa itu sehingga mereka tidak mengapa-apakan hamba. Allah menyelamatkan hamba sebab Ia tahu bahwa hamba tidak berbuat kesalahan terhadap-Nya dan terhadap Tuanku.”

Bagian ini memaparkan dampak integritas, pengabdian, pelayanan dan relasi seorang Daniel pada raja Darius. Juga membukakan kepada kita bahwa di antara orang yang bukan umat pemercaya masih ada berbagai tipe kepribadian dan derajat sikap berbeda terhadap orang percaya dan Tuhan.

Sungguh di luar dugaan bahwa penguasa yang melalui hukum ditempatkan di posisi sedemikian tinggi dan sentral, sampai berharap bahwa orang yang telah melanggar hukum peninggian dirinya itu sendiri boleh diselamatkan oleh Tuhan Allah yang Daniel sembah. Berulang kali dalam perikop ini penyesalan, pengharapan, “doa,” kegelisahan, puasa, insomnia raja Darius diungkapkan. Tersirat di dalamnya betapa dekat hubungan kedua tokoh D ini – Darius dan Daniel –, dan pastinya integritas, kepribadian, pengabdian, kebijaksanaan, kewibawaan, kerohanian Daniel pasti berbicara dan berdampak sangat dalam pada raja Darius. Jika tidak, tidak mungkin reaksi seperti ungkapan kalimat-kalimat dalam perikop ini dipaparkan oleh sang narator kisah ini.

Dengan harap cemas, ia orang pertama di saat masih subuh yang pergi ke gua singa dan sampai di mulut gua itu ia berseru: “Daniel, hamba Allah yang hidup! Apakah Allahmu yang kausembah dengan setia itu telah sanggup menyelamatkan engkau dari singa-singa itu?” “Sanggup menyelamatkan” – ungkapan yang sama dipakai di pasal 3 dalam peristiwa tiga setiawan diluputkan Tuhan dari api dapur yang menyala-nyala. Isu kedaulatan dan kekuasaan Tuhan Allah ini relevan dalam konteks waktu itu, konteks ketika umat percaya dibuang, direndahkan, diejek dengan kata “orang Yehuda buangan.” Tentu saja orang percaya harus seperti tiga setiawan dan Daniel, yang kasih setianya kepada Tuhan Allah tanpa syarat entah Tuhan meluputkan atau tidak, mereka tetap setia. Namun demikian, Tuhan Allah yang kepada-Nya mereka setia dan percaya juga tidak mengecewakan. Tuhan Allah yang kepada-Nya mereka menjaga kehidupan agar berintegritas tak bercela, tidak meninggalkan mereka mendapat malu, dan ditinggal tanpa penyertaan nyata Dia.

Maka dalam kemenangan dan pemuliaan kepada Tuhan Allah, Daniel sanggup menjawab pertanyaan raja: “Hiduplah Tuanku untuk selama-lamanya! Allah hamba telah mengutus malaikat-Nya untuk menutup mulut singa-singa itu sehingga mereka tidak mengapa-apakan hamba. Allah menyelamatkan hamba sebab Ia tahu bahwa hamba tidak berbuat kesalahan terhadap-Nya dan terhadap Tuanku.” Kesaksian kemenangan Daniel ini terdiri dari tiga unsur; 1) Tetap menghormati raja. Penghormatan yang sejati bukan dari orang yang taat kepada peraturan yang dirancang oleh para pembenci untuk memuliakan manusia, tetapi dari orang yang sungguh memuliakan Tuhan Allah dan melalui itu tetap menghormati para penguasa dunia sebagaimana mestinya dan wajarnya; 2) Allah hidup, mengendali segala sesuatu, memiliki dan mengutus para malaikat untuk menutup mulut singa. Singa itu bukan singa tua, penyakitan, yang sudah hilang kemampuan untuk menerkam, melumpuhkan dan melalap Daniel, melainkan malaikat Tuhan atas perintah Tuhan telah melumpuhkan sementara kebahayaan itu; 3) Tuhan Allah bertindak sesuai kenyataan perilaku benar kehidupan Daniel baik di hadapan Tuhan Allah maupun terhadap raja.

Pelajaran untuk masa kini:

1) Di dalam dunia nyata hendaknya kita tidak menggeneralisasi semua orang dan semua sistem kekuasaan sebagai “tidak berpengharapan.” Memang ada banyak yang seperti para penguasa iri dan jahat di zaman Daniel, penguasa gila kuasa seperti Nebukadnezar dan Belsyazar, tetapi ada juga penguasa yang berhati nurani peka dan berelasi serta bersikap cukup baik seperti Darius.

2) Pertanyaan penting untuk kita: bagaimana supaya di lapis realitas dan terhadap orang macam apa pun, kita para pemercaya boleh berelasi, berfungsi dan berdampak Kerajaan?

3) Dua tema utama kitab Daniel: Tuhan berdaulat, umat yang tertindas sanggup menyintas. Kedua hal ini nyata dalam peristiwa ini. Apakah realitas adikodrati masih kita imani dan berlakukan sebagai bagian dari penyelenggaraan dan kedaulatan Tuhan Allah bagi umat-Nya dalam berbagai sikon nyata masa kini? Ingat bahwa Tuhan Allah Daniel adalah Tuhan Allah yang menyatakan diri di dalam kehidupan dan karya-karya Injil Kerajaan Yesus Kristus.

Dukung pelayanan literasi Yayasan Simpul Berkat | E-mail: simpulberkat@gamil.com |
Bank BCA – No. Rekening: 0953882377 – a.n. Philip H. S

Be the first to comment

Leave a Reply