Dampak Media (tamat)

Kepemimpinan Gereja dalam Era Media Digital

Secara sederhana kepemimpinan gereja / rohani dapat kita umpamakan dengan penggembalaan. Gembala memimpin kawanan domba. Ada tiga model kepemimpinan dalam gambaran penggembalaan itu. Model 1: otoritatif – gembala di depan, membuka jalan, membimbing, memberi arah dst. Model 2: gaya bebas – gembala di belakang, mengikuti arah dan inisiatif kawanan, gembala sendiri sedikit memberi masukan, membuka peluang untuk kebebasan memutuskan di kelompok yang dipimpin sendiri. Model 3: gaya kolaboratif-partisipatif – gembala di tengah-tengah kawanan domba, membina, mendukung, melatih, mengembangkan dan berbagi wewenang, tanggungjawab dan keterampilan / karunia. Yang mana dari tiga model kepemimpinan ini yang baik untuk kepemimpinan gereja?

Pastinya tidak ada gaya atau model kepemimpinan yang cocok untuk semua kondisi. Dalam sepanjang sejarah penyelamatan – PL, PB, sejarah gereja sampai kini – juga kita menyaksikan lenturnya gaya kepemimpinan yang dilakukan oleh para pemimpin umat yang Tuhan Allah pakai. Kepemimpinan Musa oleh nasihat Jitro berubah dari sendirian top-down menjadi kolaboratif dengan para rekan pemimpin atas kelompok 10, 100, dan 100 orang. Kepemimpinan ini bersifat gabungan antara berbagi wewenang dan sifat hirarkis. Kepemimpinan Yesus lebih maju – Ia melatih, mengajar, mengikutsertakan, sampai mengutus para murid. Kepemimpinan di Kisah Para Rasul juga mengalami pergeseran dari tahap gereja perdana (psl 1 – 6) ke gereja pengutus Antiokhia (psl. 13), ke sidang Yerusalem (psl. 15). Pada era media digital ini Marshall McLuhan menyatakan hal menarik berikut: “Kekristenan…dalam bentuk yang tersentralisasi, administratif, birokratis pasti tidak relevan.” Tambahnya, “Kita harus meninggalkan pola kepemimpinan hirarkis dalam gereja jika kita menginginkan partisipasi, tetapi kita tidak perlu mengangankan itu. Itu sedang terjadi.” Singkat kata, peradaban media elektronik / digital sedang merevolusi kepemimpinan gereja dari otoritatif ke partisipatif, dari top-down ke kebersamaan. Dari one-man-show ke berjejaring mengerjakan bersama visi-misi-strategi Kerajaan secara partisipatif-egalitarian. Inikah kairos untuk keimamatan semua orang percaya? Semoga kairos ini direspons tepat oleh gereja.

Secara cepat kita melihat dalam perjalanan sejarah gereja pergeseran ke gaya kepemimpinan karismatik secara jamak (Kisah Rasul 13 – Roh yang memimpin, bicara ke seluruh jemaat, menentukan Paulus dan Barnabas mengerjakan misi; 1 Korintus 12 – masing-masing dalam Tubuh Kristus diberi karunia dan tanggungjawab berbeda-beda sehingga secara bersama dengan masing-masing orang percaya berkontribusi, presensi, dan manifestasi serta fungsi Tubuh Kristus pun mewujud dinamis). Ini praktis terjadi sepanjang abad-abad awal sampai pertengahan sejarah gereja. Gaya kepemimpinan top-down / hirarkis dari era abad pertengahan (pemimpin yang menentukan pelayanan sakramen dan keselamatan umat) menguat ke Reformasi meski berganti tekanan sebab para pemimpin gereja adalah yang mengetahui teologi, sedangkan jemaat biasa adalah awam / tidak tahu teologi dan isi Alkitab. Hirarki pemusatan kepemimpinan terpusat pada para teolog ini ternyata tidak berubah oleh Reformasi meski ada motto “the priesthood of every believer.” Oleh karena media cetak selain berdampak pada pola pikir linear-rasional juga menghasilkan kaum terpelajar Kitab yang tahu informasi tentang kebenaran isi Alkitab. Di kalangan gereja Pentakosta / Karismatik kepemimpinan top-down masih saja laku, terutama disebabkan oleh karisma perintis gereja ybs. membuat pemimpin berkarisma menjadi andalan seluruh jemaat.

Kepemimpinan hirarkis, one-man-show, top-down utamanya tidak sesuai dengan ajaran Alkitab, lemah akuntabilitas, dan tidak sesuai dengan kenyataan menyebarnya informasi dalam era media elektronik. Kita mulai dengan ajaran Alkitab tentang kepemimpinan gereja. Alkitab jelas bahwa pemimpin utama dan satu-satunya dari gereja, bukan Paus, bukan ketua sinode, bukan pengkhotbah besar, bukan perintis gereja berkarisma melainkan Yesus Kristus. Dalam metafora tubuh yang Paulus pakai untuk gereja, hanya Yesus Kristus yang adalah Kepala Gereja. Dalam metafora lain yang Paulus gunakan yaitu bangunan, hanya Yesus Kristus yang adalah fondasi yang menjadi sumber dan dasar bagi pelayanan semua hamba-hamba-Nya selanjutnya. Metafora bangunan juga dipakai oleh Petrus dan Yesus Kristus disebut sebagai batu penjuru yang menjadi tolok ukur, pengikat seluruh batu-batu lainnya. Baik pada metafora organis maupun struktural tersebut para gembala gereja manut sang Gembala Agung. Semua anggota tubuh diberi karunia berbeda-beda supaya boleh berkontribusi bagi pembangunan tubuh Kristus, dalam dinamika internal gerejawi, dan dalam dinamika eksternal misi Kerajaan. Yesus Kristus sang Kepala Gereja membuat setiap dan semua anggota Tubuh-Nya menjadi hidup, aktif, berfungsi, berkontribusi.

Kepemimpinan hirarkis juga rentan penyalagunaan kuasa dan kedudukan. Abused of power itu nyata di dalam gereja Roma Katolik era praReformasi – dalam bentuk penyelewengan ajaran, moralitas dan otoritas. Di dalam gereja Protestan / Injili maupun gereja Pentakosta / Karismatik, beberapa dekade terakhir juga terjadi banyak abused of power kembali, juga di wilayah yang sama – ajaran, moralitas dan otoritas. Selain kelemahan dalam akuntabilitas, kepemimpinan hirarkis otoritatif juga tidak laku dalam peradaban media digital yang pola pencerapannya dan pembelajarannya tidak linear-rasional tetapi intuitif-emosional dan menyebar. Setiap orang adalah pemimpin dan pengikut secara simultan. Tiap orang memiliki anggapan, kecenderungan dan sikap sendiri-sendiri terutama karena pengaruh sifat media digital, yang majemuk, berjejaring, non foundasional. Dalam era media cetak kepemimpinan terpusat pada orang yang terpelajar. Otoritas, karena melekat dalam kemilikan pengetahuan dan penguasaan informasi, menjadi milik orang yang belajar Alkitab dan teologi. Pada era media elektronik informasi menyebar, orang bisa mengakses tafsir, khotbah, doktrin dari banyak sumber. Orang bisa “bergereja” secara online sesuai yang cocok selera, intuisi, hasrat dan kemauannya sendiri. Maka kepemimpinan sentralisasi menjadi sesuatu yang hampir-hampir mustahil untuk diberlakukan dalam era postmodern ini.

Dalam keadaan seperti ini, kembali ke pola kepemimpinan yang dicontohkan Yesus Kristus dan diajarkan para rasul adalah pilihan arif. Jika kita cermati kepemimpinan alkitabiah kita dapatkan adanya penahapan dan sharing kepemimpinan – mulai dari memanggil, mengajar, melatih, memberi contoh, membuka kesempatan sampai menjadikan para murid dari hamba menjadi sahabat Yesus Kristus yang dipercaya bahkan untuk mengerjakan pekerjaan lebih besar lagi. Dengan kata lain terjadi pergeseran dari kepemimpinan top-down berangsur ke kepemimpinan partisipatif. Juga terdapat kepemimpinan bottom-up seperti yang dicontohkan dalam pemiliha tujuh diaken dan pengutusan Paulus dan Barnabas (Roh Kudus memimpin semua jemaat mengutarakan suara / pilihan / keterlibatan mereka – pasal 6 dan 13).

Seperti yang Paulus siratkan di surat Efesus peran dan tanggungjawab utama rasul, nabi, penginjil, gembala dan pengajar adalah memperlengkapi seluruh anggota tubuh supaya keseluruhannya menjadi dewasa (Efesus 4:11-16) – bukan menjadi jagawana mandiri (lone ranger). Inilah praktik Petrus dan para rasul di Kisah Rasul 6. Ketika timbul kebutuhan untuk mengadakan pelayanan diakonia, mereka berfokus pada doa dan pelayanan firman, dengan maksud supaya pemuridan dan pembinaan gerejawi tidak terbengkalai, dan memilih orang-orang dengan kualifikasi tertentu untuk mengemban penatalayanan diakonia. Ketika Roh memimpin gereja Antiokhia untuk mengutus dua pemimpin terbaik mereka untuk ekspansi misi, seluruh jemaat mendengar dan menyatakan suara yang sama, memutuskan dan mengutus dengan sehati.

Baik pemimpin dengan pengetahuan alkitabiah / teologis maupun pemimpin dengan karisma melimpah perlu mengikuti jejak kepemimpinan Yesus, Petrus, Paulus, dll. itu. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pembinaan alkitabiah di kebanyakan gereja baik protestan, injili, pentakosta dan karismatik, sangatlah lemah. Ini justru yang harus diperkuat oleh para gembala jemaat supaya gereja-gereja lokal memiliki banyak kader dengan pengertian dan pemberlakuan firman / teologis yang bertumbuh. Banyaknya kebutuhan akan ragam pelayanan dalam realitas hidup yang makin kompleks ini harus ditangani dengan pelatihan, pembinaan dan pembagian wewenang / tanggungjawab, bukan gembala menangani semua-mua. Pemimpin gereja atau para-gerejawi perlu meniru teladan yang Yesus dan para rasul wariskan, yaitu berbagi spiritualitas, pengertian alkitabiah / teologis, berbagai keterampilan pelayanan bagi jemaat supaya keseluruhan gereja mendewasa dan masing-masing anggota mengenal karunia, tanggungjawab, peran masing-masing. Pemimpin berkarisma juga harus tahu diri kapan saatnya untuk makin surut ke belakang layar dan makin mendorong-melepas orang yang dibinanya untuk tampil di panggung pelayanan. Jika tidak maka bersiaplah terjadinya kultus individu.

Satu contoh kepemimpinan bisa dijalankan secara kolaboratif yaitu pengkhotbah dapat mengikutsertakan beberapa anggota jemaat dari berbagai aspek kehidupan dalam persiapan khotbahnya. Ini salah satu contoh bagaimana menerapkan ajaran firman bahwa Roh aktif mengaruniakan pada tiap anggota tubuh Kristus berbagai karunia khusus. Gembala jemaat bisa mengadakan pelatihan percakapan konseling / penyuluhan kepada anggota jemaat. Dan banyak lagi bentuk pembinaan harus menjadi beban gembala untuk mendewasakan / memfungsikan seluruh jemaat. (Hal ini banyak diyakini kalangan Pentakosta / Karismatik, sayangnya bukan dalam bingkai “keimamatan semua orang percaya” – artinya dalam iklim yang sungguh membuka diri dan memberi keleluasaan untuk Roh bekerja memberikan berbagai karunia rohani, bukan satu-dua karunia pada satu-dua orang saja). Dengan strategi ini bahaya kurangnya kepekaan akan kebenaran firman / teologi secara linear-rasional dan kelemahan tafsir intuitif-sembarangan dampak era elektronik, dan pemimpin yang tidak memiliki kelompok pendukung / pendamping untuk akuntabilitas, justru dapat diatasi dengan bijak. Tantangan untuk para pemimpin gereja adalah untuk meluncurkan lingkar-lingkar elips praxis – mengajar / membina / melatih dalam interaksi timbal balik dengan jemaat “awam” yang diberi pembinaan, kesempatan, keterlibatan nyata dalam pelayanan kehidupan kegerejaan. (lihat diagram 5 ini). Studi & Refleksi berinteraksi timbal-balik terus menerus dengan Aksi dan Praktik.

Era media digital menantang sekaligus mengoreksi kepemimpinan otoritatif era media cetak. Sebaliknya kepemimpinan para terdidik alkitabiah-teologis diperlukan untuk berbagi hidup-pengetahuan-keterampilan dalam tahap-tahap pembinaan yang menyiapkan jemaat untuk siap menjadi rekan pekerja setara dengannya. Maka era ini adalah kesempatan emas yang dapat dipakai Roh untuk melancarkan ecclesia reformata semper reformanda – khususnya dalam realisasi the priesthood of every believer melalui pola kepemimpinan yang seirama gerak Roh dalam zaman ini.

Kesimpulan dan Usul

1. Manusia diciptakan sebagai media Allah untuk berelasi riil vertikal, sosial / horisontal, dan berdampak di tatanan natural. Potensi, panggilan untuk menjadi media Allah yang termanifestasi dalam relasi vertikal, sosial-komunal, dan horisontal-natural ini yang harus kita syukuri dan sungguh-sungguh praktikkan dengan setia sebagai hormat-kasih kita kepada Allah dan kepada sesama serta semua ciptaan-Nya.

2. Semua media berpengaruh interaktif dengan pesan, budaya, pembelajaran, sistem nilai, kepribadian. Karenanya tidak bijak menganggap media hanya alat atau metode yang netral dan bebas nilai / dampak.

3. Membentuk, memilih dan menggunakan media apa pun baik untuk pribadi, keluarga, gereja perlu kearifan dari Roh Kudua melalui pertimbangan teliti dalam doa tentang sifat, dampak tiap media dan supaya presensi, intensi, motivasi, ekspresi, signifikasi, tafsir dan pengaruh performatif positif sungguh terjadi.

4. Supaya tidak terjadi kebergantungan pada media yang berujung pada adiksi dan pelumpuhan berbagai kapasitas ke-media-an kita manusia dan ke-tubuh-Kristus-an gereja, kita perlu memegang prinsip melebihi pertimbangan utilitarian-pragmatis.

5. Disiplin adalah strategi untuk menumbuh-kembangkan ke-media-an kita dan gereja. Ini dapat dikembangkan melalui berbagai strategi kreatif – menghafal ayat, puasa gawai, tekad hanya membaca Alkitab dari kitab, ber-Sabat dari internet / hape / IG / FB / Twitter, dlsb.

6. Gunakan berbagai media secara selang-seling: video, WA / teks, podcast, supaya komunikator dan penerima tidak bergantung pada satu media saja dan tidak terdampak media di satu aspek kepribadian saja.

7. Desain ibadah online yang tidak hanya satu arah penyampaian tetapi interaktif. Misalnya, khotbah tidak terus menerus disampaikan secara satu arah melainkan pengkhotbah bisa mengajukan pertanyaan diiringi waktu jeda cukup agar keluarga boleh mendiskusikan sesaat. Dan usahakan agar kepemimpinan, pemuridan, ibadah melibatkan partisipasi aktif pribadi-pribadi dan keluarga supaya mewujud Keimamatan semua orang percaya. Ketika ibadah langsung sudah diadakan lagi, bertekadlah secara sengaja mengatur ibadah gerejawi yang tanpa alat dan media elektronik apa pun kecuali suara, sikap dan gerak tubuh, keterlibatan holistik semua yang terlibat.

Be the first to comment

Leave a Reply